Zenna Kinara, seorang gadis bertubuh mungil berusia 17 tahun, sifatnya sangat penurut dan lebih suka menyendiri. Parasnya yang cantik dengan kulit putih serta rambutnya sepanjang bahu. Gadis itu mempunyai keinginan merasakan betapa hangatnya pelukan dari seorang mama dan papa, namun keinginan itu tidak bisa terwujud, karena mama dan papanya lebih menyayangi kakaknya.
Zenna mempunyai kakak yang bernama Jovanka Lovinta, gadis itu berusia 20 tahun, sifatnya begitu begitu ceria, penyuka tanaman dan hewan. Kulitnya sawo matang membuat gadis itu terlihat sangat manis di tambah lagi rambutnya menjuntai panjang sampai sepinggang.
Lovinta dan Zenna tumbuh besar dan dewasa bersama, keduanya saling menyayangi dan mencintai satu sama lain. Namun, kebahagiaan itu tidak berselang lama, saat usia Zenna 5 tahun gadis kecil itu selalu saja merasakan kesakitan yang luar biasa, Zenna nampak sehat-sehat saja tapi mengapa mama dan papanya selalu memaksanya untuk ke dokter?
Zenna kecil terius saja menangis di gendongan Danial, gadis it uterus saja meronta meminta di lepaskan.
“Papa, Zenna tidak mau, Zenna takut papa.”
Namun, Danial tidak mengindahkan tangisan itu, lelaki it terus saja membawa Zenna ke dalam ruangan dengan perlengkapan mendis yang lengkap serta dokter dan suster sudah lengkap dengan pakaian operasinya. Zenna masih terus meronta saat Danial sudah meletakkan gadis kecil itu di atas berangkar, para suster menyiapkan selang oksigen untuk membius gadis kecil itu, hingga tidak membutuhkan waktu lama Zenna sudah tenang dengan mata yang tertutup seta napasnya mulai teratur.
Edera hanya bisa melihat dari kaca pintu ruangan itu, yang terdapat anak bungsunya tengah mengalami awal kesakitannya. Wanita itu nampak tidak takut dan cemas, melainkan tatapan mosong yang sulit untuk di artikan.
Edera melihat dokter telah menusukkan jarum ke dalam kulit gadis itu hingga menembus tulangnya untuk mengambil sampel sumsum tulang belakangnya, walaupun Zenna sudah dibius total, tetap saja gadis itu merasa tidak nyaman saat jarum itu berhasil menembus tulangnya. Setelah sampel sumsum tulang belakang itu selesai diambil, dokter akan menutup kulit dengan perban yang steril membutuhkan waktu 48 jam untuk menjaga perban itu kering.
Operasi pengambilan sumsum tulang belakang berjalan dengan lancar tanpa hambatan dan Zenna pun sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Gadis kecil itu masih terpengaruh obat bius. Danial setia menunggu putri bungsunya siuman seorang diri. Sedangkan Edera, wanita itu memilih untuk menemani Lovinta yang juga akan melakukan tindakan operasi pemindahan sumsum tulang belakang milik Zenna.
***
Siang tadi sebelum Lovinta masuk kembali ke rumah sakit, gadis itu tengah asyik bermain bersama boneka beruangnya di halaman belakang rumah. Edera hanya bisa melihat dari kejauhan dengan senyum di wajahnya. Saat Edera kembali ke dalam guna menyelesaikan masakannya, tiba-tiba Zenna berteriak memanggilnya.
“Mama!” teriak Zenna sembari berlari kencang ke arah sang mama.
“Ada apa?” tanya Zenna yang harus mengentikan aktifitasnya mengaduk masakannya.
“Hidung kakak berdarah,” ucap Zenna dengan tangan memilin baju bagian bawahnya karena ketakutan yang melanda.
“Apa!” teriak Edera. “Sudah berapa kali mama bilang, jangan ganggu kakakmu!” dengan tega Edera mencubit paha kecil milik Zenna hingga berbekas biru keunguan, gadis kecil itu hanya bisa menangis terseduk akibat merasakan perih di bagian pahanya.
Edera langsung berlari kencang mengampiri Lovinta yang sudah terkapar tidak berdaya di atas rumput dengan hidung yang penuh dengan darah. Edera langsung menelpon Danial untuk segera ke rumah sakit karena Lovinta kembali kambuh.
Sesampainya di rumah sakit, Danial dan Edera berada di ruangan dokter. Dokter itu bernama Lan, Lan mengatakan bahwa Lovinta membutuhkan sumsum tulang belakang dan dokter menyarankan untuk mencarikan pendonor.
“Saya berat sekali untuk menyampaikan hal ini, Lovinta harus segera mendapatkan pendonor mumsum tulang belanag,” jelas sang dokter.
“Tidak. Kami tidak akan mencari pendonor, dari keluarga kami sendiri kebetulan golongan darahnya ada yang sama dengan Lovinta,” jeelas Edera.
“Baiklah, bapak dan ibu nanti akan kami periksa kecocokannya.
“Bukan salah satu dari kami dok, melainkan adik Lovinya yang berusia 5 tahun,” ujar Edera.
Lan nampak terkejut dengan ucapan Edera, “Tapi dia masih kecil, pihak rumah sakit juga tidak tega melakukan ini.”
“Bukankah aspirasi tulang belakang ini boleh di lakukan oleh siapa saja dalam segala golongan usia?”
“Bagaimana menurut bapak?” tanya Lan, yang masih mengharapkan penolakan dari Danial.
“Ikuti saja yang istri saya mau dok,” ucapan Denial sungguh di luar dugaan Lan.
“Baiklah, jika sudah menjadi keputusan bapak dan ibu, oprasi ini akan kami lakukan malam ini, bagaimana apa kalian setuju?”
“Kami setuju dok,” ucap Edera mantap.
“Secara umum, aspirasi sumsum tulang merupakan prosedur yang aman. Namun, bukan berarti prosedur ini sama sekali tidak memiliki komplikasi. Apa kalian yakin dengan keputusan ini yang akan merugikan anak kalian?” tanya Lan sekali lagi.
“Saya hanya ingin anak saya Lovinta kembali sehat,” ucap Edera tanpa ingin dibantah.
Lagi-lagi Lan hanya bisa menghela napasnya pelan, lalu mengangguk dan mempersilahkan Danial dan Edera pergi dari ruangannya.
Danial membawa Zenna secara paksa dalam gendongannya, lelaki itu tidak peduli dengan teriakan dan isakan gadis kecil itu. Zenna dipaksa untuk berbaring di atas brangkar, hingga membutuhkan beberapa suster untuk membantu gadis kecil itu benar-benar terbaring. Setelah dokter memberikan bius, tidak berselang lama Zenna pun tertidur.
***
Lamunan Zenna mengenai kejadian beberapa tahun silam terbuyarkan karena Lovinta menepuk pundaknya. Lovinta duduk di samping Zenna, gadis itu memberi ruang untuk sang kakak.
“Lagi ada masalah?” tanya Lovinta sembari menyentuh pundak Zenna lembut.
Zenna menggeleng sembari tersenyum, “Nggak ada kok kak.”
“Sekolah kamu gimana? Jangan mengecewakan mama dan papa ya, itu pesan kakak,” ucap Lovinta dengan senyum manisnya.
‘Zenna sudah berusaha kak, namun mama dan papa selalu menutup matanya,’ batin Zenna menjerit.
“Pasti kak.” Zenna mengangguk yakin.
Zenna menatap Lovinta dengan padangan yang sulit diartikan. Zenna begitu iri dengan kakanya itu, Lovinta selalu mendapatkan apa yang dirinya mau dan selalu mendapat kasih sayang yang berlebih. Sedangkan Zenna, gadis itu hanya mendapat kesakitan yang luar biasa sejak kecil, bahkan segala pengorbanan dan pencapaiannya tidak pernah dianggap ada.
“Kenapa lagi sih?” tanya Lovinta tatapannya penuh selidik. “Kalau ada masalah cerita sama kakak, ada apa? Masalah sekolah atau masalah pacar?” tanya Lovinta ada nada godaan di dalamnya.
“Kakak, Zenna tidak mempunyai pacar dan berhenti untuk membicarakan masalah itu,” ucap Zenna kesal.
“Kamu ini lucu sekali kalau sedang ngambek.”
Zenna dan Lovinta sama-sama tertawa disusul dengan angina yang bertiup dengan bebas menerjang pepohonan dan rerumputan hingga membuat semuanya bergoyang.