14. Pengakuan Costa

1213 Words
Malam harinya Mira telah pulang dan hanya ada Alison di sana, tak berapa lama Costa datang, setelah beberapa hari tak menampakkan wajahnya. Costa mengatakan ada urusan penting hingga tak bisa menemuinya untuk beberapa hari, saat mengatakan hal itu nampak sekali jika Costa begitu khawatir dengan keadaan Alison padahal perempuan itu nampak biasa saja. Saat makan malam tiba mereka berdua menikmati masakan yang telah di tinggalkan Mira beberapa puluh menit lalu untuk sang nona makan. “Kau bilang seorang vegetarian?” tanya Costa pada Alison, saat melihat perempuan itu begitu menikmati ikan yang tengah di santapnya. “Awalnya memang begitu, tapi masakan Mira begitu nikmat juga makanan di kota ini, tak mungkin aku melewatkan sedikitpun hal itu,” jawab Aliosn tanpa sedikitpun memalingkan dari makanan. Alison memang seorang vegertarian sejak remaja, tak makan sesuatu yang bernyawa termasuk telur dan ikan, tapi setelah ia berada di kota ini, semua makanan masuk dalam mulut dan perutnya. “Jangan bilang kau memang rakus,” Costa tergelak setelah mengatakan hal itu. “Rakus? Aku hanya penikmat makanan,” ujar Alison menjawab ucapan Costa. Lagi pula siapa orang yang bis amenolah makanan lezat, bahkan orang gila pun pasti mau. Keduanya kembali menikmati makanan itu, sambil sibuk dengan pikiran masing-masing. Costa sibuk dengan dirinya yang semakin menyukai Alison dengan segala yang melekat dalam dirinya, sementara Alison sibuk berpikir bagaimaan caranya memaksa Costa untuk mengakui tentang siapa dirinya. “Aku boleh tanya sesuatu?” ujar Costa sambil menaruh sumpitnya di atas piring karena malam itu mereka menikmati makanan ala Jepang. “Apa?” tanya Alison sambil berhenti mengunyah. “Kau sudah punya kekasih?” kini Costa yang bertanya, Alison sedikit terbatuk mendengar ucapan Costa itu. Kekasih? Seketika saja kata itu mulai mengudara dalam pikiran Alison, entah sejak kapan rasanya ia tak pernah memikirkan hal itu, bahkan terakhir kali ia pun tak mengingatnya, bagaimana ingin mengingat jika memang tak pernah sedikitpun bersarang di otaknya. “Kau malah melamun,” sambung Costa membuyarkan lamunan Alison. “Hah, apa?” “Aku tanya, kau sudah punya kekasih atau belum?” ulang Costa dengan pertanyaanya tadi. “Belum, lebih tepatnya aku tak pernah memikirkan hal itu selama ini.” “Kenapa?” tanya Costa lagi, sepertinya ia ingin mengorek sampai akar dan menunggu jawaban yang tepat. “Kau banyak bertanya, kau sendiri mana kekasihmu? Apa seorang Bapak Dosen juga tak memiliki kekasih?” kini Alison yang sibuk mencibir Costa dengan pertanyaanya. “Aku terlalu sibuk bekerja sampai tak punya waktu untuk mengurusi soal percintaan, padahal seharusnya aku sudah menikah.” “Tak baik jika terlalu keras dalam bekerja, ingat juga masa depanmu.” “Kau mengatakan hal itu, seolah kau paham soal cinta, kau sendiri tak memiliki kekasih.” Alison tertawa pelan mendengarkan ucapan Costa itu, mereka berdua memang sama-sama single, entah apa yang membuat keduanya dalam hal pemikiran, tak memiliki seorang kekasih dan tak pernah menganggap hal itu penting. Meskipun begitu Alison pernah bermimpi punya keluarga kecil yang lucu, setelah menikah nanti ia akan pindah ke desa tempat asal ayahnya, hidup sederhana dan bekerja sebagai seorang petani dengan satu anak dan satu suami. Tapi, bagaimana hal itu bisa berjalan sesuai keinginannya jika sampai saat ini saja ia tak pernah dengan serius dengan seorang lelaki. Kadang ia berpikir apa ia terlalu jelek sampai tak ada seorang lelaki pun yang meiliknya atau ia saja yang bersikap jual mahal. Alison memiliki sikap tak acuh sebagai seorang perempuan, bahkan ia terkesan tak peduli, yang ada dalam pikirannya hanyalah bekerja dan menjalankan dirinya pada sesutau yang selama ini ia cita-citakan, menjadi seorang profesor di bidang tumbuhan. Memiliki Laboraturium sendiri, menemukan tumbuhan langka dan mencipatakan obat dari tumbuhan-tumbuhan itu. “Sekarang aku yang bertanya padamu,” ujar Alison. Costa menunggu dengan harap-harap cemas. “Kenapa selama ini kamu gak pernah jujur sama aku.” “Soal apa?” tanya Costa bingung. “Tentang kamu, siapa diri kamu sebenarnya,” imbuh Alison. “Aku gak paham. Aku Costa, kau tau kan aku bekerja sebagai seorang Dosen,” kata Costa berusaha santai agar ucapannya terlihat naturan dan seolah ia tak bohong. “Costa..., jujurlah padaku. Aku bukan anak kecil yang bisa kau bohongi, Mira sudah mengatakan semuanya padaku.” Costa terdiam mendengar ucapan Alison, ia tak ada alasan lagi untuk berbohong pada Alison, dan bodohnya ia tak mengatakan pada Mira untuk menutup mulutnya. Bagaimana ia harus berkata saat ini pada Alison, sementara gadis itu sudah tahu kalau ia berbohong. “Kau bukan Dosen, ‘kan? Kau seorang senat pemerintahan, ‘kan? Seharusnya kau jujur dari awal saja,” sambungnya. Costa tetap diam tak mampu mengatakan apapun, jika saja ia mengatakan hal itu sejak awal mungkin ia bisa lebih tenang sekarang. “Iya, aku sebenarnya bukan Dosen, aku bekerja sebagai senat di pemerintahan,” ujar Costa kemudian, tak ada pilihan lain selain ia mengatakan jujur. “Terus kenapa kamu harus berbohong?” tanya Alison setelah mendengar Costa mengatakan yang sejujurnya. “Ada alasan tertentu kenapa aku berbohong dan alasannya karena aku seorang senat,” kata Costa. “Itu tidak menjawab pertanyaanku sama sekali,” ucap Alison sedikit mencibirkan bibirnya. “Kamu serius ingin benar-benar tau alasanku berbohong sama kamu?” tanya Costa, pertanyaan yang tak perlu jawaban karena hal itu hanya sekedar pernyataan. Kemudian Costa menceritakan semua hal tentang dirinya dari mulai siapa sebenarnya ia dan keluarganya, bagaimana ia bisa menajdi seorang senat yang saat ini ingin sekali mencalonkan diri sebagai seorang presiden. Alison kini yang terdiam mendengar ucapan Costa, ia tak berpikir Costa berbohong lagi dengan ucapannya, tapi bagaimana mungkin orang setengah penting di negara Ingerdia bisa berhubungan dengannya kini. Duduk di depannya. “Jadi benar semua ini punyamu? Rumah sakit tempat aku menginap juga? Seberapa kaya kamu sampai punya semuanya?” tanya Alison dengan begitu banyak. Karena ia malah semakin penasaran setelan Costa cerita. “Seberapa kaya aku? Seperempat kekayaan negara ini milik kleuarga besar Rapsada yang pasti jatuh ketanganku, karena hanya aku satu-satunya keturunan Rapsada.” Ucapan Costa itu membuat Alison menelan air liurnya saat mendengarkan bahwa seperempat kekayaan negara ini milik, itu berarti jika di total Costa sanggup membeli sebuah kota atu bahkan pulau dengan ukuran cukup besar. “Bagaimana kau mendapatkan kekayaan ini? Maksudku keluargamu?” “Apa kau tak mengenal keluarga Rosegolden?” tanya Costa yang malah tak menjawab pertanyaan Alison. Alison sedikit menggumam sambil memikirkan keluarga Rosegolden, ia seperti pernah mengingangatnya tapi siapa dan kenapa ia tak begitu ingat, saat terus memikirkan nama keluarga itu ia teringat sesuatu. “Keluarga terkaya di Inggris, bukan-bukan keluarga pemilik kesatuan bank Eropa?” tanya Alison memastikan yang ia ingat. “Iya, kau betul. Ibuku salah satu keturunan dari Rosegolden, keluarga paling kaya di Eropa dan Ayahku keturunan orang paling kaya di Amerika, Rapsada. Setelah mengalami Resesi ekonomi di Amerika khususnya Amerika serikat aku dan keluargaku pindah kesini, Ayahku menanam seperempat saham di negara ini dan ia mantan presiden sebelum ini.” Mendengar ucapan panjang lebar Costa membuat Alison hanya bisa bertepuk tangan, tanpa sengaja ia bertemu orang sekaya Costa, tiba-tiba saja ia berpikir bagaimana jika ia menikmat dengan laki-laki ini? “Menyesal aku mengetahui semua tentangmu, aku merasa rendah dan miskin sekali sekarang,” ujar Alison, kini ia sibuk merapikan tempat makan sudah selesai di gunakan. Dari tempat duduknya Costa hanya bisa menahan tawa dengan sedikit jarinya, ekpresi yang di tunjukkan Alison tak benar-benar seperti merasa rendah. “Oiya, beberapa hari lagi aku dan satu kandidat lainnya akan melakukan debat calon presiden,” kata Costa kemudian. “Benarkah? Dimana? Aku boleh ikut?” tanya Alison antusias. “Tentu saja boleh, tapi usahakan jangan mencolok, jika ada orang yang bertanya aneh-aneh tidak usah di jawab, apalagi kau tak paham bahasa negara ini.” “Eh siapa bilang, aku bisa mengucapakan terima kasih dan apa kabar,” kata Alison bangga dengan bahasa yang baru ia pelajari dari Mira. “Turis satu haripun bisa melakukan hal itu. Pokoknya ikuti saja perintahku, akan jadi masalah jika orang-orang tahu keberadaanmu.” “Masalahnya?” “Kau akan di anggap sebagai imigran gelap dan di penjara,” ujar Costa, Alison menggidik ngeri mendengarkan ucapn Costa tentang penjara. “Sudah lah, aku harus kekantor untuk mengurus sedikit hal.” Alison mengangguk mendengar ucapan Costa itu, setelah itu Costa berpamitan untuk berlalu dan pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD