BAB 006 || WEDDING

2097 Words
Tabitha bersama dengan Alexander sudah berada di apartemen milik Florence, sedangkan wanita yang sebentar lagi akan menyandang nama keluarga De Lavega itu tak berhenti menghela napasnya gugup. "Tak perlu gugup, kau akan menjadi putriku. Dan aku berjanji akan menjagamu," janji Tabitha seraya menggenggam tangan Florence yang dingin. "Aku hanya tak pernah berpikir sampai kesini nyonya." "Jangan memanggilku dengan sebutan itu, karena mulai hari ini kau panggil aku Mom." "Tapi_" "Aku sudah memanggilmu putriku, lalu kau masih memanggilku nyonya?" tanya Tabitha seraya membingkai wajah Florence. "Tidak." "Bagus, kau mengerti kan panggil aku Mom dan panggil Daddy Leo dengan sebutan Daddy." "Baiklah, Mom." Tabitha tersenyum hangat ia pun memeluk Florence. "Bagus, sekarang kita pergi." Tabitha melepas pelukannya dan memberi jarak seraya membelai pelan pipi Florence. Florence menganggukkan kepalanya lalu bersama dengan Tabitha dan Alexander keluar dari apartemen kumuhnya. Tabitha terus menggenggam tangan Florence yang dingin selama perjalanan menuju gedung pernikahan. Walaupun awalnya Leonardo menolak untuk diadakan pesta besar namun akhirnya pria itu setuju dengan permintaan Tabitha. "Kau memikirkan apa?" tanya Tabitha melihat raut wajah gugup yang terus bersarang di wajah Florence. "Aku hanya takut." "Aku tau ini pasti tidak mudah untukmu, tapi percayalah semua akan baik-baik saja." "Ya, Mom." "Kau tau, Leonardo adalah tipikal pria yang menutupi rasa lembutnya dengan kekerasan." Tabitha menjeda kalimatnya lalu menatap lekat kearah Florence. "Dia hanya kecewa dengan penghianatan calon mantan istrinya, oleh karena itu ia terlihat membenci wanita, tapi sebenarnya dia tak seperti itu. Kalau kau berhasil mencapai titik lembutnya maka kau berhasil menaklukan putraku." "Maksud Mommy?" "Jika kau berhasil memasuki hatinya dan meluapkan sikap kerasnya percayalah Leonardo akan melakukan apapun untuk kebahagiaanmu." "Aku tak yakin bisa melakukan itu." "Ya, bahkan adiknya sendiri menyerah menghadapi sikap Leo." Tabitha terkekeh geli jika mengingat ketakutan Fiorella saat bersama dengan Leonardo dalam satu ruangan. "Leo menyakiti adiknya?" "Bukan, tapi sikap dinginnya membuat Fio tak tahan, akhirnya sekarang Fio tinggal di Seattle." "Nama adik Leo, Fio?" "Ya, namanya Fiorella Fransisca De Lavega." "Nama yang indah." "Dan Leo sendiri yang memberi nama tengah Fio." "Serius?" "Iya, dia sebenarnya sangat mencintai adiknya yang nakal. Bahkan kau tau, dia mengalihkan seluruh panggilan dan pesan masuk di ponsel Fio keponselnya." "Jadi Leonardo menyadap ponsel Fio?" tanya Florence dengan mengangkat satu alisnya. "Ya, itu semua dia lakukan karena terlalu menyayangi adiknya." "Dia sangat baik." "Ya, oleh karena itu ku harap kau bisa mencapai titik lembutnya agar dia juga bisa melindungimu dan mencintaimu." "Aku masih kurang yakin dengan itu." "Dengar Flo, lagi pula cinta datang dengan waktu, percayalah dengan itu." "Ya, aku akan usahakan." "Kau harus bisa meruntuhkan tembok yang menghalangi kelian berdua." "Ya Mom." "Bahkan saat pertama menikah dengan Daddy Leo, aku sangat membencinya." "Apa?!" Florence langsung menatap Tabitha dengan kedua alisnya yang sudah menaut. "Ya, aku sangat membenci pria tua itu karena sudah merenggut masa muda ku. Tapi semakin lama aku tinggal bersamanya aku merasa aku dilindungi dan diperlakukan istimewa olehnya." "Jadi Mommy jatuh cinta pada Daddy Leo setelah pernikahan?" "Ya, karena sebelum menikah dengan Arthur, aku sudah mencintai seorang pria oleh karena itu aku membenci Arthur. Tapi waktu terus berputar dan aku sadar aku sudah jatuh cinta pada Arthur, alhasil aku melupakan rasa cintaku pada pria itu." "Bagaimana tanggapan Daddy Leo?" "Dia bahagia, sangat bahagia. Bahkan dia rela memberikan apapun untukku." "Itu terdengar sangat membahagiakan." Florence tersenyum hangat mendengar cerita Tabitha. "Ya, sifatnya dengan Leo sama persis. Keras kepala, angkuh dan arogan. Semuanya menjiplak persis dari sifat Arthur." "Ya, kau benar Leo memang terlihat sangat arogan." "Ya, dan kau tau aku menghadapinya selama 24 tahun." "Kau pasti wanita yang sabar." "Ya, bagaimana tidak sabar aku harus menghadapi ayah dan anak yang sama-sama keras kepala." "Tapi kau bahagia bukan?" "Pasti, mereka adalah nyawaku. Aku sedikit bersyukur Fio sedikit meniru sikapku." "Maksudmu?" "Fio hanya keras kepala, tapi ia tak dingin apalagi arogan seperti Leo/" "Dia gadis yang baik." "Kau salah, dia nakal dan cerewet sama sepertiku." Tabitha tertawa begitupun dengan Florence. Sejenak Tabitha dan Florence melupakan masalahnya dan berbagi cerita di dalam mobil itu. "Nyonya kita sudah sampai," potong Alexander yang langsung disambut anggukan dari Tabitha. "Sekarang kita keluar, dan kau harus menceritakan kehidupanmu padaku nanti." "Baiklah." Florence tersenyum manis menanggapi ucapan Tabitha. Mereka pun keluar dari mobil mewah milik Arthur dan memasuki gedung, namun Tabitha menggiring Florence ke sebuah ruangan yang sudah diisi oleh anak buah Jady. "Mommy akan meninggalkanmu dengan mereka." "Tapi_" "Tenanglah, lagi pula mereka hanya akan merias mu." "Baiklah." Tabitha membelai perlahan pipi Florence lalu tersenyum manis. "Aku akan kembali." Florence menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, Tabitha pun menjalankan kakinya keluar dari ruangan itu. Sementara di dalam Florence sudah diminta untuk mengganti bajunya dengan gaun putih yang mengembang besar dan sudah dipastikan harganya tak main-main karena beberapa orang yang mendandaninya bicara kalau beberapa aksen berlian di gaun itu adalah asli. Setelah mengganti gaunnya, Florence pun duduk di meja rias dan wajahnya pun dirias. Rambutnya disanggul dengan membentuk bunga dengan menyisahkan beberapa helai di sisi pipi kanan dan kirinya, ia tampak berbeda kali ini, memang Florence selalu merias wajahnya natural namun kali ini ia terpaku melihat pantulan dirinya di cermin, ia tampak sangat cantik. "Kau sangat cantik," puji seseorang diambang pintu. Florence langsung mengalihkan tatapannya pada Tabitha yang tersenyum dengan membawa sebuah kotak merah ditangannya. Tabitha mendekati Florence dan ia sedikit berdecak. "Kau cantik sekali." Florence berdiri dan menatap Tabitha dengan tatapan berkaca-kaca. "Hei, kenapa kau menangis?" "Aku hanya mengingat ibuku." "Tenanglah, sekarang kau bisa anggap aku sebagai ibu kandungmu sendiri." Tabitha langsung memeluk Florence, wanita itu terus menenangkan Florence dalam dekapannya. "Jangan bersedih lagi, ini aku membawa sesuatu untukmu," ucap Tabitha setelah melepaskan pelukan Florence. "Apa ini Mom?" "Kalung yang diberikan Arthur untukku, saat anniversary kami yang kelima tahun." "Ini sangat indah." Florence menganga melihat kalung di dalam kotak yang dipegang Tabitha, kalung berlian putih yang sangat indah. "Sebenarnya Arthur membelikanku dua kalung tapi aku selalu senang memakai yang ini. Karena jujur aku lebih suka ini yang lebih simpel, jadi aku juga ingin kau memakai kalung ini untuk pernikahanmu." "Tapi Mom, ini terlalu indah." "Ya, sesuai denganmu." Florence tersenyum dengan pujian Tabitha, dan tanpa kata Tabitha pun memakaikan kalung itu di batang leher Florence. "Lihatlah kau sangat cantik ditambah dengan kalung itu." Tabitha berdiri dengan Florence disampingnya menatap pantulan dirinya didalam cermin. "Sudah berdandanya?" Arthur berdiri mengagetkan kedua wanita di dalam ruangan itu. "Kau membuatku terkejut!" "Maaf honey." Arthur mendekati Tabitha dan memeluk wanita itu dari samping. "Kau sangat cantik," puji Arthur menatap dari atas sampai bawah pada Florence. "Jaga matamu pak tua." Tabitha menyindir Arthur dengan suara dibuat-buat yang sukses membuat Florence tertawa. "Kau lebih cantik dari apapun honey." "Perayu!" "Sudahlah, ayo kita keluar." Tabitha dan Florence pun menganggukkan kepalanya lalu Arthur dan Tabitha berjalan beriringan dengan mengapit lengan Florence. "Daddy!!" Suara lantang membuat Tabitha sedikit tersentak, sial! Siapa lagi kalau bukan putrinya yang berteriak seperti di dalam hutan. "Hold on sweetheart." Arthur langsung memperingati Fiorella sedangkan gadis itu menatap Florence. "Kau sangat cantik kakak," pujinya dan langsung melepaskan lengan Arthur yang mengapit lengan Florence dan menggantinya dengan lengannya sendiri. "Fio." Tabitha memperingati anak gadisnya yang terlampau nakal. "Lebih baik Daddy bersama dengan kak Leo di altar, biar aku yang akan mengantar kak Florence bersama Mommy." "Apa?" Arthur menaikan satu alisnya mendengar penuturan putrinya. "Ya, Daddy tak tulikan?" "Sudahlah turuti saja putrimu itu, atau kita tak akan keluar dari sini selamanya." Tabitha menghentikan pertengkaran yang akan terjadi sebentar lagi oleh ayah dan anak itu. "Baiklah." Arthur mengalah ia pun meninggalkan Florence dengan kekehan gelinya. "Ku pikir keluarga terpandang seperti De Lavega akan hidup formal," ujar Florence menatap Tabitha. "Ya, kau tau jawabannya. Keluarga kami penuh dengan orang-orang yang keras kepala, jadi aku harus siap memisahkan mereka jika terjadi pertengkaran tak bermutu seperti tadi," ucap Tabitha geli. "Mommy, ayo cepat kita harus segera keluar." Fiorella mengapit lengan Florence dan menatap mommy-nya lekat. "Ayo kak, jalankan kakimu. Kau tak mau kan diseret oleh kakak ku yang dingin itu?" tanya Fiorella gemas. "Baiklah," balas Florence dengan bergidik, membayangkan tubuhnya ditarik oleh tubuh besar Leonardo langsung membuatnya menggigil. Tabitha dan Fiorella mengapit lengan Florence dan berjalan beriringan menuju ujung altar dimana sudah ada Arthur dan Leonardo yang menunggu, Tabitha melepaskan kaitan lengannya saat Leonardo mengulurkan tangannya pada Florence dan dibalas canggung oleh wanita itu. Setelah mengucapkan janji pernikahan, Florence sama sekali tak berniat untuk mendongakkan wajahnya menatap Leonardo, walaupun tubuhnya tinggi. Tetap saja ia masih harus mendongak jika ingin menatap pria dingin dihadapannya. "Kau boleh menciumnya." Setelah kalimat itu keluar tubuh Florence semakin menggigil tak terkendali, tangannya mendingin dan ia merasa sangat gugup sekarang saat perlahan tangan besar Leonardo menyingkap lembut kain yang menutup wajahnya. Leonardo memiringkan sedikit kepalanya dan mendaratkan kecupan lembut di bibir Florence, wanita itu menegang seketika. Ia merapatkan matanya dengan debaran jantung yang sudah memompa dua kali lebih kencang. "Sweet," puji Leonardo setelah melepas ciumannya. Namun wajah pria itu sama sekali enggan untuk mundur dan memberi jarak pada wajah Florence, wanita itu merasa wajahnya memerah seketika. "Tenanglah, setidaknya aku tak merobek gaunmu disini," bisiknya tepat ditelinga kanan Florence yang sukses membuat wanita itu membelalakan matanya. Setelah serangkaian acara pernikahan, kini Leonardo dan Florence berdiri dengan kedua tangan yang saling menaut, ralat! Leonardo yang menggenggamnya seakan tak membiarkan Florence lepas dari jangkauannya. Tak lama seorang pria datang dengan setelan jas mahal berwarna maroon, ia membawa sebuket bunga dan sebuah kotak persegi seperti kotak perhiasan. "Happy wedding dude, setidaknya kau tak memerlukan jalang lagi sekarang," ujar pria itu menepuk bahu Leonardo pelan. "Jaga bicaramu Mike!" peringat Leonardo tajam lalu melirik kearah Florence yang sudah menundukkan wajahnya. "Akhirnya, kau bisa menikah jadi kau bisa menjadi orang yang pertama baginya," ucap Mike lagi namun kali ini ia memainkan alisnya dengan menatap Florence lekat. "Bahkan dia sudah tak perawan," gumam Leonardo yang langsung membuat Mike membolakan matanya. "What?!" Mike menatap Florence dari atas sampai bawah meneliti tubuh wanita itu. "Tapi ia terlihat seperti wanita baik-baik," ucapnya lagi namun kali ini menatap Leonardo lekat. "Ya, kau benar namun kita tak bisa menilai orang dari luarnya saja kan?" tanya Leonardo lagi yang langsung membuat darah Florence mendidih seketika. Cukup! Ia tak tahan dengan penghinaan yang dilontarkan pria bermulut pedas yang sayangnya telah menjadi suaminya saat ini, Florence menarik tangan Leonardo cepat dan menatap pria itu dengan tatapan membunuhnya. "Ya, dan asal kau tau aku memang bukan lagi seorang perawan! Tapi aku lebih baik dari pria b******k yang menodaiku malam itu!! Bahkan aku sangat membencinya! Dia adalah pria paling b***t! Gila! Dan sinting yang pernah aku temui! Walaupun kau sekarang menerimaku menjadi istrimu bukan berarti kau melupakan kesalahanmu dengan memperawaniku Ass*ole!!" desis Florence tajam menatap Leonardo, entahlah sepanjang hidupnya ini kali pertamanya berbicara sepedas dan seberani ini pada lawan jenis, ia biasanya akan ramah dan baik pada seorang pria tapi jika berhadapan dengan Leonardo semuanya menghilang entah kemana. "God! Leo kau yang mengambilnya?" tanya Mike dengan menatap Leonardo tak percaya. Sedangkan Leonardo kini berdiri dengan tatapan yang sangat datar, dan menatap Florence yang sekarang menjadi istrinya lalu menatap Mike. "Ya, dan aku bahagia ada gadis polos yang berhasil membawa benihku pada tubuhnya," ucap Leonardo bangga, tapi berbeda dengan Florence yang semakin merasa terhina! Sadarkah pria bodoh didepannya itu? Kalau perkataanya membuka seluruh rahasia mereka! "Leo! Terserah aku tak perduli you fu*king ass*ole!!" desis Florence lagi namun ia langsung membalikan tubuhnya memunggungi Leonardo. "Sepertinya kau tak akan dapat itu malam ini dude," hina Mike menatap kasihan pada Leonardo. "Ya, hormon kehamilan. Maklum saja," balas Leonardo acuh. "Padahal Max mengirim ini untuk mu, tapi lebih tepatnya untuk istrimu," ucap Mike menunjukkan sebuah kotak perhiasan dan memberikannya pada Florence. Florence menatap kotak itu lalu tangannya terulur untuk menerimanya lalu ia pun membukanya, dan sial! Dugaannya salah isinya bukan perhiasan seperti yang ia duga, tapi beberapa kon*om yang dibentuk love! Mata Florence membelalak seketika ia pun menatap Mike dengan tatapan bak seribu pedang. "Hold on, jika kau lupa aku sudah bilang itu dari Max, aku memberikanmu sebuket bunga bukan itu." "Pergilah ini urusanku," ujar Leonardo memutus tatapan tajam Florence. Mike terkekeh geli lalu berjalan mendekati Florence mencondongkan tubuhnya tepat ditelinga wanita itu. "Bersiaplah untuk tak bisa keluar dari kamar seharian Mrs. De Lavega," ucapnya lalu memundurkan kepalanya dan tersenyum penuh arti pada Florence yang sudah menegang hebat kali ini. Mike berlalu meninggalkan Florence yang masih terlihat pucat pasih akibat ucapan sialan dari teman suaminya. "Ayo naik sudah malam," ucap Leonardo dan berlalu meninggalkan Florence dengan wajah yang semakin diiringi tetesan keringat dingin. God! Empat kata sia*an! Ia tak bodoh! Sungguh jika bukan karena rasa hormatnya pada Tabitha dan Arthur ia pasti akan lari sekarang juga, dan sialnya ucapan Mike menari seakan tak terkendali di dalam pikirannya! Dan sekarang ditambah dengan empat kata yang diucapkan Leonardo semakin membuat Florence mengigil. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD