Zenna sudah kembali ke rumahnya seorang diri tanpa keluarga yang menemani. Sementara Lovinta, kakaknya itu masih terbaring di rumah sakit dan keadaannya pun sudah kembali normal. Zenna masuk ke dalam kamar mandi berniat untu membersihkan tubuhnya yang sudah terasa lengket. Zenna negguyur tubuhnya menggunakan air dingin, rasa sejuknya menjalar begitu saja dari ujung kepala sampai ujung kaki, seolah tengah menghibur Zenna dari kesedihan yang selalu gadis itu alami.
Setelah beberapa menit berada di dalam kamar mandi, Zenna akhirnya keluar dengan keadaan segar kembali. Gadis itu menuju lemarinya dan memilih baju tidur yang ada di dalamnya. Zenna memilih baju tidur bermotif doraemon. Zenna menyisir rambutnya di depan cermin, namun entah mengapa bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Zenna menggelengkan kepalanya kuat-kuat agar bayangan itu pergi dari otaknya. Zenna menghela napasnya pelan lalu tersenyum tipis pada bayangannya di cermin, “Kuat!” ucap Zenna penuh dengan semangat.
Zenna kembali melangkahkan kakinya untuk manaiki ranjang, merebahkan tubuhnya untuk sekedar melemaskan otot-ototnya. Zenna mengambil benda pipih yang berada di atas nakas di dekat tempatnya tidur. Gadis itu membuka beberapa akun sosial medianya hanya sekedar untuk melihat. Setelah puas, Zenna memutuskan untuk tidur dan tidak lupa mematikan lampunya dan hanya menyisakan lampu tidur yang pencahayaannya tidak terlalu terang. Ketika matanya ingin terpejam, suara ketukan pintu tiba-tiba memaksa kelopak matanya harus terbuka kembali.
“Siapa?” tanya Zenna sedikit berteriak.
“Ini nenek, sayang,” ucap seseorang itu dengan suara lembut khasnya.
Zenna terlihat tersenyum bahagia ketika mengetahui bahwa yang datang adalah neneknya dari kampung.
“Nenek!” Zenna berteriak lalu memeluk tubuh wanita yang tidak lagi muda itu dengan erat. Bahkan wanita lanjut usia itu sampai kehilangan oksigennya
“Cucu nenek sudah dewasa ternyata. Buktinya bisa memeliuk nenek sampai kehabisan oksigen seperti ini,” candanya hingga membuat tawa Zenna pecah.
“Maafkan Zenna, nek. Zenna terlalu bahagia kalau nenek di sini. Rasanya Zenna ingin ikut nenek saja ke kampung,” tutur Zenna penuh antusias namun tidak untuk Diah—nenek Zenna. Diah mendengarkan kalimat yang keluar dari bibir mungil Zenna hatinya begitu teriris perih, sebenarnya Diah ingin sekali mengajak Zenna bersamannya ke kampung. Akan tetapi, Danial—anaknya itu selalu saja melarangnya untuk membawa Zenna dengan alasan yang beragam.
Diah mengusap kepala cucunya dengan begitu sayang, senyum lebarnya terus saja terpancar walau kulit pipinya sudah mengeriput, namun kecantikannya selalu terpancar jelas di sana. “Suatu saat nanti kamu pasti akan nenek bawa. Bersabarlah sayang, waktu yang kamu nantikan akan tiba pada waktunya,” ucap Diah tatapan matanya lembut.
Zenna kembali memeluk Diah, namun tidak seerat Zenna memeluknya pertama kali. “Zenna selalu bersabar nek. Meskipun mama dan papa tidak memperlakukan Zenna secara adil, namun Zenna sangat sayang sama mereka. Zenna selalu mendo’akan yang terbaik.”
Diah mengusap pipi Zenna dengan air mata yang berkaca-kaca. “Nenek yakin kamu pasti kuat, sayang.”
Zenna terkekeh. “Nenek cengeng,” cibirnya lalu mengusap lembut air mata yang sudah luruh di pipi Diah.
Diah berbaring sembari merengkuh tubuh Zenna dari belakang dengan begitu eratnya. Rasa hangat seketika menjalar di tubuh Zenna yang sudah lama gadis itu impikan. Meski pun yang memeluknya adalah sang nenek, namun entah mengapa ada sebuah kehangatan di sana melebihi pelukan dari seorang ibu.
“Selamat tidur cucu nenek yang paling cantik.” Diah memberikan kecupan singkat di pelipis Zenna. Terasa hangat di sana.
Zenna kembali membuka matanya dengan senyum cerah di wajahnya. “Selamat tidur juga nenenya Zenna yang paling cantik.” Zenna kuga mendaratkan kecupan singkat di pipi yang tidak lagi sekencang dulu itu.
Diah terkekeh geli, kemudian kembali mengeratkan pelukannya di tubuh gadis mungil itu. Sampai melewati malam yang panjang Diah masih setia memeluk tubuh Zenna. Di pertengahan malam, Diah terbangun dari tidurnya. Wanita paruh baya itu menatap Zenna dengan padangan yang sulit diartikan. Tangannya terulur untuk mengusap kepala Zenna dengan begitu lembut. Setelah puas memandangi wajah polos Zenna ketika tidur, Diah memutuskan untuk keluar dari kamar cucunya dan mencari Danial.
Diah menuruni anak tangga dengan penuh kehati-hatian. Sampai di pertengahan anak tangga, Diah melihat siluit anak satu-satunya tengah duduk di meja makan dengan secangkir kopi di sana yang masih terlihat berasap. Namun, mata Danial memandang kosong lurus ke depan. Diah menyentuh pundak kokoh itu dengan lembut. Sampai membuat sang empu terperanjat kaget.
“Mama.” Danial mengusap ke dua matanya dengan punggung tangannya.
Diah mengambil duduk di samping Danial. “Ada apa?” tanya Diah menatap lembut putranya itu. Diah mengambil napas sebanyak-banyaknya lalu menghemembuskannya secara perlahan. “Tidak bisakah kalian bersikap adil kepada cucuku?” tanya Diah, tatapannya berucah kecewa. “Dia masih cukup belia untuk merasakan ketidak adilan ini, Danial. Mama mohon sama kamu, sayangi cucu mama.”
Danial memegang ke dua tangan Diah lalu mengecupnya dengan lembut. “Maafkan Danial mah, maaf.” Danial menggelengkan kepalannya dengan bibir yang masih mengecup punggung tangan Diah. “Dia anak Danial, mah. Anak Danial, tapi mengapa Danial tidak bisa bersikap adil?” tanya Danial dengan linangan air mata yang sudah membanjiri ke dua pipinya, bahkan lelehannya sudah membasahi meja makan itu.
Diah menyentuh kepala Danial yang menunduk. Diah sudah tidak bisa berkata-kata lagi, bahkan wanita paruh baya itu memejamkan matanya erat untuk menghalau rasa perih di dadanya yang terasa semakin menusuk hingga tidak tahu lagi caranya bernapas dengan lepas.
“Maafkan Danial, mah. Jangan mengutuk Danial. Sungguh, Danial akan berusaha untuk bisa adil dalam menyayangi anak-anak Danial.”
Diah membuang wajahnya ke sebelah kanan ketika Danial sudah merubah posisinya menjadi seperti awal. Diah sudah tidak ingin lagi memandang wajah putranya yang begitu kejam itu. Diah juga sudah tidak ingin mendengar segala kata janji yang Danial ucapkan untuk berusaha adil menyayangi anak-anaknya, terutapa pada Zenna. Nyatannya, janji Danial hanyalah sebatas ucapan saja, buktinya sampai saat ini pun Zenna masih tidak mendapatkan haknya di keluarganya sendiri.
“Mah.” Suara Danial begitu parau dan memilukan, namun Diah tetap berusaha untuk tidak menatap Danial. Hatinya sudah begitu kecewa dengan anak sematawayangnya itu yang selalu berjanji, namun selalu diingkair.
Diah membenci penghianatan dan ketidak jujuran. Edera membawa dampak buruk untuk kehidupan Danial, selama Edera menjadi istri putranya itu, Danial berubah menjadi lelaki yang tidak bisa menepati ucapannya. Sedari awal, Diah memang tidak menyetujui pernikahan itu, namun Danial begitu kukuh untuk terus melanjutkannya. Sekarang, sesal hanya tinggalah sesal. Takdir tidak bisa dirubah hanya dengan kata ‘maaf’ dan Diah pun juga sudah tidak percaya dengan kata itu yang selalu Danial ucapkan ketika membuat kesalahan.
Diah memilih bangkit dari duduknya, kemudian melenggang pergi meinggalkan Danial dengan segala sesal yang dipikulnya sendiri.