1. The black eyes
Lelaki itu lagi ...
Aku tidak tahu kenapa lelaki yang bernama Arjuna itu selalu menatapku lekat seperti itu. Dia selalu duduk disudut ruangan, dengan keempat teman-temannya. Mereka lima lelaki aneh, yang terkenal tampan. Hampir tiga bulan mereka sekolah di sini, aku tidak pernah melihat kelima lelaki itu berdekatan dengan perempuan.
Atau mereka naksir perempuan. Kadang aku berpikir, mereka tidak normal.
"Ta, ayolah Nyanyi. Kenapa hanya melamun?" Rizki mulai protes.
Saat ini aku dan ketiga temanku sedang dikantin. Rizki sedang memegang gitar, dia akan menyuruhku menyanyikan lagu bintang kecil.
Dan Irene sedang makan bakso, dia akan menyemangatiku, seperti layaknya penonton yang ada di sebuah konser boy band korea.
Dan Hazel, dia akan mengabadikan kekonyolan kami, apa lagi disaat Rizki berpura - pura menjadi Rhoma Irama, ketika sedang memainkan gitar tuanya.
Aku mengalihkan tatapanku ke arah Rizki dan kedua temanku.
"Bintang kecil lagi?" Tanyaku meyakinkan. Rizki mengangguk, "Iya, tidak ada lagu lain yang aku suka," sahut Rizki.
"Kenapa tidak sekalian lagu Rhoma Irama saja? Aku bosan mendengar lagu itu terus!" sindir Irene. Semua orang tahu, kalau Rhoma Irama adalah penyanyi dangdut legendaris indonesia. Dan untuk anak muda seperti kami, hal itu tentu saja jarang ada yang mau mendengarkannya. Mengingat banyak sekali lagu kerena pop masa kini.
"Memangnya kalian pikir, aku anak tahun sembilan puluhan?" aku yang menyahut. Dengan sesekali melirik ke arah sudut ruangan sana. Yang ternyata kelima laki-laki aneh itu sudah tidak ada.
Sepertinya lebih baik dia pergi, sehingga aku tidak harus menahan gejolak di dadaku karena detakannya.
"Baiklah, kalau tidak ada lagu lain. Bintang kecil masih bagus." Hazel mulai menyorot kami dengan ponselnya.
Dan aku pun bernyanyi, diiringi petikan gitarnya Rizki. Dia ke sekolah memang suka membawa gitar, tapi tidak pernah ia bawa ke kelas. Dia selalu menitipkan gitarnya dikantin.
Dan bersyukurnya, Bu Indah tidak keberatan kami menitipkan gitar di sana.
Omong-omong kenapa Rizki sangat suka nyanyian Bintang kecil? Karena ia pernah berkata, lagu itu adalah kenangan dari Mamahnya. Setiap malam sebelum tidur, Mamahnya selalu menyanyikan lagu itu.
Tapi sekarang Beliau sudah meninggal. Alhasil, setiap kali dia merasa rindu. Akulah yang selalu disuruh Rizki untuk bernyanyi.
Awalnya aku protes, itu dulu, ketika pertama kali dia meminta. Waktu aku awal kelas sepuluh, ketika kami masih Masa Orientasi Siswa, kalau tidak salah. Tapi tiba - tiba dia menangis pilu sekali. Dan aku sungguh tidak tega, sehingga aku pun menyanyikan lagu itu. Sampai sekarang.
Hampir saja aku akan kembali bernyanyi, ketika teriakan dari ambang pintu membuat bibirku terkatup kembali.
"Ada apa?" Irene bertanya, dia terlihat marah.
"SONIA!"
Ah, aku lupa. Pagi ini aku memang belum melihatnya. Temanku yang satu ini. Dia Sonia, gadis itu memang ijin tidak ikut ke kantin.
"Si Sonia kenapa?" Hazel ikut bertanya. Rizki meletakan gitar di atas meja, terlihat mengikutiku berjalan ke arah ambang pintu. Menatap seseorang yang berteriak barusan.
"Dia mau bunuh diri! Dia berdiri di Rooftop sekolah!"
Aku tentu saja kaget sekali. Tanpa mendengarkan kelanjutan kalimat laki-laki itu. Aku pun segera berlari ke arah lift diikuti ketiga temanku.
Yaitu Rizki, Irene, dan Hazel. Kami berdiri dengan cemas di dalam lift itu.
"Hazel punya masalah?" Irene menatapku was-was.
"Tapi kemarin dia baik-baik saja," Hazel menjawab.
"Kita tidak tahu, karena dia memang tertutup pada kita. Tapi kalau sampai mau bunuh diri, itu berarti dia punya masalah yang tidak biasa."
Rizki terlihat menghela napas cemas, "Padahal, aku sangat suka dengan tulisannya," Lirih Rizki pelan.
Aku hanya meliriknya sekilas, Rizki memang sangat menyukai tulisannya Sonia. Dia memang penulis, aku bahkan pernah membaca salah satu karyanya.
"Sangat disayangkan kalau dia sampai harus bunuh diri," tambah Rizki lagi.
Lift sudah sampai ke lantai atas. Aku keluar lebih dulu, ketika mendengar suara lift terbuka.
Segera berlari ke arah Sonia, "SONIA! SINI! TOLONG JANGAN NEKAT!"
Teriakku, tapi Sonia menggeleng dan menyuruhku untuk jangan mendekat.
"JANGAN MENDEKAT! AKU AKAN LONCAT!"
"JANGAN SONIA! ITU TIDAK AKAN NYELESAIN MASALAH!" aku kembali berteriak.
Rizki, Irene dan Hazel kini berada di sampingku.
"KITA AKAN MEMBANTU KAMU! PLEASE JANGAN LONCAT!"
Irene berkata, "Kita berteman sudah sangat lama sekali. Apapun masalah kamu, kita akan menyelesaikannya bersama. Tolonglah jangan nekad!"
"KALIAN TIDAK AKAN MENGERTI, HIDUPKU SANGAT MENGERIKAN! MEREKA JAHAT!"
Kami bertiga saling melirik panik, di bawah sana adalah jalan Raya yang cukup ramai. Akan jadi apa temanku itu. Kalau ia jatuh ke sana.
"Aku sudah tidak tahan ...," Sonia menangis. "Terima kasih, kalian semua sudah menemaniku ...."
Dia maju ka arah ujung rooftop. Membuatku dan ketiga temanku ikut maju dengan pelan sekali.
"Sonia ....," aku sungguh tidak berani melihat kalau dia sampai jatuh ke sana.
Kedua kaki dan tanganku sudah gemetar, dengan hanya melihatnya berdiri dekat ujung rooftop itu.
"Sonia ...."
Tapi gadis itu malah berbalik pada kami, tersenyum. Mundur perlahan dan ...
Kami berteriak bersamaan. Ketika tubuh teman kami melayang jatuh ke bawah sana.
Aku hanya mematung, aku masih shock dengan semua ini. Tiba-tiba saja Langit menjadi gelap. Aku tidak tahu ini nyata atau hayalan karena keadaan diriku yang sedang linglung.
Di atas sana, aku melihat lima burung Elang raksasa berwarna putih semua.
Salah satunya turun, dan menangkap tubuh Sonia. Lalu membawanya kembali, kemudian ia letakan tepat di depanku. Dan bersamaan dengan itu, Elang tersebut berubah menjadi sesosok manusia.
Laki-laki dengan pakaian serba putih.
Arrggh!
Terpaksa aku memukul pipiku sendiri. Aku tau ini mimpi, aku pasti pingsan. Karena ketakutan melihat Sonia jatuh.
Tapi yang aku sesalkan adalah, pipiku sakit. Itu artinya aku tidak sedang tidur.
Mendekat!
Lelaki berbaju putih dengan wajahnya yang di tutup topeng setengah itu mendekat padaku. Aku bisa melihat kedua mata gelapnya yang lekat menatap padaku.
Membuat kedua kakiku lemah, dan tubuhku juga. Dia meraih diriku, menunduk.
Aku meringis dan berteriak. Rasanya sakit dan perih sekali. Laki-laki itu menggigit leherku, dan aku tidak berbohong, dia seperti meminum darahku.
Aku terus berteriak, namun anehnya ketiga temanku malah berlari ke arah lift. Entah kemana mereka akan pergi.
Aku terus memanggilnya, bahkan sampai kehabisan suara. Tapi ... mereka tidak mendengarkan suaraku.
Aku tidak tahu kenapa? Mereka seperti tidak melihat keberadaanku.
Dan aku ...
Aku sungguh sudah tidak bertenaga lagi. Kepalaku pusing, dan laki-laki yang sudah menggigit leherku itu mengangkat wajahnya. Menatapku lekat sekali, mengusap wajahku. Matanya ... hitam, dan ada cahaya merah di dalamnya.
Seperti api yang menyala.
Indah sekali. Aku tidak akan melupakannya ...
"Permasuriku ...." gumamnya pelan.
Kemudian melepaskanku dan pergi begitu saja, ia terbang lagi. Sama seperti tadi, dia berubah jadi Elang raksasa berwarna putih.
Dia meninggalkanku yang perlahan jatuh ke lantai rooftop sekolah.