Sifat kasarnya

1744 Words
Jarum jam menunjukan pukul 19.00 malam. Alice masih terbaring di rnajang yang memang sudha di siapkan untuknya dan Dion. Tubuhnya masih terbalut gaun pengantin berwarna putih, dan riasan yang masih menempel.di wajahnya belum semoat ia hapus. Hari ini rasanya Alice kehilangan sesuatu. Hampir 5 jam berlalu setelah dia sampai di rumah yang sudah di persiapkan untuknya dan Dion. Tetapi, suaminya tak kunjung datang. Bahkan dia tidak menghubunginya sama sekali. Meski merasa sangat lega, akhirnya dia tidak menghabiskan malam.pertama ini dengannya. Tubuhnya sudah gemetar ketakutan. Wajah cantiknya sudah terbalut dengan air mata ketakutan kesuciannya akan terenggut oleh orang yang sama sekali tidak pernah ia cintai. Meski dalam lubuk hatinya paling dalam ia merasa kehilangan. Entah kenapa? Apa ikatan batin antara istri dan suaminya? Atau hanya sebatas perasaan semanta. Kemana dia pergi? Apa dia pulang atau tidak. Tetapi, aku berharap dia tidak pulang nantinya. Aku lebih nyaman sendiri di sini. Gumam Alice. Menghela napasnya perlahan. Alice membaringkan tubuhnya yang capek di atas ranjang. Dengan pandangan mata menatap ke atap langit. "Apa yang kamu lihat, Alice." Alice bertanya pada dirinya sendiri. Ingin rasanya dia marah pada dirinya. Pada hatinya, di saat mengingat gimana tadi Rain mengejarnya. Dan kini hanyalah sebuah penyesalan yang ada. Rain pasti menganggap aku marah padanya. Alice mengerjapkan matanya Menahan air mata yang seakan ingin menjatuhi pipinya. "Maafkan aku! Maaf!" gumam Alice mengangkat tangannya, menatap detail punggung tangannya tepat di bawah atap langit kamarnya. "Sekarang aku sudah hancur... Aku sadar.. Aku sekarang sudah tak pantas untuknya lagi. Aku bukankah wanita baik-baik.." tak terasa air nata itu menetes membasahi pipinya. Alice susah payah menahannya. Namun hatinya benar-benar begitu sakit dan terluka. "Aku berharap kamu kelak mendapatkan yang terbaik Rain..." gumam Alice kesekian kalinya. Hingga tubuh, pikiran hatinya yang benar-benar sudah lelah. Kini ke dua matanya mulai terpejam dengan tangan tepat di atas ke dua matanya. *** Tak lama Dion pulang ke rumahnya. Entah dari mana dia pergi. Tubuhnya yang lemas berjalan sempoyongan masuk ke dalam kamar. Membuka kasar pintu kamarnya sontak membuat Alice yang semula tertidur mulai membuka matanya lebar. Dan dengan segera bangkit dari tidurnya. Bau alkohol menyeruak masuk ke dalam penciumannya. Membuat wanita itu mengernyitkan hidung dan matanya bersamaan. Langkah kaki yang seakan berat melangkah ke depan. Hingga jatuh tepat di dalam dekapan tubuh Alice. "Kamu dari mana?" tanya Alice sok perduli. Dion mendorong tubuh Alice menjauh darinya. Hingga terpental ke belakang. Dion menjatuhkan tubuhnya tepat di atas ranjang miliknya. Memejamkan matanya dengan ke dua tangan merentang seakan itu kamar adalah miliknya sendiri. Alice mengerutkan keningnya di saat dia melihat Jaket yang masih dalam genggaman tangan Dion. Dia berjalan menghampirinya, mengambil jaketnya melemparnya di atas kursi. "Kamu tidur di bawah. Jangan ganggu aku." gumam Dion tanpa membuka matanya. Alice hanya diam, menghela napasnya berkali-kali mencoba untuk tetap sabar menghadapi perlakuan Dion padanya. Hah.. Kenapa aku harus menikah dengan laki-laki seperti ini. Ah... Semoga saja lelahku menjadi bahagiaku kelak. Alice dengan berat hati. Dia segera ganti baju. Hanya karena kelelahan. Tak sadar dirinya sudah tertidur pulas. Alice mengambil pakaian ganti di koper. Dan mulai berjalan menuju ke ke kamar mandi. Tanpa perdulikan Dion yang masih terus bergumam. Selesai ganti baju kilat. Alice mengambil satu baskom air dan handuk kecil. Entah bagaimanapun kejahatan dia, ia tidak tega melihat suaminya sedang berbaring lemas terus mengigau. Alice menarik napasnya dalam-dalam. Jemari tangannya seakan masih ragu membuka kancing baju Dion. Jika dia bangun, pasti akan menganggapnya sebagai bertindak buruk padanya. Dalam satu tarikan napasnya. Alice membuka satu per-satu kancing kemeja Dion. Seketika Alice menelan ludahnya susah payah. Saat melihat d**a bidang Dion di depan matanya. Baru kali ini dalam hidupnya melihat d**a srornag laki-laki. Yaitu suaminya sendiri. Dengan berat hati Alice, membasuh d**a bidang Dion, mengusap sekujur tubuhnya dengan tangan yang masih gemetar takut. Alice berhenti mengusap tubuh Dion, saat tangan kekar laki-laki itu mencengkeram pergelangan tangannya. "Apa yang kamu katakan?" tanya Dion. Alice mengerutkan keningnya bingung. Dari tadi dia hanya diam belum berbicara sedikitpun. "Kenapa kamu pergi meninggalkanku." ucap Dion, mencengkeram semakineratbtangan Alice. Seketika Alice mengeryitkan wajahnya menahan rasa sakit cengkeraman kuat laki-laki itu. Ia yakin jika tangannya pasti akan membekas biru nantinya. Aku sangat mencintai kamu. Aku cinta kamu. Bukan orang lain.." Dion meletakkan talapak tangan Alice tepat di dadanya. Wanita itu menghela napasnya di saat merasakan detak jantung Dion yang begitu jelas. Rasa kasihan terbesit dalam pikirannya. Tetapi di sisi lain dia merasa benci pada laki-laki itu, yang sudah merenggut kebahagiaannya selama bertahun-tahun. Dion tertidur dengan tangan Alice masih di dadanya. Dia membaringkan tubuhnya ke kanan. Seketika tubuh Alice mengikuti tangannya. "Aku harus segera pergi." gumam Alice lirih. "Tetaplah di sini. Jangan pergi!" ucap Dion, seakan memerintahkannya untuk tetap di sampingnya. Alice menelan ludahnya. Lalu menghela napasnya frustasi. Dia mencoba menarikntanganya. Namun tetap saja pegangan tangan Dion semakin erat, memeluk lengannya. Dion membalikkan badannya. Ke dua katanya mengernyit du saat melihat sosok wanita di depannya. Wajahnya terlihat sangat samar, ia meletakkan ke dua telapak tangannya di pipi Alice. "Kamu cantik?" tanya Dion. "Kenapa?" "Aku sayang padamu. Jangan pergi lagi." gumam Dion, mengusap wajah Alice. "Aku tidak akan pergi lagi." jawab Alice, seakan berat mengatakan hal itu. Dia tahu jika yang di maksud bukan dirinya. Tetapi kakaknya Delisa. "Makasih!" Dion mengangkat tangan Alice, meletakkan telapak tangannya tepat di atas pipinya. Kenapa aku sangat gugup dengan posisi seperti ini. Meski aku tak sadar kenapa aku bisa seperti ini. Seakan hatiku mulai gemetar menatap mata sipit laki-laki di depannya. "Sekarang kamu adalah milikku, selamanya jadi milikku." gumam terkahir Dion, mulai melepaskan tangan Alice, lalu membaringkan tubuhnya lagi di atas ranjangnya tertidur lelap. Alice menutup tubuh Dion dengan selimut tebal. Kemudian melangkahkan kakinya berjalan menuju ke sofa. Alice berbaring di sofa kecil dekat dinding kaca. Tertidur lelap di tengah gelapnya malam yang begitu mencekam baginya. Tubuhnya menggigil kedinginan. Dia mencoba menahannya, memeluk ke dua tangannya. **** Matahari sudah manampakkan sinarnya. Menembus dinding kaca, tepat mengenai wajah Alice. Burung-burung berkicau sangat merdu mengiringi sinar matahari yang perlahan naik ke atas. Alice yang masih berbaring, dia mengusap ke dua matanya. Mencoba membuka matanya yang masih terasa sangat lengket. "Apa sudah pagi!" gumam Alice, menarik tubuhnya untuk segera duduk. Menarik ke dua lengannya merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku. Pandangan mata Alice tertegun sejenak. Lalu memutarnya, dengan wajah terlihat bingung. Dia melihat tubuhnya sudah berada di atas ranjang. Kenapa aku ada di sini? Apa dia? Dia yang mengangkat tubuhku. Gumam Alice dalam hatinya. Ia memutar matanya kembali, melihat seisi ruangan tersebut. tak mendapati batang hidung Dion di sana. "Kemana dia? Apa dia sudah pergi? Tapi kemana dia pergi pagi-pagi seperti ini." gumam Alice, seakan masih tak mau beranjak dari ranjangnya. Brakk... Brak.. Brak.. "Heh.. bangun! Cepat bangun!" suara keras seorang laki-laki di iringin dengan gedoran keras tangannya. Membuat wanita berambut akan-akan itu terkejut. Dia membuka selimut tebal miliknya dan beranjak dari ranjangnya. Brakkk... Pintu terbuka sangat keras. Sontak Alice terjingkat dari tempat dia berdiri. Tubuhnya gemetar seketika di saat melihat Dion menatap tajam ke arahnya. Seperti seekor harimau gila yang ingin memangsanya. Dion menarik kasar tangan Alice keluar dari kamarnya. "Jam segini belum juga bangun. Apa kamu lupa jika kamu adalah istriku." bentak Dion, melemparkan tubuh Alice ke depan hingga jatuh tersungkur ke lantai. "Maaf! Aku kemarin capek." Alice menangis tersedu-sedu. Dia hanya bisa menunduk, mengusap tangan bekas cengkeramannya yang masih terasa sakit. "Maaf katamu?" pekik Dion, menarik ujung bibirnya tipis. "Jadi wanita jangan terlalu malas. Dasar jalang!" pekik Dion, meraih dagunya, menariknya sedikit ke atas. "Hapus air matamu. Aku tidak suka dnegan wanita cengeng seperti kamu. Lebih baik sekarang hapus." bentak Dion, melemparkan wajahnya Alice ke samping. "Aku..." "Jangan membantah. Cepat berdiri dan masak buatku." dion semakin meninggikan suaranya, Alice hanya bisa bersabar menarik napasnya dalam-dalam, ia mulai menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Dan beranjak berdiri memegang pagar tangga yang terbuat dari kayu. "Iya.. Aku akan masak." jawab Alice gemetar. Ia menarik ke dua kakinya yang terasa kaku, berjalan menuruni anak tangga. "Kalau jalan cepetan. Jangan malas jadi orang." bentak Dion kesekian kalinya. Kenapa dia hari ini terlihat kasar padaku. Dan semalam kenapa dia perduli denganku. "Jalan cepetan!" Dion mendorong tubuh Alice, hingga dengan cepat dirinya menuruni anak tangga. Alice mencoba menyeimbangkan tubuhnya agar tidak jatuh ke dua kalinya. Alice menoleh, dia mencengkeram erat ujung bajunya. Menatap wajah yang semula tertunduk. Dengan berani dia mengangkat kepalanya menatap wajah Dion yang kini masih tetap di belakangnya. "Apa?" Dalam.satu tarikan napasnya, Alice mencoba memberanikan dirinya untuk membantah Dion. Meski nanti api dalam diri Dion semakin membara. Karena api di kasih api akan menjadi ledakan besar. Aku tidak mau seperti ini terus. Tetapi jika aku membuat mentah-mentah dirinya. Yang pasti dia akan marah. Api harus di kalahkan dnegan air. Aku sekarang harus menjadi air yang tenang-tenang tapi menghanyutkan. "Kenapa kamu diam saja?" pekik Dion. Wajahnya terlihat lebih merah padam dari biasanya. Entah kenapa dia terlihat sangat marah kali ini. Mungkin dia lapar. Makanya marah-marah. Aku harus lebih berpikir positif lagi... Hah.. aku harus bertindak lebih cerdik menghadapi dia. Alice menghela napasnya. "Apa di rumah kamu tidak ada pembantu?" tanya Alice dengan wajah yang terlihat sangat tenang. Tanpa rasa takut terlihat di wajahnya. "Aku memang sengaja tidak pakai jasa pembantu. Karena akh punya istri, apa gunanya aku menikah. Kalau istriku sendiri tidak mau melayaniku." sindir Dion? meraih tangan Alice, menariknya ke dalam dapur, melemparnya tubuh Alice hingga terpental semakin ke dalam. "Cepat masak! Dan jangan protes lagi. Aku lapar sekarang!" Dion menarik turunkan nada suaranya. Alice menghela napasnya kesekian kalinya. "Baiklah! Aku akan masak!" "Cepetan!" pinta Dion. Dia melangkahkan kakinya pergi. Meninggalkan Alice sendiri di dalam. Dan dirinya hanya diam duduk di ruang makan sembari menunggu masakan dari Alice datang dan di letakkannya di depannya. "Masak apa?" teriak Alice. "Nasi goreng!" "Baiklah!" Suara rendah itu membuat Alice tersenyum tipis. Dia mulai memasak dengan bumbu dapur seadanya di sana. Dia begitu lembut sebenarnya. Tetapi kenapa di saat denganku dia selalu marah. Apa aku pernah salah dengannya. Dan aku pikir-pikir dia juga tampan. *** Selesai masak. Al8ce segera membawakan satu piring nasi goreng. Meletakkan tepat di depan Dion. "Ini," "Minumannya mana?" "Bukanya air putih sudah ada di depan kamu." "Apa kamu tidak mau mengambilkannya untukku." "Bukan seperti itu. Tapi.." "Tapi apa lagi?" Dion meninggikan suaranya satu oktaf. "Kamu mau membantahku lagi?" Alice berdengus kesal. "Iya, aku akan ambilkan." Alice menuangkan air putih di gelas kosong. Memberikan pada Dion. "Pergi!" "Dengan senang hati," jawab lirih Alice bergegas pergi dari hadapan laki-laki menyebalkan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD