Jangan tanyakan bagaimana reaksi semua teman - temanku, ketika melihat cincin bermata merah sapir ini berada di jari manisku.
Bahkan Irene berkali-kali menyuruhku untuk melepasnya. "Itu cincinya terlalu bagus, nanti kalau ada maling yang ngejar-ngejar lo bagaimana?"
Atau Hazel dengan tatapan menyipitnya, "Si Arjuna ngapain ngasih cincin? Kalian tunangan?"
Kemudian Rizki dengan cebikan di kedua bibirnya, "Lebay banget! Lo tuh jangan mau digituin Babe, kalau belum pasti. Si Arjuna itu cowok anak baru, yang keliatan playboy banget. Matanya aja udah kaya tukang santet!"
Alasan Rizki mengatakan kalau mata Arjuna seperti tukang santet adalah, karena lelaki itu suka menatap lawan bicaranya sampai klepek-klepek. Aku sendiri memang mengakui, kalau tatapan si Arjuna ini mirip sekali dengan tukang santet. Ah, rasanya aku geli sekali mendengar penuturan temanku ini.
Lalu saat ini, aku dan Sonia sedang berada di kantin. Kami akan memesan makanan dan membawanya ke taman sekolah. Kami berlima akan makan di sana.
Antrean saat ini tengah ramai-ramainya. Sonia sesekali berdesis karena merasa pegal terlalu lama berdiri.
"Biasanya gak kaya gini loh ..., gue tuh, padahal buru-buru banget. Mau nulis, lo tau kan, editor gue itu udah kaya macan! Nungguiiin ... aja, kerjaannya. Padahal, mikirin tulisan tuh, gak seenak mikirin mantan."
Aku terkekeh, tidak pernah lupa tentang Sonia yang memang masih mikirin mantan terindahnya. Dia pernah bilang, kalau mantannya sekarang sudah punya cewek lain.
"Hah, coba aja gue punya kekuatan. Kaya mejik gitu, gua bakal sihir mantan gue, jadi cowok buruk rupa. Biar gak banyak gaya!"
Aku terkekeh, "Bisa aja lo," meskipun di kantin kami penuh. Tapi tidak terasa panas. Itu karena di atas kepala kami, ada kipas angin besar yang siap memanjakan.
Bahkan rambutku menari ke saking besarnya kipas di atas kepalaku. Hingga tanganku, mengusap rambut bagian sisi. Agar rapi, dan diam di balik telingaku.
Dan bersamaan dengan itu, aku melirik seseorang yang juga tengah mengantre di depan stand makanan yang tidak jauh letaknya denganku.
Dia tengah menatapku lekat. Di belakangnya ada empat temannya, apakah siluman juga suka makan?
Aku kembali mengalihkan tatapanku ke arah lain, terlalu lama menatapnya, membuat kedua kakiku lemas, tidak lucu kalau tiba-tiba aku pingsan di sini. Hanya karena terpanah oleh pesona seorang siluman.
"Lo tau gak? Kenapa gue jadi penulis?" Kembali aku mendengarkan Sonia berkata.
"Kenapa emang?" Tanyaku.
Sonia terdengar menghela napas dalam, ia terlihat melirik ke arah antrean di sebelah kirinya. Yang aku tahu, di sana ada Titan, mantannya Sonia yang sedang antre.
"Karena gue bisa balas dendam sama seseorang yang udah nyakitin gue lewat tulisan."
"Caranya?" Aku yang bukan penulis, tentu saja tidak mengerti apa yang dimaksud Sonia.
Ia terlihat kembali menatap lurus ke depan, "Dia, gue jadiin manusia culun yang selalu di bully. Dan lo tau gak gimana sensasinya?" Aku menggeleng, dan aku yakin kalau Sonia tidak melihat gelenganku ini. Namun sepertinya ia paham.
"Gue puas, dan bahagia."
Ok, aku mengerti. Kembali aku melirik si manusia siluman yang ternyata masih saja menatapku. Dia kali ini tersenyum menawan sekali. Aih, gila saja aku hampir terjungkal hanya karena senyuman tipis itu. Aku memegang besi pembatas, yang membatasi antreanku, dengan antrean di sebelah ku. Yang untungnya tidak terlalu padat, sehingga aku bisa melihat menusia si luman itu berulah.
Kalau dipikirkan lagi, sepertinya aku akan menjadi penulis juga. Dan membalaskan dendam ku pada manusia siluman itu, karena ia suka membuatku mati kutu.
***
Baiklah, aku masih belum bisa menemukan di mana alamat lelaki siluman itu.
Apakah di hutan?
Di gunung?
Atau malah di dalam sebuah gua?
Atau juga, dia berpura-pura tinggal di sebuah istana mewah. Yang padahal aslinya adalah sebuah kuburan sepi.
Ikh, aku jadi merinding sendiri.
Keberuntunganku hari ini adalah, keempat temanku sedang ikut rapat osis. Jadi mereka tidak akan kepo, terutama Rizki yang paling bawel. Kalau aku melakukan sesuatu sendirian.
Dan alasanku tidak masuk OSIS adalah, karena tidak ingin di kepoin oleh keempatnya. Baiklah, mungkin kalian berpikir aku ini jahat.
Tapi rasa penasaran ini membuatku hilang akal sehat. Kalian pasti sedang bertanya-tanya di mana saat ini aku berada.
Aku sedang membuntuti si siluman itu. Sekarang aku sedang berada di dalam taxy, dan melihat pergerakan motornya Arjuna yang memasuki sebuah gerbang mewah rumah megah itu.
Aku pun menyuruh sopir taxy itu berhenti, membayar dan bergegas keluar. Aku tidak mau kehilangannya kali ini. Mahluk itu harus aku temukan, berikut kelemahan yang tidak pernah ia perlihatkan.
Diam - diam, aku masuk ke dalam gerbang megah itu. Tinggi sekali, bahkan tinggi dan megahnya mengalahkan gerbang istana presiden.
Di halaman dekat gerbang itu, tersedia banyak sekali tumbuhan. Bahkan aku melihat sebuah tumbuhan yang pohonnya tinggi, dan daunnya terlihat aneh.
Mereka seperti payung, iya. Aku jadi ingat tentang tumbuhan yang ada di pulau socotra. Yang katanya kalau disayat pohonnya, mereka akan mengeluarkan getah berwarna merah darah.
Aku merinding, dan perlahan menjauhi pohon itu. Melihat ke arah rumah megah yang nampak sepi. Aku hanya melihat ada motor besar terparkir. Aku yakin sekali, kalau itu adalah motornya si Arjuna.
Mengendap dan memasuki pintu itu, aku sungguh mengagumi semua dekorasi yang ada di dalamnya.
Dari mulai lantai, dinding, lukisan, dan semua pajangan yang ada.
Brug!
Jantungku hampir copot, pintu mendadak tertutup. Dan gerasi di luar juga tertutup. Aku berlari ke arah pintu, dan menarik sekuat tenaga.
Tapi sungguh tidak bisa, pintu itu sudah tertutup otomatis. Aku mencari benda apa pun yang ada di sana, benda keras yang bisa memecahkan kacanya.
Mataku berhasil menemukan barbel seberat dua kilo. Aku yakin sekali bisa memecahkan kacanya. Kalau sudah keluar dari tempat ini. Aku akan berteriak di gerasi. Sehingga warga sekitar akan menemukanku.
Perlahan aku mengangkat barbel itu, dan membantingnya ke arah kaca jendela, membuat kaca itu tentu saja pecah.
Dan aku segera berjalan ke arah sana, perlahan melewati kaca jendela, yang sayangnya membuat lenganku tergores dan mengeluarkan darah.
"Argh!"
Sial, goresannya cukup dalam. Dan aku malah kembali masuk, karena keluar pun susah.
Tiba-tiba suara langkah mendekat, membuatku siaga. Aku menoleh dengan amat takut, dan menemukan Arjuna berjalan ke arahku dengan tatapan yang sungguh tidak bisa aku lukiskan.
Dia tidak terlihat marah, juga bukan tatapan yang menenangkan. Aku seperti akan dipenggal pada detik ini.
"Gu-gue minta maaf ... gue-"
Dia meraih tanganku, kedua matanya terlihat bersinar. Merah seperti api. Napasnya terengah, seolah sedang menahan amarah yang entah kenapa membuat bulu kudukku meremang.
"Apa peringatan saya kurang?" Tanyanya terdengar dingin sekali. Dia mengusap darahku, mengeluarkan pecahan kaca yang menusuk di sana. Percayalah itu sakit sekali. Airmataku perlahan menetes.
Dia kali ini menatapku, telunjuknya menyusuri pipiku. Kedua matanya lekat, seolah akan menghisap kedua mataku unuk masuk ke dalam matanya.
"Apa alasan kamu memasuki rumah saya?" Telunjuknya berhenti di bibirku. Membuatku menggigit bibirku karena cemas.
Aku sungguh tidak tahu kalau akan berakhir seperti ini.
"Pi-pintunya kenapa terutup? Gue-gue-"
Dia mendekat, tangannya menyusup ke belekang kepalaku. Menghadirkan debaran kuat di jantungku. Sampai aku merasa sesak oleh sensasinya.
"Aleta ...." bisikan itu, sungguh membuatku lemah Tuhan ...
"Jangan ikuti saya, karena itu bahaya! Kamu ..., tidak akan selamat seperti hari ini. Mengerti!"
Ia menjauhkan wajahnya, bersamaan dengan pintu dan gerasi yang terbuka.