Arthur meninju wajah putranya lalu mencengkeram erat kerah kemeja Leonardo sementara Tabitha histeris melihat Arthur yang dengan cepat memukul Leonardo.
"Arthur lepaskan dia!"
"Kau sudah bicara padanya, sekarang biarkan aku bicara dengan dia," ucap Arthur tak terbantahkan bahkan Tabitha pun mundur dan hanya bisa menangis melihat lebam dan darah segar yang keluar dari sudut bibir putranya.
"Jangan pernah berpikir untuk menggugurkan bayi itu!" desis Arthur tajam.
"Dad." Leonardo menatap Arthur dengan segan ini adalah pertama kalinya Arthur melayangkan tangannya pada Leonardo.
"Daddy pernah melakukan kesalahan dengan mengeluarkan kalimat itu, dan Daddy menyesalinya sampai sekarang Leo," ujar Arthur yang langsung membuat Tabitha teringat pertengkarannya dengan Arthur dulu.
"Maksud Daddy?"
"Bayi itu tak salah, yang salah orang tuanya Leo."
"Aku tak mengerti."
"Selama ini Daddy selalu mendukungmu, Daddy selalu membelamu walaupun kau salah. Itu semua Daddy lakukan karena Daddy yakin kau pasti berubah, tapi ternyata tidak!"
"Daddy memukulku barusan!"
"Ya, karena kau kelewat batas!"
"Daddy ..." Leonardo melirih kala Arthur mengangkat tubuh Leonardo hingga mengambang di udara.
"Daddy sudah bilang, sekali kau membuat Daddy kecewa! Jangan salahkan Daddy jika sisi gelap Daddy keluar padamu!"
"ARTHUR! LEPASKAN DIA! KAU BISA MEMBUNUHYA!!" teriak Tabitha histeris saat Arthur semakin kencang mencekik batang leher Leonardo.
"Daddy hanya memintamu menikahi wanita itu! Apa susahnya?!"
"Daddy ..."
"ARTHUR! TURUNKAN DIA!!" Tabitha semakin takut kala melihat wajah Leonardo yang sudah pucat pasih, Tabitha mencoba melepaskan tangan Arthur tapi cekalan suaminya seperti cekalan elang sangat susah dilepaskan.
"Jika kau tak menikahi wanita itu jangan harap kau bisa memimpin Regnarok!" putus Arthur lalu melepaskan cengkeramannya pada leher Leonardo.
Leonardo langsung terjatuh dan ia langsung memegangi lehernya yang memerah karena cekalan Arthur. Tabitha merengkuh Leonardo melihat bekas merah yang ditimbulkan karena Arthur.
"Apa yang kau lakukan?" lirih Tabitha menangis melihat luka dibatang leher Leonardo.
"Pelajaran!" desis Arthur tenang.
Tabitha memeluk putranya dan menatap Arthur lekat.
"Tenangkan emosimu Arthur lalu kita akan bicara lagi," ucap Tabitha dan Arthur menghela napasnya lalu menjalankan kakinya menjauhi Tabitha dan Leonardo.
"Daddy ..." lirih Leonardo masih tak percaya daddy-nya sangat keras, wajar selama 24 tahun ia selalu dimanja dan dibela oleh Arthur, namun kali ini daddy-nya melakukan hal ini padanya.
"Dengar Leo, ini tak seberapa, jika kau tak menuruti kemauan daddy mu, Mommy tak yakin bisa menyelamatkanmu," ujar Tabitha dengan membelai surai hitam Leonardo.
"Pikirkan itu," ujarnya lagi lalu meninggalkan Leonardo dengan ketidakpercayaanya.
Tabitha menjalankan kakinya memasuki kamar dimana Arthur tengah menyesap segelas vodka ditangan kanannya.
"Arthur," panggil Tabitha dengan suara yang sangat lembut.
Wanita itu menjalankan kakinya mendekati pria yang berstatus menjadi suaminya, memeluk tubuh pria itu dari samping lalu menangis di sana.
"Kenapa dia seperti ini? Kenapa kau menyembunyikan semua ini dariku?" tanya wanita itu dengan menatap manik biru terang milik Arthur.
"Aku hanya tak ingin membuatmu marah."
"Tapi nyatanya aku pasti marah jika mendengar hal ini."
"Maafkan aku Ta." Arthur meletakkan gelas vodka diatas meja dan beralih menatap Tabitha.
"Pertemukan aku dengan gadis itu."
"Baiklah."
Tabitha mengeratkan pelukannya pada Arthur, air matanya masih mengalir. Entahlah ia hanya merasa kecewa dengan tindakan Leonardo.
"Aku gagal."
Tabitha mendongakkan kepalanya saat Arthur berbicara dengan nada pelannya.
"Kau tak gagal Arthur, mungkin ini takdir."
"Dia sampai mengucapkan kata itu Ta. Aku merasa tersindir, ini mungkin balasan karena ucapanku padamu waktu dulu."
"Arthur jangan bicara seperti itu, lupakan saja. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah menikahkan mereka."
"Kau benar." Arthur membalas pelukan Tabitha dan wanita itu pun menenggelamkan wajahnya dibalik tubuh Arthur.
***
Leonardo memukul setir mobilnya beberapa kali, pria itu sudah mengetahui alamat apartemen dari wanita yang mengganggunya dua minggu ini.
"Leo, tenanglah."
"Bagaimana aku bisa tenang! Wanita itu menjadi penyebab Daddy memukulku!"
"Aku tau, tapi jika dipikirkan ini juga salahmu sendiri," ucap Reoxane yang langsung membuat Leonardo menghentikan mobilnya mendadak.
"s**t! Apa-apaan kau!!" rutuk Reoxane kencang dengan meletakkan satu tangan di jantungnya.
"Kau berpikir begitu?"
"Ya Tuhan, baiklah maafkan aku. Aku lupa kau paling tidak suka disalahkan. Baiklah, ini salahku karena tak menjaga kalimatku."
"Bagus," ujar Leonardo tanpa melirik sedikitpun kearah Reoxane yang sudah menyebikkan bibirnya.
"Dasar!"
"Kau mau merutuki ku lagi?" tanya Leonardo dingin.
"Tidak, sudahlah jalankan lagi mobilnya"
"Kau menyuruhku?"
"Astaga! Aku lebih baik keluar dari sini!" ucap Reoxane frustasi.
"Kenapa?"
"Kau menyalahkan ku terus!!"
"Jadi?"
"Leo, jalankan mobilnya atau aku akan keluar dari mobil mewah mu ini!" ancam Reoxane gemas dengan sahabatnya itu.
"Baiklah."
Leonardo akhirnya menjalankan kembali mobilnya ke arah apartemen kecil milik Florence.
Setelah sampai di depan sebuah gedung apartemen yang terlihat kumuh dan kecil, Leonardo dan Reoxane pun menurunkan kakinya dan berdecak pinggang menatap gedung di depannya.
"Kau yakin dia tinggal disini?" tanya Leonardo memastikan.
"Ya, aku yakin?"
"Tapi tempat ini sangat kumuh."
"Aku tau, tapi ini memang tempatnya Leo."
"Baiklah dengar, kau tinggal disini."
"Apa! Tidak! Aku ingin masuk!"
"Reo, dengarkan aku. Ini masalahku jadi biarkan aku menyelesaikan masalahku sendiri."
"Baiklah."
Leonardo menganggukkan kepalanya, lalu memasang earphone di telinganya.
"Kabari aku jika ada sesuatu."
"Baiklah, dengarkan aku Leo. Dia wanita baik-baik, jadi bicaralah dengan baik pula padanya."
"Ya, semoga."
"s**t!!"
Leonardo tak menggubris ucapan Reoxane ia melangkah memasuki gedung apartemen dan mencari pintu kamar milik Florence. Setelah menemukannya Leonardo mengetuk pintu tiga kali, tak lama terdengar sahutan dari dalam.
"Ya?" Florence berdiri kaku sesaat setelah membuka pintunya dan mendapati Leonardo di sana.
"Hai."
Florence tanpa kata hendak menutup pintu namun tangan Leonardo langsung mendorong pintu itu, sontak saja tubuh Florence sedikit terdorong pula ke dalam.
"Maaf, apa kau terluka?" tanya Leonardo, tapi di dalam ucapan yang tak ada sama sekali ketulusan.
"Pergi!"
"Aku ingin bicara."
"Aku bilang pergi, atau aku teriak!"
"Silahkan." Leonardo tanpa permisi memasuki apartemen milik Florence mengunci pintunya dan dengan tidak sopannya duduk di kursi tua di dalam apartemen Florence.
"Mau apa kau?!" tanya Florence lantang.
"Aku ingin bicara."
"Aku tak ingin dengar!"
Leonardo berdecak kesal, ia pun dengan cepat menarik lengan Florence sampai wanita itu terhuyung dan berakhir di pangkuan Leonardo.
Napas Florence terhenti kala wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah dingin Leonardo.
"Aku sudah tau mengenai kehamilanmu," ucap Leonardo datar seraya membelai perlahan pipi kanan Florence.
"Lalu kenapa kau kesini?! Aku tak meminta pertanggung jawabanmu!"
"Ya, aku tau." Leonardo menjeda kalimatnya lalu merapihkan anak rambut Florence sampai wanita itu menutup matanya gugup.
"Tapi karena itu lah Daddy ku mengancamku untuk menikahimu."
"Lalu apa maumu?!" tanya Florence berusaha melepaskan diri tapi Leonardo semakin erat mencengkeram erat pinggul Florence.
"Dengar, pilihanmu hanya dua," Leonardo menatap manik biru milik Florence.
"Gugurkan bayi itu, atau kau mati bersamanya." ancam Leonardo yang langsung membuat kedua mata Florence membelalak seketika.
"Aku tak akan memilih satu dari pilihan yang kau ajukan itu!" sentak Florence dan gila setelah indra penciumannya mencium parfum citrus dari tubuh Leonardo ia merasa gejolak di perutnya semakin menjadi-jadi.
Florence tanpa kata menghentakkan tangan Leonardo dan mendorong tubuh besar pria di depannya hingga melepaskan tubuhnya. Setelah terlepas Florence langsung berlari dan memuntahkan isi perutnya di dalam closet di kamar mandi.
Leonardo yang melihat itu hanya mengangkat satu alisnya, ia dengan tenang dan tanpa dosa mendekati Florence yang tengah tersiksa dengan morning sickness nya, pria itu memasukkan satu tangannya ke dalam saku celananya dan menatap Florence.
"Lihatlah, bayi itu membuatmu tersiksa kan?" tanya Leonardo pelan namun berhasil mencubit hati Florence.
"Ku mohon, pergilah jika tujuanmu hanya untuk mengancamku. Apa kau tak melihat aku tersiksa sekarang?" tanya Florence dengan wajah memelas yang berhasil membuat Leonardo sedikit merasa iba, tolong catat hanya, sedikit!!
"Kau ingin kerumah sakit?"
"Tidak,," balas Florence dengan suara yang melemah.
"Pikirkan tentang pilihan yang ku berikan padamu."
"God! Ku mohon pergilah tolong jangan ganggu aku dengan ancamanmu! Kau tau aku semakin mual mencium aroma tubuhmu!!" sentak Florence tak tahan dengan ucapan sampah yang keluar dari mulut Leonardo.
"Jaga bicaramu! Aroma tubuhku bahkan berhasil membuat jalang-jalang mendekatiku, bahkan melempar tubuh mereka padaku dengan sukacita."
"Terserah! Pergilah!"
"Tidak!”
"Pergi!!" Florence menyentak Leonardo lalu berdiri dengan sedikit terhuyung namun Leonardo dengan cepat menangkap tubuh wanita itu.
"Pelipismu berkeringat," lirih Leonardo melihat keringat yang keluar dari pelipis Florence.
"Ya, maka dari itu pergilah! Asal kau tau kedatanganmu semakin membuatku tersiksa."
"Oh ya?"
"Ya, dan aku tak ingin terus berada di dekat pria bren*sek sepertimu!"
Leonardo tersenyum miring saat mendengar penuturan yang keluar dari bibir Florence, otaknya berpikir keras lalu ia menegakkan tubuh Florence dan menatapnya dari atas sampai bawah.
"Well, kau sudah merusak kehidupanku dengan kedatangmu, jadi ini saatnya aku menyiksamu!"
"Apa maksudmu?!" tanya Florence.
"Kau bilang kau tak ingin berada disampingku kan? Tapi yang terjadi justru sebaliknya!"
"Bicara dengan jelas!!:
"Bersiaplah untuk pernikahan kita," ucap Leonardo bak petir di siang bolong.
"Tidak!!"
"Jika kau tak mau, aku sendiri yang menyeretmu ke altar pernikahan!"
Leonardo mendekati Florence sampai tubuh wanita itu tersentak ke belakang dan terperangkap di antara dinding dan kedua lengan kokoh Leonardo.
"You'll to be my wife," bisiknya yang langsung membuat Florence meremang
Leonardo menekan earphonenya dan panggilan dengan Reoxane pun tersambung.
"Ya?"
"Keluar sekarang!"
"Ada apa?"
"Daddy mu sedang di jalan menuju ke sini."
"Apa?!" Leonardo langsung memundurkan tubuhnya dan meletakkan satu tangannya di pinggang.
"Dan sialnya Daddy mu membawa aunty Tabitha juga."
"Double s**t!!" Leonardo langsung memijit pelipisnya.
"Cepat keluar!"
"Baiklah."
Leonardo memutus sambungan teleponnya dan menatap Florence dari atas sampai bawah.
"Dengar, jangan katakan pada orang tuaku aku kemari, jika itu terjadi bersiaplah untuk menerima hukumanmu Florence," bisik Leonardo yang langsung membuat Florence menelan salivanya kasar.
Leonardo langsung keluar dari apartemen Florence dengan langkah lebar dan mendekati mobil mewahnya. Leonardo memasuki mobilnya dan segera menjalankan mobil itu menjauhi apartemen Florence.
"Dari mana kau tau Daddy akan kemari?" tanya Leonardo penasaran.
"Kau lupa aku memasang GPS pada setiap mobil milik Uncle Arthur atas perintah Daddy ku. Dan aku iseng melihatnya dan ternyata benar Uncle Arthur yang mengendarai mobil itu."
"Jadi?"
"Aku memastikan dengan menelepon bodyguard di mansion, dan mereka bilang Uncle dan Aunty pergi dengan mobil itu."
"Kau cerdas."
"Well, aku tau."
"Terserah!”
"Leo, apa kau benar-benar akan menikahi gadis itu?"
"Ya, tapi itu untuk menyiksanya."
"s**t! Leo kau gila?!"
"Tidak, ini hanya sebagai pelajaran saja."
"Leo yang kau lakukan adalah kesalahan!"
"Ya, aku tau dari awal aku sudah salah. Jadi aku lanjutkan saja."
"Seharusnya kau memperbaikinya bukan malah menambah kesalahanmu!"
"Sepertinya dia cukup polos."
"Kau keterlaluan Leo."
"Aku lebih dari keterlaluan Reo, I'm assh*le."
"Leo, kau gila!"
Leonardo tersenyum tipis ia pun memutar haluan dan tak menjalankan mobilnya menuju kantor melainkan club milik Maxime.
"Mau kemana kita?" tanya Reoxane.
"Club."
"Apa?!"
"Kenapa?"
"Leo kita harus ke kantor."
"Sudahlah Reo, kita perlu pengalihan setelah masalah ini."
"Masalah ini belum selesai."
"Ya, aku tau."
"Lalu kenapa kau mau ke club?"
"Hanya bermain sebentar."
"Dasar Mr. Frozen!!"
***
Arthur mengapit lengan Tabitha yang masih sibuk menatap gedung apartemen kumuh di hadapannya.
"Kau yakin ini tempat tinggal wanita itu?" tanya Tabitha yang langsung dibalas anggukan dari Arthur.
"Kita masuk?" Arthur menatap lekat Tabitha yang menganggukkan kepalanya.
Mereka berjalan beriringan memasuki gedung apartemen dan mencari apartemen milik Florence.
"Ini apartemennya," tunjuk Arthur yang langsung membuat Tabitha mendongakkan kepalanya.
"Aku sungguh merasa kasihan padanya."
"Aku juga."
Tabitha mengetuk pintu tiga kali dan tak lama pintu terbuka menampilkan Florence yang masih terlihat merasa tertekan karena ulah Leonardo.
"Boleh kami masuk?" pinta Tabitha dengan nada lembutnya.
"Tentu." Florence mempersilakan Tabitha dan Arthur di kursi tuanya.
"Maaf tempatku seperti ini."
"Ya, tak apa. Bagaimana kabarmu nak?" tanya Arthur dengan menatap Florence dari atas sampai bawah.
"Aku baik."
Tabitha berdiri dan merapatkan tubuhnya di samping Florence.
"Kau tersiksa dengan morning sicknessmu?"
"Sedikit."
"Maaf, ini semua salah putraku."
"Tak apa, sungguh."
Tabitha dengan perlahan mendudukkan tubuhnya disamping tubuh Florence.
"Jadi siapa namamu?" tanya Tabitha dengan mengelap keringat di dahi Florence.
"Aku Florencia."
"Aku Tabitha kau pasti sudah menebak siapa aku bukan?" tanya Tabitha dengan menggenggam tangan Florence.
"Ya, aku tau."
"Sekali lagi aku mohon maaf atas kesalahan putraku."
"Aku baik nyonya, sungguh aku tak apa."
"Kau sangat kuat, bahkan kau sempat menolak suamiku karena kau mengira suamiku akan memintamu untuk menggugurkan bayi itu."
"Ya itu hanya spontanitas," ucap Florence tertunduk.
"Kau menyayanginya?" tanya Tabitha menatap lekat pada Florence.
"Ya, entahlah tapi aku sudah mencintainya walaupun keberadaannya tak disengaja bahkan cenderung kedalam kesalahan."
"Kami sangat menyesal dengan perbuatan bodoh Leonardo."
"Tak apa."
Arthur hanya menghela nafpsnya dan mendengarkan obrolan antara istrinya dan Florence.
"Jadi Florence, kedatangan kami kesini untuk memberitahu tentang pernikahanmu," ucap Arthur yang langsung membuat Florence mendonggakkan kepalanya.
"Maksud tuan?"
"Kau dan putraku akan menikah besok," timpal Tabitha yang sukses membuat kedua mata Florence membola.
Hell! Sebenarnya kenapa dengan hari ini, setelah putra mereka yang membuat keributan tadi sekarang orang tuanya yang tiba-tiba datang dan memberitahu tentang pernikahan yang yang akan diadakan besok.
"Tapi_"
"Tolong jangan menolak."
"Tapi nyonya, ini_"
"Aku mohon, bagaimana pun bayi itu adalah cucuku, jadi biarkan aku mengetahui kondisinya. Dengan kau menjadi istri Leo aku bisa dengan leluasa merawatmu dan bayimu."
"Kau sangat baik, tapi ini tak perlu kalian lakukan."
"Apa perlu aku bersujud di kakimu agar kau mau menikahi putraku?" tanya Tabitha dengan matanya yang sudah memerah menahan tangis.
"Nyonya ku mohon jangan berkata seperti itu, aku hanya gadis miskin aku tak pantas menikahi putramu. Jadi biarkan aku merawat bayi ini sendiri."
"Justru kau adalah wanita hebat, kau sangat berbeda sekali dengan wanita-wanita yang Leo kenalkan padaku. Kau tangguh dan kuat pendirian."
"Nyonya kau berlebihan."
"Apa yang dikatakan istriku benar, sebaiknya kau menerima tawaran kami." Kali ini Arthur menatap lekat pada Florence.
Florence berpikir keras ia memikirkan masa depan bayinya, ia harus bisa membahagiakan bayi itu semampunya dan mungkin ini memang jalan yang Tuhan rencanakan untuknya
"Baiklah, aku bersedia."
Tabitha langsung memeluk Florence sedangkan Arthur menampilkan senyum tipisnya.
"Aku akan menjemputmu besok."
"Baiklah." Florence membalas senyum manis Tabitha, Tabitha pun kembali memeluk Florence.
****