Saat Zenna berusia empat tahun, kala itu Zenna kecil tengah bermain di sebuah ayunan tepat di belakang rumahnya. Ayunan itu terikat pada pohon manga besar nan rindang, angin bertiup kencang hingga membuat anak rambut gadis itu ikut bergoyang bersama rerumputan serta dedaunan.
“Kakak ayo ikut bermain denganku.” Zenna memanggil kakaknya penuh dengan antusias di sertai senyuman masih milik gadis kecil itu.
Lovinta—sang kakak pun menghampiri Zenna dengan membawa sepiring pudding di tangannya. Zenna terlihat berbinar kala melihatnya, pasti akan terasa segar apa bila sudah sampai tenggorokan, pikir Zenna.
“Lihatlah kakak membawa apa?” tanya Lovinta.
“Puding!” sorak gembira Zenna lolos dari bibir kecilnya.
Lovinta, gadis bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang serta rambunya menjuntai panjang hingga sepinggang. Sifatnya begitu ceria dan sangat menyayangi segala hewan dan tumbuhan. Gadis itu mempunyai cinta-cinta menjelajahi seluruh dunia, namun karena penyakit kanger yang di deritanya sejak usia empat tahun membuat Lovinta harus mengubur segala mimpinya. Perbedaan umur Zenna dan Lovinta adalah 2 tahun, maka tak heran jika keduanya masih senang bermain.
“Pasti kalau makanan cepat sekali jawabnya, coba saja jika kakak mengajarimu membaca pasti susah untuk menghapalnya. Dasar perut karet, banyak makan tapi tidak gemuk-gemuk,” ejek Lovinta, kakaknya itu memang suka sekali mengejek tubuh Zenna yang masih saja kurus padahal gadis kecil itu memasukkan segala jenis makanan.
“Kakak,” rengek Zenna tidak terima dengan ejekan Lovinta. “Suatu saat Zenna pasti akan gemuk kok, lihat saja.” Ucapan Zenna seolah ada janji di dalamnya. Gadis itu masih saja menggembungkan pipinya memperagakan betapa gendut dirinya di masa yang akan datang, ekspresi lucu Zenna membuat Lovinta tertawa terbahak hingga matanya mengeluarkan air mata.
“Wajahmu mirip seperti badut.” Setelah berucap, Lovinta kembali meneruskan tawanya hingga perut Lovinta sakit.
“Sudah kak, jangan mengejekku lagi,” ucap Zenna sembari bersidekap d**a, bibir gadis itu mengerucut lucu.
“Baiklah, baiklah. Rupanya Zenna, adiknya kakak tengah merajuk ya? kalau begitu jangan harap akan mendapatkan pudding yang segar dan manis ini.” Lovinta sengaja membuat Zenna semakin kesal, kakaknya itu memakan pudding di hadapannya dengan gerakan yang begitu pelan, seperti menikmati setiap gigitannya serta meresapi rasanya yang begitu manbis dan sedikit asam.
“Kakak, Zenna sudah tidak marah lagi, Zenna mau pudingnya.” Zenna menatap pudding yang masih di tangan Lovinta itu menuh minat.
Lovinta kembali tertawa dengan mulut yang penuh dengan puding. “Aduh, kenapa kamu sangat lucu sekali sih Zenna.” Lovinta membagi pudingnya lalu mereka makan bersama di atas ayunan di sertai canda dan tawa. Angin pun nampaknya sangat mendukung, terbukti angin itu selalu berhembus kencang kesana, kemari membawa kesejukkan.
“Kakak, nanti kalau sudah besar Zenna ingin seperti angin dan matahari,” ucap Zenna memecah keheningan.
Lovinta menautkan alisnya, “Mengapa seperti itu? Lebih baik jadilah seperti menteri atau presiden,” usul Lovinta. Nampaknya sekilas nam[ak tidak ada yang salah dengan usul Lovinta, namun tidak untuk gadis kecil Zenna, Zenna nampak tidak suka dengan usul sang kakak.
Zenna menggeleng kuat, “Tidak kak! Zenna tidak ingin ada sandiwara dalam hidup. Zenna ingin seperti matahari, jika waktunya terbenam dia akan terbenam dan jika mendung dia tidak akan memaksa untuk muncul, matahari juga membawa kehangatan serta manfaat unuk seluruh manusia. Kalau angin, dia begitu menyejukkan dan membuat siapa saja yang merasakan kehadirannya akan merasa tenang.,” jelas Zenna yang masih memejamkan matanya walaupun ucapannya sudah selesai.
Seketika keadaan hening, Zenna merasakan keheningan itu makannya gadis kecil itu membuka matanya lalu menatap Lovinta yang tengah memandang lurus kedepan dengan tatapan kosong.
Zenna menyentuh pundak Lovinta pelan, “Ada apa kak?” tanya Zenna.
“Kakak punya cita-cita berkeliling dunia dan menjelajahi isinya, ingin banyak belajar mengenai bahas dan tradisi.” Disepanjang kalimat yang Lovinta ucapkan, gadis itu tak lepas memadang Zenna yang juga menatapnya.
Mulut Zenna membentuk huruf ‘O’ betapa takjubnya ketika mendengar cita-cita Lovinta. Lovinta memang pecinta hal-hal baru dan punyuka tantangan.
Zenna menyandarkan kepalanya pada pundak Lovinta. “Nanti kalau kakak pergi liburan jangan lupa ajak Zenna ya kak, kalau tidak ada kakak pasti Zenna kesepian,” ucap Zenna yang tiba-tiba berubah sedih.
Zenna mengusap puncak kepala adik kesayangannya. “Kakak tidak akan pernah meninggalkanmu karena kakak juga akan kesepian jika tidak ada Zenna.”
Keduanya saling beerpelukan penuh kasih sayang, tak terasa air mata Zenna mengalir begitu saja tanpa permisi hingga membasahi pipinya.
Tiba-tiba Edera datang dengan wajah yang tidak bersahabat. “Zenna!” teriak wanita itu memanggil nama anak bungsunya dengan teriakan.
Pelukan Zenna dan Lovinta terpaksa harus terurai, Zenna menatap mamanya dengan senyum yang mengembang di bibirnya, namun tidak dengan Edera, wanita itu tetap memberikan wajah kesalnya.
“Apa yang kau lakukan pada kakakmu? Sekarang cepat masuk ke kamar!” perintah Edera tegas, Zenna yang melihat mamanya begitu murka, gadis itu langsung lari terbirit menuju kamarnya.
Edera merupakan mama dari Lovinta dan Zenna dan juga merupakan wanita karir yang sukses dalam bisnis busana. Edera merupakan wanita yang tega dalam segala keputusannya tidak bisa diganggu gugat dan wanita itu terlalu egois, namun di balik semua itu, Edera merupakan wanita penuh kasih sayang.
Zenna menutup pintunya begitu kencang hingga menimbulkan suara, gadis itu hanya bisa menangis di balik pintu sembari meringkuk tak berdaya di atas lantai. Zenna berharap papanya akan segera pulang dan memeluk tubuh kecilnya.
Malam hari pun tiba, seluruh keluarga sudah berkumpul di meja makan untuk melakukan makan malam. Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya, Zenna hanya duduk di kuris meja makan dengan wajah tertunduk. Lagi-lagi gadis kecil itu di marahi oleh Edera hanya karena masalah sepele.
“Mama tidak mau kamu terus seperti itu, merengek pada papamu hanya karena hal kecil,” ucap Edera dengan tatapan mata yang tajam serta nada yang tegas dan tajam.
Zenna hanya bisa menunduk dengan isak tangis, tangannya saling meremas satu sama lain guna menghilangkan rasa takutnya. Zenna selalu menunggu kepulangan sang papa dari kantor tepat di depan pintu, gadis kecil itu selalu merengek minta untuk di gendong seperti anak kecil lainnya. Namun, Danial selalu saja mengabaikan permintaan sederhana Zenna.
Danial merupakan papa dari Lovinta dan Zenna, sifat lelaki itu seperti tidak mempunyai pendirian, selalu saja menuruti apa yang selalu saja menjadi keputusan Edera—istrinya dan ia juga merupakan seorang pemimpin di perusaan yang bergerak pada bidang kuliner, membangun dengan kerja kerasnya sendiri dengan karyawan yang masih bisa di hitung oleh jari. Namun walau begitu, hasilnya tidak membuat keluarganya kelaparan.