Part 9

1688 Words
Saat Lana masuk ke kamar, Liam sudah selesai berpakaian dan siap keluar. Tanpa sepatah kata pun, pria itu keluar dari kamar. Lana pun tak perlu bertanya meski hanya sekedar basa-basi. Dan Lana tahu ke mana pria itu akan pergi. Menemui kekasihnya, bukan? Marisa jika Lana tidak salah ingat. Lana mengabaikan cubitan di hatinya, Liam berbuat segala hal atasnya, dan ia tak punya pilihan selain menelan semua pil pahit yang dicekokkan Liam di tenggorokannya. Ia hanya perlu membiarkan semua pil tersebut masuk ke dalam perutnya, tanpa mampu memprotes. Lana langsung ke kamar mandi, membersihkan diri dan setelah selesai, ia memindahkan koper-kopernya ke ruang ganti. Menata beberapa pakaiannya dan ketika alarm makan malamnya mulai berdering, Lana bergegas ke dapur. Hanya menemukan beberapa makanan yang perlu dihangatkan sebelum ia mengisi perutnya. Setelah perutnya kenyang, Lana kembali ke kamar. Mengantuk dan memutuskan untuk berbaring dan tertidur. Dan rasanya Lana baru saja memejamkan mata ketika suara pintu yang dibanting terbuka mengagetkannya. Lana membalik tubuhnya dan dengan matanya yang masih mengantuk, wanita itu menyipitkan mata. Berusaha melihat di antara keremanangan cahaya kamar. Melompat terduduk dan mengenali tubuh yang terhuyung masuk ke dalam kamar adalah Liam. Liam memegang gagang pintu demi menahan tubuhnya yang kehilangan keseimbangan agar tidak terjatuh ke lantai. Menggelengkan kepala dengan satu tangan untuk mengembalikan kesadarannya yang mulai hilang muncul. Tetapi tentu saja ia mengenali pemilik wajah yang tengah terduduk di ranjang adalah Lana. Ia terkekeh, dengan tawa yang terlalu lebar ketika menyapa, “Hai, istriku?” Liam melangkah masuk, membanting pintu tertutup kembali ketika langkahnya yang terpincang menuju sudut tempat tidur. “Kau sudah bangun?” Lana tak menjawab, masih sibuk mengamati Liam yang bersandar di tiang tempat tidur, setengah mabuk melihat pria itu masih menyadari keberadaannya, dan bahkan masih ingat dirinya adalah istri pria itu. Berusaha melepaskan sepatu dan jaketnya dalam kesia-siaan. Sepatu dan jaket pria itu masih menempal di tubuhnya. Hingga kemudian Liam berhenti berusaha dan menjatuhkan tubuhnya tengkurap di tengah tempat tidur. Lana menyentuh pundak Liam ketika tubuh pria itu sama sekali tak bergerak. Lana pun menyingkap selimut dan turun dari tempat tidur. Memutari tempat tidur untuk melepaskan sepatu lalu membalik dan memanjat naik ke atas tubuh Liam untuk melepaskan jaket. Bau alkohol dan parfum wanita yang bercampur aduk membuat perut Lana mual. Lana pun melemparkan jaket tersebut di sofa dan menurunkan kakinya dari tempat tidur. Tetapi lengannya ditarik oleh Liam hingga tubuhnya terjatuh tepat di d**a pria itu. Liam menyeringai dan mengendus leher Lana. “Kau harum sekali,” Lana berusaha menegakkan lengannya, hendak bangkit dari tubuh Liam. Tetapi pria itu malah melemparnya ke samping. Kemudian menindihnya. Saat itulah Lana menyadari kesadaran Liam kembali sepenuhnya. Dan Lana tak perlu menebak-nebak apa yang diinginkan oleh pria itu, hasrat dan gairah yang berkabut di kedua mata Liam sudah lebih dari cukup menjelaskan apa yang akan terjadi berikutnya. Pria itu melucuti pakaiannya dan menyentuhnya lagi dan lagi. Dan pengaruh alkohol semakin memperburuk semuanya. Liam benar-benar tidak lembut, pria itu menyentuhnya seakan-akan ingin menghukumnya. Untuk kesalahan yang bahkan tidak diketahui oleh Lana sendiri. *** Keesokan paginya, Lana bangun lebih dulu. Menemukan luka lebam di pergelangan tangannya yang tidak Lana ingat bagaimana bisa mendapatkannya. Entah ketika Liam mencengkeram kedua tangannya di atas kepala, atau ketika Liam menariknya kembali ke tempat tidur ketika terakhir kali ia menolak keinginan pria itu. Tak tahan dengan kemarahan yang dilampiaskan pria itu terhadap tubuhnya. Setetes air mata kembali menggumpal di kedua kelopak matanya mengingat sikap Liam tadi malam. Dan lagi-lagi ia hanya bisa menahan gumpalan itu di tenggorokannya. Ketika ia mendengar langkah kaki dari luar kamar mandi, Lana bergegas melepaskan pakaiannya dan masuk ke bilik shower. Membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya. Sedikit berlama-lama demi menenangkan gejolak di dadanya kembali normal. Menekan kuat-kuat emosi di dadanya dan berusaha menampilkan ekspresi di wajahnya senormal mungkin saat keluar dari kamar mandi. Liam berdiri tepat di depan pintu kamar mandi dan menghadang langkah Lana. Membuat Lana menelan ludah dan mendongak menatap wajah pria itu. Tatapan tajam Liam penuh telisik mengelupas setiap ekspresi di wajah Lana. Untuk sesaat yang lama sebelum memutuskan untuk memiringkan tubuh dan melangkah masuk ke kamar mandi tanpa sepatah kata pun. Meski merasa heran dengan kebunhkaman Liam, Lana bergegas ke ruang ganti dan berpakaian. Butuh waktu lebih lama untuk memilih pakaian yang berlengan panjang sebelum keluar kamar dan menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. “Apa kau akan langsung ke kantor?” tanya Lana ketika melihat Liam sudah setengah melewati meja makan menuju ruang tamu. Langkah Liam terhenti, menatap menu sarapan yang disiapkan oleh Lana di meja sejenak kemudian kembali ke wajah wanita itu. “A-aku sudah menyiapkan makanan untukmu.” Lana meremas kedua tangannya yang saling bertaut di perut dengan gugup. “Tidak apa-apa jika kau makan di luar, aku hanya kebetulan menyiapkan makanan untukku dan kalau kau mau …” Liam pun memutar langkahnya dan menghampiri meja makan. Langsung duduk di kursi di samping Lana berdiri. “Semalam aku menghabiskan makanan yang dibuat kokimu. Jadi, hanya ini yang bisa kutemukan di kulkas.” “Lain kali kau tak perlu repot-repot membuatkannya untukku,” ucap Liam dengan dingin. Menatap nasi goring yang ada di piringnya dengan segelas jus jeruk segar. Lana terdiam, kemudian mengangguk singkat dan duduk di kursinya. Dan tiba-tiba suara dering ponsel di samping piring Lana mengalihkan perhatian Liam. “Maaf, hanya alarm pagi. Aku tidak bisa terlambat makan.” Kening Liam berkerut, menatap sisi wajah Lana yang mulai sibuk melahap isi piring wanita itu. Tanpa menolehkan wajah sedikit pun ke arahnya lagi. Keduanya pun menghabiskan isi piring masing-masing dalam kebisuan. Liam selesai lebih dulu dan meninggalkan Lana ketika ponsel pria itu berdering. Sejenak mengalihkan perhatian Lana mengetahui bahwa si pemanggil adalah Marisa. “Ada apa, Marisa?” Dan Lana tak mendengar lebih banyak ketika ponselnya sendiri berdering. Menampilkan nama Juan. “Ya, Juan?” Lana melirik ke belakang, segera bangkit berdiri dan melangkah ke kamar menyadari bahwa Liam masih ada di ruangan yang sama dengannya. Sedangkan Liam, genggaman tangan pria itu semakin mengencang melihat punggung Lana yang menghilang di balik pintu kamar dengan ponsel masih menempel di telinga. Juan? Sudah jelas bukan nama seorang wanita, kan? Dengan amarah yang bergemuruh di dadanya, Liam melangkah keluar dan membanting pintu apartemen dengan keras. “Semalam aku menunggumu di apartemen.” “Aku tak berjanji akan datang. Suasana hatiku sedang buruk, Marisa.” “Ya, mungkin aku bisa menghiburmu dengan sesuatu yang menyenangkan. Aku akan mendatangi ruanganmu dalam waktu sepuluh menit. Aku punya menu sarapan special untukmu.” Marisa membuat suaranya terdengar semendesah mungkin dengan tujuan untuk menggoda. Liam menghela napas dengan kasar, merasa sudah muak dengan kecemburuan yang masih memengaruhi dadanya dan membuat pikirannya sekacau ini. “Aku baru saja keluar dari apartemen.” Marisa diam sejenak. “Ini sudah jam delapan, Liam. Bagaimana mungkin kau mungkin masih ada di apartemenmu.” Suara Marisa terdengar diselimuti kecemburuan. “Apa istrimu merepotkanmu? Kau ingin aku memberinya peringatan?” “Istriku akan menjadi urusanku, Marisa.” Liam tak lupa menyelipkan peringatan dalam suaranya. Marisa tak bersuara lagi, tapi Liam tahu wanita itu begitu kesal. “Aku akan ada di ruanganku dalam lima belas menit. Dan aku ingin tahu sarapan special apa yang kau siapkan untukku.” “Hmm, baiklah.” Dalam sekejap, nada suara Marisa berubah riang. “Aku tak sabar bertemu denganmu, sayang.” Liam hanya tersenyum tipis, menjawab singkat dan memutus panggilannya sebelum melangkah keluar dari pintu lift yang terbuka. Tanpa menyadari sosok lain yang sedang bersamanya di dalam lift. Kening Evans berkerut dalam, ikut melangkah keluar dari lift dan menatap punggung Liam yang menjauh menyeberangi lobi. “Sayang?” tanyanya dalam kerutan yang lebih dalam. *** “Apa kau sudah mendapatkan kabar terbaru dari Dennis?” tanya Lana begitu memastikan pintu kamar sudah tertutup rapat. “Bisakah kita bertemu? Sepertinya aku tak bisa membicarakan hal semacam ini lewat telepon, Lana.” Lana seolah menahan napasnya. “Kenapa?” “Apa kau punya waktu siang nanti?” Lana merasakan keseriusan dari nada suara Juan. Lana menelan ludahnya dan berharap suaranya tidak keluar dalam bentuk getaran. “Ya, Juan. Kau bisa menentukan tempatnya.” “Baiklah. Aku akan mengirim lewat pesan singkat.” “Ya.” Panggilan terputus dan lama Lana termenung. Dengan telapak tangan menempel di d**a. Berharap mendapatkan kabar baik dengan pertemuannya dengan Juan. Lana tak sabaran untuk bertemu dengan Juan, ia datang setengah jam lebih awal di café yang berada di dekat kantor Juan. “Kau sudah datang?” Juan terheran menemukan Lana yang tampak sudah menghabiskan dua gelas minuman di meja. Lana mengangguk dan berdiri menyambut pria itu untuk mempersilahkan Juan duduk. “Apa kau ingin minum?” Juan menggeleng. “Tidak perlu.” “Kau yakin?” “Ya, aku sudah mendapatkan makan siang di ruanganku.” Lana mengangguk. Keduanya diam sejenak. Lana yang lebih dulu memulai. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku?” Juan tampak terdiam sejenak. Menatap wajah Lana yang tampak tegang menunggu penjelasan darinya. “Sebelumnya aku minta maaf, Lana. Tapi … aku tak yakin apakah aku harus memberitahumu atau tidak tentang hal ini.” “Aku datang ke sini untuk mendengar apa yang ingin kau beritahu padaku, Juan. Bukan keraguanmu.” Juan membuka mulutnya, kemudian tertutup. Tetapi Lana mengulurkan tangan dan menggenggam kedua tangan Juan. “Katakan saja, Juan. Ada apa? Di mana Dennis?” Juan menatap ekspresi di wajah Lana. Cukup lama dan akhirnya tak tahan menatap permohonan di wajah wanita itu. “Aku tak tahu apakah ini bisa membantumu. Tetapi di malam pernikahan kalian, Thomas datang ke apartemen Dennis.” “Thomas?” Lana mencoba mengingat siapa pria bernama Thomas, dan tampaknya ia pernah mendengar nama itu. Juan mengangguk. “Dia teman kami. Pemilik butik tempat Dennis memesan jas pernikahan kalian.” Ah, Lana ingat sekarang. “Malam itu dia datang ke apartemen Dennis untuk mengantar jas Dennis. Saat ia pulang, ia berpapasan dengan …” Juan terdiam. Genggaman tangan Lana di tangan Juan semakin menguat. Ia menggigit bibir bagian dalamnya. Menunggu dengan gugup. “Siapa dia, Juan?” Juan tampak menarik napasnya sebelum menjawab. “Seseorang.” Jantung Lana seakan membeku. “Pria?” Kemudian jantungnya merasa diremas ketika mengajukan pilihan yang lain. “A-ataukah wanita?” Juan tak langsung menjawab. “Wanita.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD