Seven

2274 Words
LITHA POV   Malam kian larut. Jarum pendek jam dinding ruangan ini menunjuk angka sebelas. Namun aku masih terjaga. Aku masih terus menatap wajah yang sangat ku rindukan selama dua minggu ini. Ia tetap terlihat tampan meski wajahnya pucat. Tanganku masih terus menggenggam jemarinya. Seakan aku tidak ingin dipisahkan lagi darinya. Ya. Dia adalah Rafael. Aku bersyukur karena bertemu Devania di perjalanan pulangnya. Aku bersyukur, karena Rafael punya adik sebaik Devania di hidupnya. Berkat Devania, aku ada disini. Kurasakan ada pergerakan pada jemari yang ku genggam. "Rafael.." kagetku. Aku menatap penuh harap ke arah dua mata yang masih terpejam itu. Apakah dia mulai sadar? "Rafael..." panggilku pelan. Dia meresponku dengan kembali menggerakan jemarinya. "Rafael, kamu sudah sadar? Kamu mendengarku?" "Ada apa, Litha?" Tante Mawar. Aku menolehkan kepalaku ke arah Tante Mawar. "Rafael menggerakkan jarinya, Tante. Dia sudah sadar." jawabku kegirangan. "Benarkah?" kaget Tante Mawar. Wanita paruh baya itu segera berjalan ke arahku. Ia menatap penuh harap ke arah putra sulungnya ini. "Tunggu sebentar, Tante akan panggilkan Dokter." Tante Mawar. Aku mengangguk. Detik berikutnya, Tante Mawar menghilang dari ruangan ini. "Rafael, kamu mendengarku? Aku disini Rafael. Bangunlah!" lirihku sembari membelai punggung tangannya. Perlahan tapi pasti, mata Rafael mulai terbuka. Ia langsung menolehkan kepalanya ke arahku. "Lit..tha.." lirihnya. Aku tersenyum memandangnya. Syukurlah, akhirnya dia sadar. "Lit..tha.." panggilnya. "Iya, aku disini, Rafael." balasku. "Apa ini mimpi?" tanyanya. Aku menggeleng. Tanpa ku sadari, air mataku mengalir begitu saja. "Ini nyata, Rafael. Aku ada di samping kamu." balasku lagi. Kedua sudut bibir Rafael terangkat. Membentuk senyuman yang sangat aku rindukan. Di saat bersamaan, pintu ruang rawat Rafael terbuka. "Biar saya periksa keadaan pasien sebentar." ujar seorang dokter berusia sekitar lima puluh tahunan "Tidak! Jangan pergi, Litha!" cegah Rafael. Ia menggenggam erat tanganku. "Baiklah. Anda boleh disini." ucap Dokter itu. Dokter itu mulai memeriksa keadaan Rafael. Aku memperhatikannya dengan seksama. Sesekali, aku melirik ke arah Rafael. Namun pria itu masih tampak tenang. Ia begitu asyik memandangiku. "Bagaimana, Dokter?" tanyaku setelah Dokter itu selesai memeriksa Rafael. "Dia sudah jauh lebih baik. Kondisinya mulai stabil." jawab Dokter itu. "Baiklah. Kalau begitu, saya permisi." lanjutnya. Aku mengangguk sopan. "Syukurlah, Nak. Akhirnya kamu sudah sadar." girang Tante Mawar begitu masuk ke ruang rawat Rafael. Tante Mawar mencium kening Rafael berkali-kali. "Ma, Rafael baik-baik saja, Ma." ucap Rafael. "Mama harus kasih tahu Papa kamu. Dia pasti sangat senang." "Jangan, Ma!" Aku dan Tante Mawar kompak langsung menoleh ke arah Rafael. "Ada apa, Nak?" tante Mawar. "Rafael nggak mau Papa mengusir Litha lagi." mohon Rafael penuh harap. Benar apa yang Rafael katakan. Jika sampai Om Bisma mendapatiku disini, ia pasti akan langsung mengusirku. Bagaimana ini? "Baiklah. Mama juga akan bantu mengalihkan perhatian Papamu agar ia tidak kesini selama kita mencari cara mengamankan Litha, bagaimana?" Tante Mawar. Rafael mengangguk. "Makasih, Ma," ujarnya. Tante Mawar kembali beristirahat di sofa yang ada di ruangan tersebut. "Litha!" panggil Rafael. Aku beralih menatapnya. "Duduklah!" suruhnya. Aku menuruti perintahnya dan kembali duduk di bangku samping tempat tidurnya. "Apa kamu merindukanku?" tanyanya. Aku mengangguk. "Kenapa kamu pergi waktu itu? Kenapa kamu tidak menungguku datang?" Aku terdiam. Apa yang harus ku katakan? Aku sadar. Itu semua adalah kebodohanku. "Maaf." lirihku. "Kamu tidak perlu minta maaf. Tapi, sekali ini aku mohon, kamu berjanji untuk tidak pergi lagi dariku!" Tapi bagaimana jika Om Bisma datang dan mengusirku lagi? "Litha.. kamu dengar?" Aku mengangguk ragu. "Berjanjilah!" "Ak..aku janji" Pagi menjelang. Aku membantu Rafael untuk duduk di kursi roda. "Makasih ya, Litha." ujarnya setelah berhasil duduk di kursi roda. Aku mengangguk. "Sayang, ini Tante bawakan baju dan peralatan mandi buat kamu. Kamu mandi dulu gih! Biar Tante yang temani Rafael." Tante Mawar. Aku mengangguk dan menerima sebuah kantung besar dari Tante Mawar. "Raf, kamu mau makan sendiri atau Mama suapi?" Tante Mawar "Sendiri aja, Ma." balasnya. "Rafael, aku mandi dulu ya?" pamitku. "Iya. Jangan lama-lama ya! Habis ini anterin aku jalan-jalan!" balasnya. Setelah itu, aku beralih ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku. Sekitar lima belas menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi. "Litha, ayo jalan-jalan!" ajak Rafael. Aku mengangguk lalu mendorong kursi roda Rafael keluar ruang rawatnya "Dimana Tante Mawar?" tanyaku ketika menyadari bahwa Tante Mawar tidak kelihatan. "Pulang sebentar. Mau ke kantor Papa juga. Paling nanti siangan kesini lagi." Rafael. Aku mengangguk mengerti. Aku mendorong pelan kursi roda Rafael. Menikmati setiap langkahku bersamanya. "Berhenti disini saja, Litha!" pintanya. Aku menghentikan langkahku. Aku diam. Menunggu intruksinya selanjutnya. "Bisa kamu bantu aku berdiri dan berjalan kesana?" tanya Rafael. Mataku mengikuti arah yang Rafael tunjuk. Sebuah kolam kecil yang di sampingnya terdapat bangku panjang. Taman rumah sakit pagi ini masih cukup sepi. Hanya ada beberapa petugas kesehatan yang melewati lorong di sekeliling taman ini. Aku mengulurkan tanganku untuk membantu Rafael berdiri. Kemudian aku memapahnya sampai di bangku panjang itu. "Litha, apa kamu sudah makan?" tanya Rafael. Aku menggeleng. "Kamu mau makan apa? Biar pengawalku belikan." tawar Rafael sembari mengeluarkan handphonenya. "Terserah kamu, Rafael." jawabku. Rafael mengangguk. Setelah itu ia mengetik pesan melalui handphonenya. "Kamu ingin kita kemana setelah ini?" tanyanya. Aku menyeritkan alisku. Kemana? Bukankah dia sedang sakit? "Lebih baik setelah ini kita ke ruang rawatmu agar kamu bisa istirahat." balasku. "Aku ingin jalan-jalan denganmu. Aku sangat merindukanmu." "Aku akan menemanimu, Rafael. Kita disini saja. Kamu butuh istirahat." Rafael tampak berpikir. Beberapa detik setelahnya, ia mengusap pipiku. Membuatku membeku seketika. "A..ada apa, Raf?" tanyaku gugup. Rafael terkekeh pelan. "Kamu terlihat sangat cantik saat pipimu memerah. Aku suka." jawabnya santai. Aku diam. Menundukan kepalaku menahan malu. Sebegitu mudahnya bagi Rafael untuk membuatku tersipu. "Berjanjilah untuk selalu di sisi ku, Litha! Jangan pernah pergi lagi!" Aku beralih menatapnya. Namun hanya tiga detik sebelum aku kembali mengalihkan tatapanku. "Aku tidak tahu harus mencarimu kemana saat kamu pergi. Aku merasa bodoh dan tidak berguna. Aku merasa gagal menjagamu." lanjutnya. "Rafael....." "Berjanjilah!" potongnya tegas. Aku mengangguk ragu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Sungguh. Aku juga ingin selalu berada di dekatnya. Tapi, bagaimana jika Om Bisma tahu? Beliau pasti tidak akan tinggal diam. "Kenapa kamu terus menatap ke bawah? Apa rumput di bawahmu lebih menarik dariku?" Aku segera mengangkat kepalaku. Aku tersenyum ketika melihat Rafael juga tengah tersenyum menatapku. "Bahkan aku tidak pernah mengalihkan pandanganku saat sedang bersamamu." lanjutnya. Lagi. Ku rasakan pipiku memanas. Dan sepertinya mereka kembali memerah. "Sudah mulai panas. Mau kembali ke ruang rawatku?" tawar Rafael. Aku mengangguk setuju. Saat aku mengulurkan tanganku untuk memapahnya ke kursi roda, dia menolaknya. "Tidak perlu, Litha. Aku bisa kok." ujarnya. Kemudian, secara perlahan ia mulai berdiri dan beralih ke kursi rodanya. "Kamu baik-baik saja, Rafael?" tanyaku. Ia mengangguk sebagai jawaban. "Jika kamu lelah, tidak perlu mendorong kursi rodaku. Biar suster yang lakukan." Rafael. "Aku tidak lelah. Aku senang bisa berguna untuk kamu." balasku sembari tersenyum. Kemudian, aku melangkah ke belakang kursi roda Rafael dan mulai mendorongnya kembali ke ruang rawatnya. Waktu menunjukkan pukul 13.40. Rafael baru saja tertidur setelah seorang suster memberinya obat tidur. Aku hanya berdiam diri di sembari asyik menatap wajah Rafael yang tampak begitu damai. Dia terlihat sangat tampan saat tertidur. Tanganku terangkat untuk membelai pipinya. Kemudian beralih ke hidungnya. Ia memiliki hidung yang cukup mancung bagi orang Indonesia. Atau mungkin, dia punya darah campuran sepertiku? Aku tersentak saat pintu ruang Rafael tiba-tiba terbuka. Aku menolehkan kepalaku. Terlihat seorang wanita berjalan cepat ke arah kami. "Siapa kamu?" tanyanya tajam. "Ak..aku...aku..." Tunggu! Sepertinya wanita ini tak asing untukku. Tapi, siapa dia? "Iya, kamu siapa? Ngapain ada disini?" ulangnya dengan nada lebih tinggi. "Ohh...kamu pencuri ya?" tuduhnya. Aku menggeleng cepat. "Buk..bukan. Aku..aku...Lit.." "Kak Evelyn?" Seketika, aku dan wanita itu menoleh ke arah sumber suara. Devania. Ia baru saja masuk ke ruangan ini dan menutup pintunya. Evelyn? Nama itu... bukankah.... "Aaarrrggghh" "Kak Litha!" Aku meringis merasakan sakit di kepalaku. Ada apa denganku? Seperti ada sebuah bayangan melintas, tapi aku tidak dapat mengingatnya secara jelas. "Kak Litha, Kakak kenapa?" tanya Devania sembari memegangi kedua lenganku. Aku menggeleng. Memejamkan mataku dan berusaha untuk tenang kembali. "Litha.." Tidak. Sepertinya Rafael terganggu oleh suaraku. "Litha, kamu kenapa?" Aku merasa bersalah ketika mendengar nada kekhawatiran keluar dari mulutnya. "Evelyn! Apa yang kau lakukan padanya?" "Aku? Bahkan aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya bertanya dia itu siapa, Raf." terang Evelyn. "Lalu bagaimana bisa dia jadi seperti ini? Kamu pasti sudah berbuat kasar padanya." pekik Rafael. Aku menggeleng. Masih dengan menahan rasa sakitku. Tapi nampaknya Rafael tak memperhatikanku. Ia menatap tajam wanita bernama Evelyn itu. "Aku tidak tahu apa-apa, Raf." elak wanita itu. "Kak, ayo Dev bantu!" Devania menarikku untuk kembali duduk di kursi. "Dia siapa Raf? Kenapa dia ada disini?" tanya wanita bernama Evelyn itu. "Dia kekasihku. Aku yang memintanya untuk menemaniku disini." balas Rafael dingin. "Litha, kamu tidak apa-apa? Apa dia menyakitimu?" Aku menggeleng. "Ak..aku tidak apa-apa." Jawabku. Rafael menggenggam tanganku. "Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi!" pintanya sembari menatapku sendu. "Raf! Jangan bercanda! Dia siapa? Aku ini tunanganmu, Rafael." sambung Evelyn. Aku ingat sekarang. Dia adalah wanita yang akan di jodohkan dengan Rafael. Ya. Namanya Evelyn. Aku memang sudah mendengar namanya berkali-kali. "CALON. Tolong di garis bawahi!" sambung Devania. "Lagian, Kak Evelyn kan tahu, Kak Rafael nggak suka sama Kakak." lanjut gadis tujuh belas tahun itu. "Dev, kamu ini masih kecil. Kamu nggak tahu apa-apa!" ujar Evelyn dengan tidak suka. "Dev emang masih SMA. Tapi Dev cukup tahu perasaan Kakak kandung Dev, dan apa yang ia mau." balas Devania. Ia memang pemberani dan frontal ketika berbicara. "Raf, katakan sesuatu! Jelaskan, siapa gadis itu sebenarnya!" paksa Evelyn. Rafael menatap Evelyn datar. "Sudah ku katakan sebelumnya, dia kekasihku." jawab Rafael. Tiba-tiba aku merinding saat tatapan tajam Evelyn menusuk mataku. Lebih tepatnya tatapan mengancam. Napasku serasa berhenti. Dan tanpa sadar, aku menggenggam erat tangan Rafael. "Aku tidak akan tinggal diam jika kamu berani menyakiti kekasihku." ancam Rafael. Sepertinya ia tahu apa yang sedang ku rasakan. Tak lama berselang, Evelyn keluar dari ruang rawat Rafael dan membanting pintunya keras. Tatapan itu. Sepertinya sangat familiar bagiku. Tatapan penuh kebencian. Aku tidak lupa. Di masa laluku, beberapa orang sangat membenciku karena suatu hal. Hingga mereka memerintahkan seseorang untuk membunuhku. Dan Evelyn memiliki tatapan itu. Akankah masa laluku kembali terulang? Akankah nyawaku kembali akan jadi incaran? "Hey!" Aku terpenjat saat Rafael menyentuh bahuku. "Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya. Aku menggeleng. Detik berikutnya ku rasakan ia mendekapku erat. "Kamu tidak perlu takut padanya. Aku akan selalu menjagamu, Litha." bisiknya. Aku baru saja memejamkan mataku ketika terdengar bunyi pintu yang tertutup kasar. "Brakkss" Aku terpenjat dan segera menoleh ke arah sumber suara. "Kenapa kamu bisa ada disini?" tanyanya tajam. Beliau adalah Om Bisma. Orang yang telah membanting kasar pintu ruang rawat Rafael. "Papa!" kaget Rafael. "Pa, jangan usir Litha! Rafael mohon! Jangan sakiti dia!" pintanya. "Siapa yang membawamu kesini, gadis gila?" Tubuhku gemetar. Aku segera berdiri dan mundur menjauh dari Om Bisma. Ku rasakan keringat dingin mulai membasahi pelipisku. Sungguh. Bagaimana jika pria itu nekat menyakitiku? "Pa, Rafael mohon..." "Pergi kamu dari sini!" bentak Om Bisma. 'Brukkk’ Aku menjatuhkan diriku di lantai dingin rumah sakit. Memeluk kakiku erat seakan aku akan kehilangan mereka. Aku tidak bisa mengendalikan diriku. Aku benar-benar takut. Bahkan air mata telah mengalir deras di pipiku. "Papa!" "Kamu berani berteriak sama Papa, Rafael? Kamu berani menentang Papa hanya untuk wanita gila ini?" Rasanya semakin sesak saat Om Bisma menyebutku sebagai 'wanita gila'. Tapi, apa yang salah? Semua yang Om Bisma katakan memang benar. Aku adalah wanita gila. Apa lagi sebutan yang cocok untukku selain itu? "Pa! Litha nggak gila!" Aku menatap kepedihan yang terpancar di mata Rafael. "Rafael mohon, Pa. Rafael nggak mau kehilangan Litha lagi. Sekali ini saja, Pa. Cuma Litha yang Rafael mau." lanjutnya. Ada sedikit  rasa haru yang timbul di hatiku. Apa yang spesial dariku hingga sosok pria sempurna itu begitu menginginkanku? "Tidak, Raf! Dia tidak pantas untukmu. Dia tidak pantas menyandang nama Renandi di belakang namanya." "Pengawal!" "Pa!" Dua orang berperawakan besar segera masuk ke ruangan. Mereka menunduk hormat pada Om Bisma. Tidak! Apa yang akan mereka lakukan? "Aaaarrrrgggh" aku berteriak. Aku ingin mereka pergi. Aku tidak suka mereka disini. Mereka akan menyakitiku. "Pa! Papa jangan, Pa! Rafael mohon!" "Brakkks" Aku semakin ketakutan mendengar suara sesuatu yang terjatuh. "Pergi! Pergi kalian!" usirku. "Bawa gadis ini pergi dan buang dia sejauh mungkin!" Aku kembali berteriak sembari menggelengkan kepalaku. "Kamu lihat, Raf! Dia gadis gila. Bagaimana bisa kamu menyukainya?" bentak Om Bisma. Dua pengawal itu memegangi tanganku dan mengangkatku paksa agar berdiri. "Papa, please! Rafael mohon, Pa," "Rafael, aku takut," "Tolong!" "Rafael! Aaarrrrggh" Aku terus meneriakan nama Rafael. Hanya dia yang bisa menolongku. Tolong aku, Raf. Aku tidak mau jika harus berjauhan lagi denganmu. Rafael, tolong aku! "Litha!" Rafael hampir saja berhasil memegangi kakiku. Tapi dua pengawal itu semakin keras menarikku berjalan ke arah pintu. "Litha, jangan pergi! Kamu sudah janji padaku, Litha." "Pa, Rafael mohon, Pa." Aku semakin terisak. Kakiku terasa semakin lemah. Dan akhirnya aku hanya bisa pasrah mengikuti tarikan dua pengawal itu. Apakah aku akan kembali di buang? Tidak. Aku tidak mau. Ketika salah satu dari mereka sibuk membuka pintu, aku mendorong keras seorang pengawal yang tersisa. Setelah itu, aku segera berlari. "Hey, jangan lari!" pekiknya. Dua orang pengawal itu langsung mengejarku. Tapi aku masih terus berlari. Aku tidak mau kembali berpisah dengan orang yang ku sayangi. 'Sssrrtt..' Tubuhku terhuyun ketika merasakan sebuah tarikan paksa. "Evelyn?"kagetku. Wanita itu tersenyum sinis ke arahku. "Hey jangan lari!" Aku kembali menoleh ke belakang. Dua pengawal Om Bisma itu semakin dekat denganku. Aku berusaha melepaskan cekalan tangan Evelyn, tapi gagal. "Oh..kamu mau aku menolongmu agar mereka tidak bisa menangkapmu kan?" Aku mengangguk cepat. "Apapun itu, aku mohon, jangan biarkan mereka menangkapku." lirihku. Evelyn kembali tersenyum. "Sudah waktunya," ujarnya. Aku menyeritkan alisku. Waktunya apa? 'Brukkkh' "Aww..." Aku merasakan kakiku terkilir saat secara tiba-tiba Evelyn mendorongku hingga tersungkur. Aku menatapnya sinis. Ku pikir dia serius ingin membantuku. "Bye, Litha," ujarnya sinis. 'Tin...tin...' 'Tiiiiinnnn'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD