8

1467 Words
Zenna memilih keluar dari kelasnya dari pada harus meladeni Nadin yang tidak ada ujungnya. Tidak heran lagi jika Nadin mengatainya seperti itu, karena gadis itu adalah salah satu penggemar Nean. Zenna melihat Clara dari kejauhan yang tengah berdiri di atanra kerumunan siswa-siswi yang tengah memesan makanan. Zenna tersenyum lalu berjalan lurus menghampiri Clara. “Zenna, kok kamu di sini sih?” tanya Clara terheran. Zenna tersenyum, tidak salah jika Clara terkejut. “Bosen di kelas nggak ada temen. Jadi, aku nyamperin kamu aja,” jelas Zenna dengan senyum yang tidak pudar dari wajahnya. Clara menganggukkan kepalanya paham. “Ya udah kamu mau pesen apa?” tanya Clara sembari menerima makanan yang ia pesan dari dari ibu kantin. Kinan menggeleng pelan. “Enggak deh, kan aku nggak bawa uang,” ucap Zenna tanpa memudarkan senyum di wajahnya. Clara terdiam, dirinya lupa jika Zenna memang jarang sekali membawa uang ke sekolah. Zenna memang lebih sering membawa bekal sendiri dari rumah. “Aku yang bayarin deh, kamu tinggal pilih mau yang mana.” Lagi-lagi Zenna menggelang.” Nggak usah Clar, udah yuk balik ke kelas. Kasian nasiku udah dingin,” canda Zenna mencoba memecah ketegangan. Clara terkekeh lalu berjalan beriringan dengan Zenna. Clara tidak berhenti berceloteh, sifatnya yang pandai berbicara dan memecah ke heningan itu membuat Zenna nyaman bersama Clara. Meskupun hanya berdua, tapi Zenna bisa tertawa lepas. “Zen, kabar kakak kamu gimana?” tanya Clara setelah berhenti dari tawanya. Gadis itu mengusap matanya yang berari akibat terlalu banyak tertawa. Zenna tersenyum, “Kakak gua udah baikan kok, nanti sore udah dibawa pulang,” jawab Zenna lalu kembali menyantap bekalnya. Clara mengamati Zenna tanpa berkedip, gadis itu sangat prihatin dengan keluarga Zenna yang terlalu pilih kasih. Yang Clara tahu mengenai Zenna, dia adalah gadis yang menerima apa adanya. Jika Clara di posisi Zenna, pastilah gadis itu tidak akan kuat. Hidup di tengah-tengahh keluarga yang terlalu memilih membuatnya harus terasingkan seorang diri di dalam rumahnya. Clara tidak bisa membayangkan bagaimana perasan Zenna ketika di rumahnya, namun seperti di rumah orang lain. Zenna merupakan sesosok gadis yang baik dan selalu memberikan apa yang dia punya untuk seseorang yang disayanginya. Tanpa terkecuali. “Clar, kamu kenapa?” tanya Zenna sembari mengguncangkan bahu Clara. Zenna sangat khawatir saat Clara tidak kunjung menajawabnya. Clara menggelengkan kepalanya untuk kembali pada dunia nyata. “Aku nggak pa-pa kok,” jawab Clara. Gadis itu kembali menyesap minumannya. “Kamu yakin nggak pa-pa?” Zenna masih menatap Clara penuh selidik. Zenna tidak percaya jika Clara tidak memikirkan sesuatu, karena Zenna terlalu paham bagaimana raut wajah Clara jika tengah banyak pikiran. “Beneran aku nggak pa-pa.” Clara menggeleng tegas agar Zenna percaya kepadanya. Kinan menghela napasnya lega. “Aku kira ada apaan.” Dering bel sekolah pun telah berbunyi, itu bertanda bahwa siswa-siswi harus pulang kerumahnya masing-masing. tidak terkecuali Zenna, seperti biasa gadis itu menunggu angkutan umum yang melintas.  “Belum pulang Zenn?” tanya Nean yang tiba-tiba saja datang dan mengangetkan Zenna. Zenna menoleh ke samping dan mendapati Nean tengah melemparkan senyum untuknya. “Belum pak, lagi nunggu … papa. Iya, lagi nunggu papa,” jawab Zenna mencoba mengontrol dirinya sendiri agar tidak terbawa perasaan. Nean mengangguk paham. “Saya boleh nemenin kamu di sini? Oh ya, jika kita sedang berdua seperti ini panggil saya kakak saja, biar tidak terlalu canggung. Zenna mengangguk paham, “Iya pak, ehh maksudnya kak.” “Sering dijemput sama papa?” tanya Nean memecah keheningan. Zenna terdiam sesaat untuk mencari alasan lagi. “Iya kak. Kak Nean nggak usah nunggun Zenna, lebih baik kakak pulang aja soalnya sebentar lagi papa Zenna akan datang kok.” Nean nampak terdiam dan diamnya lelaki itu membuat Zenna takut. Takut jika Nean akan marah kepadanya. “Nggak pa-pa nih aku tinggal?” tanya Nean memastikan. Lelaki itu tidak tega membiarkan gadis seimut Zenna menunggu sendirian di pinggiran jalan. “Nggak pa-pa kok kak, aku udah biasa nunggu papa di sini,” jawabnya meyakinkan. Nean mengangguk, “Baiklah, kalau begitu hati-hati ya.” senyum manis milik Nean mampu membuat siapa saja yang menatapnya pasti akan terbawa perasan. Begitu pun dengan Zenna, gadis itu mati-matian agar hatinya tetap kuat menahan cobaan. “Kakak juga hati-hati di jalan.” Zenna tersenyum sembari melambaikan tangannya melepas kepergian Nean. Zenna menghela napasnya lega ktika melihat motor ninja merah yang dikendarai Nean sudah menjauh dari sekolahan. Bukan Zenna tidak mau menerima bantuan Nean, tapi gadis itu hanya ingin menghindar dari gosip teman-temannya. Zenna tersenyum bahagia ketika melihat mobil berwarna merah semakin mendekat ke arahnya. Zenna melambaikan tangannya untuk memberhentikan mobil itu. Zenna sampai di rumahnya dengan keadaan tubuh yang lemas akibat kehausan karena air minumn ya sudah habis ketika di sekolah ingin membeli es pun uang tidak ada. Sebelum masuk ke dalam rumahnya, seperti biasa Zenna melepas sepatunya terlebih dahulu dari luar. Samar-samar Zenna mendengar keributan dari dalam rumahnya. “Tidak seharunya mama mencampuri urusan keluagaku!” Suara teriakan sanga Zenna kenali karena itu adalah suara Edera. Zenna semakin menajamkan pendengarannya ketika pertengkaran itu kembali berlanjut. “Mama tidak akan pernah berhenti mencampuri rumah tangga kamu kecuali kamu mulai adil dengan ke dua anak kamu, Edera! Mama sudah lelah menasehati kamu dan Danial!” suara Diah menggelegar sampai terdengar dari luar. “Aku akan tetap menyayangi Lovinta, mah. Karena bagaimana pun juga dia adalah anakku!” perdebatan semakin memanas ketika Edera semakin menaikkan nada suaranya. “Zenna juga anakmu!” Diah berucap dengan mata melotot tajam. “Aku tidak ….” “Assalamualaikum, Zenna pulang.” Zenna memotong ucapan Edera dengan sengaja. Gadis itu masuk ke dalam rumahnya dengan senyum yang mengembang di wajahnya, meskipun hatinya tengah menangis. Zenna sengaja memunculkan dirinya karena tidak ingin mendengar ucapan Edera selanjutnya, karena Zenna yakin itu pasti akan menyakiti hatinya. Diah menatap cucu kesayangannya itu dengan pandangan lembut. “Sudah pulang sayang? Masuk ke kamar ya, langsung istirahat.” Diah mengusap puncak kepala Zenna lembut. “Zenna ke kamar dulu nek dan … mama.” Zenna langsung melenggang pergi menaiki anak tangga menuju kamarnya. Gadis itu berucap tanpa tersenyum kea rah Edera. Rasanya memang enggan jika tersenyum kepada wanita itu, jika pada akhirnya tidak pernah dibalas dengan hal serupa. Setelah memastikan Zenna naik ke atas dan menutup rapat pintu kamarnya, barulah Diah kembali melanjutkan perdebatan dengan menantunya itu. “Mama tidak ingin kamu mengatakan kalimat itu lagi, Edera! Jika sampai itu terjadi, maka mama akan membawa Zenna pergi dan kamu tidak akan pernah bisa memaksa Zenna untuk mendonorkan darahnya untuk Lovinta!” ancam Diah. Edera bungkam setelah mendengar ancaman dari Diah. Mama mertuanya itu tidak akan pernah main-main dengan ucapannya sendiri, maka dari itu Edera memilih diam dan meninggalkan wanita lanjut usia itu. Zenna nenutup pintunya rapat-rapat sama seperti dirinya menutup telinganya sendiri. Gadis itu melangkah mendekati kasurnya seiring air matanya mengalir, jujur gadis itu sangat lelah dengan topeng kepura-puraan yang selalu dirinya pancarkan untu semua orang. Hatinya lelah terus saja membohongi sirinya sendiri. Entah sampai kapan sandiwara yang dirinya ciptakan untuk kebahagiaan orang lain. sedangkan dirinya pun juga ingin bahagia seperti yang lainnya. Seperti kebiasaanya, gadis itu duduk termenung di depan jendela kamarnya mengamati langit yang di selimuti oleh teriknya panas matahari, padahal hari sudah hampir sore. “Tuhan, kapan ini akan berakhir? Akankah aku harus menemuimu untuk bahagia?” tanya Zenna pada kesendirian. Angin berhembus kencang enerpa wajah Zenna yang basah oleh air mata, seolah angin itu tengah mengapus air mata gadis itu. Lagi-lagi Zenna menghela napasnya pelan untuk emngurangi sesak di dalam dadanya. Ketukan pintu membuat kelopak mata Zenna yang terpejam kembali terbuka. Ketukan itu semakin kencang ketika sang pemilik tidak kunjung membukakan pintu. “Sedang apa sayang?” tanya Diah yang masih di ambang pintu. Zenna membuka pintu kamarnya lebar-lebar agar Diah bisa masuk ke dalamnya dengan mudah. “Sedang istirahat nek,” kilahnya. “Memangnya ada apa, nek?” sambung Zenna bertanya. Diah duduk di kasue milik Zenna, meneliti ruangan itu dengan seksama. “Tidak pa-pa, nenek hanya ingin melihat kamu saja.” Zenna pun ikut duduk di sebelah Diah, mengamati wajah yang sudah tidak muda lagi itu dengan senyum yang mengembang. “Nek, Zenna sayang sekali sama nenek.” Zenna memeluk tubuh wanita lanjut usia itu dengan erat. “Nenek juga sangat sayang sama kamu. Jadilah wanita kuat, wanita tangguh, dan wanita yang tidak bisa dijatuhkan dengan mudah. Nenek yakin suatu hari nanti kamu pasti akan bahagia dengan jelanmu sendiri.” Diah mengusap puncak kepala Zenna dengan lembut. Zenna mengangguk. “Zenna akan selalu mengingat ucapan nenek.” Zenna mengurai pelukannya. “Nenek tidak usah khawatir dengan keadaan Zenna, Zenna sangat menikmati proses peribahan dalam hidup Zenna yang memang tidak bisa dikatakan mudah. Percayalah nek, Zenna akan baik-baik saja.” Diah mengulas senyumnya tipis ketika mendengar kalimat kedewasaan yang keluar dari bibir Zenna. “Nenek akan selalu mendukung dan mendo’akan setiap langkah kamu, sayang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD