Zenna terdiam dalam dekapan Diah. Gadis manis itu terhanyut dalam pikirannya sendiri. Otaknya selalu saja memikirkan apa saja yang membuatnya sakit hati. Terutama memikirkan sikap Edera kepadanya.
“Nenek keluar dulu ya, sayang. Selamat istirahat.” Sebelum beranjak dari kasur Zenna, Diah mengecup singkat puncak kepala Zenna dengan sayang.
Zenna memejamkan matanya ketika kecupan itu mendatar di puncak kepanaya . “Iya nek,” ucap Zenna sembari membuka matanya.
Zenna melihat tubuh yang tidak muda lagi itu dengan tatapan nanar. Lagi-lagi gadis itu menghela napanya pelan. Ketika pintu kamarnya sudah ditutup rapat oleh Diah, gadis itu kembali berjalan ke arah jendela yang sempat ditinggalkannya. Zenna kembali terduduk di sana dan menatap gumpalan awan putih di atas sana.
Dering gawainya membuat dunia nyatanya kembali. Zenna mengernyit bingung ketika tidak ada nama dari sang pengirim pesan. Tidak ingin mengambil pusing, akhirnya Zenna memilih untuk mengabaikan pesan itu.
***
“Sayang, kamu beneran sudah sehat?” yangan Danial pada Lovinta yang sudah terlihat ceria kembali.
Lovinta mengangguk cepat. “Sudah pah, Lovi udah bener-bener sehat kok,” ucap gadis itu dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
Danial pun juga ikut tersenyum ketika melihat wajah putrinya kembali ceria. “Kalau begitu papa akan mempersiapkan kepulangan kamu.”
“Pah, sebaiknya papa tidak usah memaksa Zenna untuk terus membagi darahnya untuk Lovinta,” ujar Lovinta seketika senyumnya meredup.
Danial yang awalnya sedang membereskan baju-baju Lovinta menjadi terhenti, lalu mendongak menatap gadis yang terduduk di brangkar rumah sakit. Wajah lelaki itu nampak terkejut.
“Kenapa sayang? Kesehatan kamu adalah segalanya untuk mama dan papa.”
“Apa mama dan papa tidak memikirkan perasaan Zenna?” tanya Lovinta tatapannya berubah menjadi terluka. Ya, gadis itu selalu melihat Zenna kesakitan saat menolongnya. Sejak kecil adiknya itu merasakan kesakitan. Lovinta tidak tega membiarkan Zenna terus-terusan merasakan itu.
“Sudahlah, sebaiknya kamu istirahat, jangan berpikiran yang macam-macma.” Danial menyudahi percakapan itu, lelaki itu memilih untuk melanjutkan kegiatannya membereskan baju-baju Lovinta.
Lovinta diam, gadis itu hanya menatap pergerakan Danial yang sibuk membereskan bajunya yang dimasukkan ke dalam tas ransel. Gadis itu merasa lelah, lelah menjalani hidup penuh kesakitan. Lovinta tidak ingin Zenna bernasip sama sepertinya, maka dari itu, Lovinta mencoba untuk menyudahinya.
Danial menghela napasnya pelan ketika melihat Lovinta masih terdiam dengan pandangan kosong. Denial tahu betapa cinta dan sayangnya Lovinta kepada Zenna tidak ada yang bisa diukur oleh apa pun. Saat mengetahui fakta itu, hati Danial merasa tercubit karena belum bisa menjadi ayah yang baik untuk salah satu putrinya.
“Sayang, sudah papa bilang jangan memikirkan hal yang tidak penting.” Denial sudah berdiri di samping Lovinta dan mengusap puncak kepala gadis itu.
Lovinta sedikit mendongak untuk menatap wajah lelaki itu. “Apakah kesehatan Zenna juga salah satu hal yang tidak penting, pah?” tanya Lovinta.
Danial kembali terdiam. “Sudahlah, papa tidak ingin berdebat denganmu kali ini.” Denial memilih pergi dari kamar rawat Lovinta, jujur saja jika Lovinta berbicara megenai kesehatan Zenna, lelaki itu juga mulai berpikir untuk menyudahi rencana Edera.
Jam kepulangan Lovinta semakin dekat. Sebelum gadis itu kembali ke ruamhnya, dokter Lan memeriksa keadaanya terlebih dahulu untuk memastikan apakah Lovinta sudah siap untuk kembali beraktifitas atau belum.
“Lovinta, dokter berpesan kamu jangan banyak bekerja berat terlebih dahulu ya. kesehatan kamu belum sepenuhnya pulih,” ucap Lan setelah memeriksa keadaan Lovinta.
Lovinta tersenyum lalu mengangguk. “Pasti dok, saya akan meminum semua obat yang dokter Lan berikan.”
Edera yang setia di samping Lovinta pun ikut tersenyum bahagia. “Semua yang dokter bilang akan saya pantau sendiri,” ucap Edera menimpali.
Lan beralih menatap Edera.” Saya serahkan semuanya kepada ibu Edera dan bapak Danial.”
Ke dua suami istri itu saling pandang dan tak lupa menampilkan senyum bahagianya. “Saya sebagai papanya juga akan mengingatkan setiap jam minum obatnya, dok.”
Lan mengangguk lalu berpamitan untu perngi meninggalkan kamar rawat Lovinta.
“Sayang, kamu sudah siap untuk kembali ke rumah?” tanya Edera sembari mengusap puncak kepala Lovinta.
Lovinta mengangguk, “Sudah mah.”
***
Edera, Danial, dan Lovinta sudah sampai di rumahnya. Ketiganya keluar dari mobil dengan senyum yang membingkai. Kesehatan Lovinta membuat Edera dan Danial bisa bernapas lega.
Diah menyambut kedatangan cucunya dengan penuh antusias, Diah juga sangat menyayangi Lovinta sama seperti Dirinya menyayangi Zenna.
“Nenek, Lovinta rindu.” Lovinta memeluk erat tubuh Diah.
“Nenek juga sangat merindukan kamu, sayang,” ucap wanita itu membalas pelukan Lovinta tidak kalah eratnya.
“Nek, Zenna di mana? Lovinta kangen banget sama dia.”
“Lovinta, kamu tidak usah mencari adik kamu itu. lebih baik kamu istirahat suapaya tubuh kamu cepat pulih sayang,” ucap Edera.
Diah menatap menantunya itu tajam. “Apa salahnya jika seorang kakak mencari adiknya sendiri?” tanya Diah. “Edera, kamu itu tidak bisa terus menerus seperti itu!”
“Mama, Danial mohon jangan membuat keributan di saat Lovinta baru saja sembuh,” peringat Danial memohon.
Diah beralih menatap anak lelakinya itu dengan pandangan sama sengitnya dengan dirinya menatap Edera. “Kalian itu sama saja tidak ada bedanya!” setelah itu Diah melenggang masuk ke dalam rumah.
Lovinta menatap Edera dan Danial secara bergantian. “Tidak seharusnya mama dan papa bersikap seperti itu kepada nenek. Bayangkan saja jika Lovionta atau Zenna berprilaku seperti tadi, apakah mama dan papa tidak sakit hati?” Lovinta menatap keduanya kecewa. Gadis itu tidak menyangka jika mama dan papanya tega berucap seperti itu kepada neneknya. Lovinta tidak akan terima jika neneknya diperlakukan seperti itu oleh anak dan menantunya sendiri.
Sementara itu di dalam kamar yang pintunya masih tertutup dengan rapat, di dalamnya terdapat Zenna yang masih saja duduk termenung di depan jendela. Sejak tiga puluh menit yang lalu matanya setia terpejam menikmati desau angin yang menerpa wajahnya sehingga mampu membuat hatinya tenang.
Lagi-lagi ketukan pintu harus memaksanya untuk membuka ke dua kelopak matanya. Zenna menghela napasnya pelan lalu bangkit dari bangku yang didudukinya.
Zenna membekap mulutnya sendiri ketika melihat siapa yang mendatangi kamarnya. “Kakak!” Zenna berteriak bahagia lalu memeluk tubuh Lovinta erat. “Zenna kangen banget sama kakak,” ucapnya tak kuasa menahan air matanya.
Lovinta mengurai pelukan itu lalu tangannya terulur untuk mengusap pipi adiknya yang basah oleh air mata. “Kakak juga sangat merindukan kamu, boleh kakak masuk?”
Kinan menggeser sedikit tubuhnya agar Lovinta bisa masuk ke dalam kamarnya. “Sudah berapa lama kamu diam di kamar sendiri?” tanya Lovinta yang sudah terduduk di dekat jendela.
“Sejak pulang sekolah,” jawab Zenna.
Lovinta menatap sang adik dengan tatapan kasihan. “Mau sampai kapan kamu menjadi pribadi yang tertutup?”
Zenna menggeleng pelam, “Tidak tahu kak.”
“Zenna, apa yang kamu lakukan? Apa kamu tidak tahu jika kakak kamu itu baru saja pulang dari rumah sakit?!” Edera tiba-tiba saja datang dengan wajah marah. Wanita itu kesal karena Zenna selalu saja ingin menganggu kesehatan Lovinta.
Zenna hanya bisa terdiam di tempatnya duduk. Dadanya bergemuruh marah membuat tangannya terkepal erat. Gadis itu memejamkan matanya sesaat lalu menarik napasnya panjang dan menghembuskannya secara perlahan.
“Mama berbicara pelan pun aku bisa mendengarnya,” ucap Zenna wajahnya datar ketika menatap Edera.
“Mah, ini salah Lovinta. Lovinta yang datang ke kamar Zenna,” ucap Lovinta membela Zenna.
“Cepat kamu masuk ke dalam kamar kamu Lovinta, ingat apa pesan dokter Lan!”
Lovinta bangkit dari duduknya lalu melenggang pergi meninggalkan kamar Zenna.
“Awas kamu kalau berulah lagi!” ancam Edera lalu wanita itu juga ikut keluar dari kamarnya.
Setelah kepergian Edera dan Lovinta, Zenna kembali termenung di depan jendela. Tempat itu merupakan tempat favoritnya.
Zenna tersenyum masam ketika mengingat tuduhan Edera yang selalu tertuju padanya.