5

1224 Words
Pagi-pagi sekali Zenna sudah dikejutkan dengan teriakan Edera di depan pintunya. Zenna yang masih terlelap dalam tidurnya pun terperanjat kaget hingga terjatuh dari kasurnya, dahinya mengeluarkan sedikit darah akibat benturan yang lumayan keras. Zenna mencoba bangun dan melangkah menuju pintu kamarnya dengan langkah yang tertatih. Zenna melihat jelas raut wajah Edera yang begitu ketakutan hingga wajahnya pucat pasi. “Kenapa mah?” tanya Zenna wajahnya menyiratkan kebingungan. Pasalnya tidak seperti biasanya Edera membangunkannya sepagi ini. Tanpa menjawab pertanyaan Zenna, Edera menarik secara paksa gadis itu menuruni anak tangga. Sampai di bawah. Bola mata Zenna membelalak dan membekap mulutnya dengan ke dua tangannya ketika melihat sang kakak terkapar tidak berdaya di sana. “Mah ini …” suara Zenna tercekat begitu saja seolah lehernya tengah terikat oleh tali tambang yang begitu besar dan lehernya terikat kuat di sana. “Jangan banyak bertanya, sekarang ikut mama dan papa ke dokter, jika kamu ingin Lovinta hidup!” ucap Edera tegas, lalu wanita itu melenggang pergi bersama Danial yang membawa tubuh tak berdaya Lovinta keluar dari rumah. Tubuh Zenna limbung, untung saja masih ada tembok sebagai pegangannya agar tubuhnya tidak terjatuh ke lantai. Ketika melihat wajah sang kakak yang begitu pucat, serta darah yang terus mengalir di kedua lubang hidungnya, membuat Zenna tidak tahan untuk tak mengeluarkan air matanya. Setelah memastikan tenaganya kembali, Zenna berlari menusul ke dua orang tuanya ke rumah sakit, karena Zenna yakin, pasti dirinya akan ditinggal. “Zenna, kamu kemana aja sih!” sentak Edera ketika Zenna sudah berada di depan pintu. Seolah Ederra buta akan kondisi Zenna saat ini. Zenna melangkah mendekati brangkar yang terdapat Lovinta tengah berbaring mengenaskan di atas sana. Tatapannya sangat nanar ketika melihat kakak tersayangnya terbaring lemah tidak berdaya. “Maaf mah,” ucap Zenna tanpa menatap sedikit pun ke arah Erdera. Rasa bersalahnya semakin besar ketika melihat kakak tersayangnya terbaring lemah di atas brangkar dan ini juga salahnya karena sedikit terlambat. “Saat ini saya tidak butuh maaf kamu, cepatlah temui dokter Lan!” perintah Edera. Dokter Lan adalah dokter yang selama ini menangani Lovinta sejak dulu dan Lan juga yang melakukan tindakan oprasi sum-sum tulang belakang milik Zenna. Zenna mengangguk lalu melenggang pergi meninggalkan dari ruangan Lovinta. Gadis itu berjalan cepat menuju ruangan Lan. Di depan pintu ruangan Lan, ada rasa ragu Zenna ketika ingin mengetuk pintu bercat putih itu. Namun, akhirnya Zenna meyakinkan dirinya karena ini demi kesembuhan Lovinta. Tidak ada yang lebih membuat ke dua orang tuanya bahagia kecuali kesembuhan Lovinta dan kehancurannya yang semakin nyata di depan mata. “Zenna, jika kamu tidak menginginkan ini, maka saya tidak akan melanjutkannya,” ucap dokter Lan menatap gadis yang sudah duduk di depannya dengan iba. Lan tidak tega melihat kondisi Zenna yang semakin memburuk, namun kedua orang tuanya seolah buta akan hal itu. “Lakukan apa yang mama saya perintahkan dok,” ucap Zenna tegas seolah tanpa beban. Wajahnya datar seolah sudah tidak merasakan sakit lagi. “Zenna, saya tahu …” ucapan Lan terhenti ketika melihat Zenna sudah terbaring di atas brangkar. “Jika dokter tidak ingin melihat luka di pelipis saya, maka lakukan sesuai dengan perintah mama saya!” ucap Zenna lagi, kali ini lebih tegas guna meyakinkan Lan untuk melakukan apa yang Edera inginkan. “Baiklah,” ucap Lan pada akhirnya menyetujui. Zenna mengikuti langkah Lan dari belakang menuju brangkar, lalu gadis itu berbaring di atasnya. Suster mulai memeriksa keadaan Zenna, hasilnya keadan Zenna stabil. Lalu berikutnya, suster menyiapkan beberapa kantung darah untuk menampung darahnya nanti ketika berhasil diambil. Zenna memejamkan matanya erat-erat ketika jarum suntuk itu mulai menembus kulitnya dan berhasil mengambil darahnya. Setelah darah yang dibutuhkan cukup, Zenna di minta untuk ke ruang khusus pemulihan. Ruang pemulihan yang gadis ituju berpapasan dengan ruangan Lovinta di mana kakaknya juga tengah terbaring di sana. Zenna melihat Edera menunduk sembari mencium tangan Lovinta yang terpasang infus di sana dengan linangan air mata begitu juga degan Danial, lelaki itu dengan setia memeluk Edera. Zenna hanya bisa tersenyum getir melihat mereka yang nampak seperti keluarga harmonis yang saling menguatkan satu sama lain. Tidak bisa Zenna mengelak perasaan irinya kepada Lovinta, kakaknya itu selalu saja mendapatkan apa yang dia inginkan. Sedangkan Zenna, gadis kecil itu hidupnya penuh dengan drama dan kepura-puraan di usianya yang masih sangat belia harus rela menelan pil pahit kehidupan keluarga yang sama sekali tidak berpihak kepadanya. Zenna tersentak kaget ketika ada sebuah tangan lentik yang sengaja menyentuh pundaknya pelan. Zenna membalikkan badan guna melihat siapa pelakunya, dilihatnya suster Anna tengah berdiri di belakangnya dengan senyum manis khas miliknya. “Kamu butuh istirahat, sayang,” ucap Anna masih mempertahankan senyumnya. “Kondisimu masih lemah, jangan terlalu banyak berpikir,” sambungnya. Sekilas Zenna menatap keluarganya dari jendela rumah sakit, lalu setelah puas memandang gadis itu kembali menatap Anna, senyum terpancar di bibir pucatnya. “Suster Anna paling tahu apa yang Zenna butuhkan.” Zenna menyentuh tangan lentik Anna yang masih bertegger di pundaknya, lalu diturunkan secara perlahan. Anna melihat tangannya yang sudah turun dari bahu Zenna hanya bisa menatapnya tanpa bisa ditebak. Anna melihat punggung kecil Zenna yang semakin menjauh. Hingga tubuh kecil trapuh itu benar-benar tertelan pintu bercat putih tak jauh dari tempat Anna berdiri. Anna menghela napsnya pelan lalu kemudian melenggang pergi, sebelum itu Anna menyempatkan diri untuk melihat keluarga Zenna yang tengah menangisi Lovinta yang tengah kritis. Anna tidak habis pikir dengan jalan pikiran mama dan papa Zenna, bisa-bisanya ke dua orang tua itu bisa menelantarkan anak semanis dan sebaik Zenna? *** Zenna membaringkan tubuh lemahnya di atas brangkar ruymah sakit. Gadis itu mengusap tangan kirinya yang tertempeli handsaplast akibat luka suntik yang Lan berikan beberapa menit yang lalu untuk mengambil darahnya. Tak tetrasa air matanya kembali luruh derras sampai jatuh di seprei brangkar rumah sakit itu basah. Suara knop pintu terbuka membuat Zenna buru-buru harus mengusap matanya yang sudah basah akibat air mata yang baru saja gadis itu keluarkan. Nampaklah sosok lelaki yang paling Zenna sayangi di rumahnya siapa lagi kalau bukan Danial. Lelaki berusia 48 tahun itu berjalan mendekati brangkar tempat Zenna berbaring saat ini. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Danial yang sudah duduk di kursi samping Zenna berbaring.  “Seperti yang papa lihat, aku selalu baik-baik saja,” jawab Zenna di setiap katanya mengandung sindiran. Keduanya terdiam dalam keheningan, haqnya suara detik jam yang berbunyi. Zenna tidak terlalu suka dengan kesunyian di antara anak dan ayah seperti ini, Zenna menginginkan candaan dan tertawa bersama seorang pahlawan yang paling berjasa dalam hidupnya. Seseorang yang suaranya pertama kali Zenna dengar ketika terlahir ke dunia, seseorang yang mampu membuat Zenna mengerti apa itu arti kasih sayang dari seorang lelaki.  Namun, sayangnya Zenna tidak pernah mendapatkan itu semua, yang Zenna dapatkan hanyalah kesakitan dan tangis di setiap harinya ketika berhadapan dengan lelaki yang paling berjasa dalam hidupnya. Papanya sendiri yang menghancurkan hidup Zenna ketika ingin menjadi seorang ratu di hati papanya sendiri. Pilu, sedih dan miris itulah yang mampu menggambarkan perasaan hati Zenna sedari kecil. Akan tetapi, berkat papanya juga Zenna bisa mengetahui ternyata dunia nyata tidak seindah dunia dongeng yang kisahnya selalu indah dan bahagia ketika dirinya membacanya. Dunia nyata tidak semanis dunia imaji yang selalu happy ending ketika berada di akhir kisahnya dan dunia nyata pula yang membuatnya semakin mengerti apa itu arti perjuangan dan ketulusan yang sesungguhnya. Sejatinya Zenna pernah bermimpi ingin hidup di dunia dinging, bertempatlkan tinggal di istana megah nan taman yang indah. Namun, itu hanyalah hayalan semata. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD