Intan Aulia Khadijah, dia lulus dari bangku perkualian dan berhasil menyandang gelar sarjana sejak lima tahun lalu, selama lima tahun itu Intan bekerja di sebuah perusahaan batu bara, menjadi sekertaris seorang General Meneger. Intan sempat memperpanjang kontrak kerjanya satu kali, tapi saat kontrak kerjanya yang kedua habis Intan lebih memilih keluar karena dia merasa sudah membutuhkan suasana baru untuk bekerja, selain itu jarak perusahaannya yang jauh membuat Intan rela melepas karir yang sudah dia dapat sejak lulus kuliah. Ternyata kepindahan Intan bekerja, berhasil membawa Intan pada sosok Alaric, laki – laki yang akan menjadi bos barunya.
Intan tinggal bersama neneknya, karena kedua orang tuanya meninggal saat Intan masih duduk di bangku kelas tiga SMA karena sebuah kebakaran. Alaric yang berstatus sebagai atasan sekaligus sahabatnya, baru mengetahui juga fakta itu, fakta jika Intan sudah tidak memiliki orang tua dan tinggal bersama neneknya.
Hubungan persahabatan mereka memang baru resmi sekitar dua minggu yang lalu, gadis itu sempat tidak sengaja mengeluh kepada Alaric jika dia tidak akan memiliki teman jika terus berdekatan dengan Alaric. Jika mengingat ekspresi wajahnya yang kelepasan sambil memukul mulutnya sendiri, Alaric selalu saja tersenyum sendiri. Rasanya Intan terlihat sangat menggemaskan dengan segala tingkah apa adanya di mata Alaric.
“Ngaku, Uncle lagi jatuh cinta ya, senyum – senyum sendiri, temen aku bilang orang kalau senyum – senyum sendiri kalau enggak jatuh cinta ya berarti dia gila, aku rasa Uncle terlalu cerdas untuk dikatakan gila jadi aku yakin Uncle lagi jatuh cinta kan ?”
Alaric menoleh saat dia mendengar suara seorang anak remaja yang berhasil membuat lamunannya buyar. Dihadapannya, Alaric bisa melihat seorang anak remaja yang masih menggunakan seragam sekolah, sedang duduk diteras sambil membuka sepatu, wajahnya terlihat ceria namun dibalik keceriaan itu Alaric bisa melihat ada gurat kelelahan yang berusaha dia sembunyikan.
“Bunda, Uncle Al bilang cinta sama Bundanya cuma modus, Bun”
Tiba – tiba, anak itu berteriak sebelum mendengar perkataan Alaric terlebih dahulu. Alaric yang tadinya sedang duduk santai langsung terlihat panik, dia tidak ingin perempuan yang anak itu panggil Bunda, berpikir yang tidak – tidak mengenai apa yang putranya katakan.
“Huss.. cinta Uncle itu tulus, enggak modus ya … enak aja”
“Lah itu buktinya apa ? Uncle lagi senyum – senyum sendiri pasti lagi jatuh cintakan”
“Kamu jangan gitu dong, jangan bikin usaha Uncle berakhir sia – sia buat deketin Bunda kamu”
“Sekarang Bunda itu masih tersegel milik Ayah, dan sebelum Ayah datang jemput Bunda aku yang wakilin, jadi kalau Uncle mau deketin Bunda anggap aja Uncle harus lewatin dulu aku sebagai gantinya Ayah”
“Apa yang harus dilewatin dulu sayang ?”
Suara yang mengalun merdu itu milik seorang wanita yang sejak tadi mereka perbincangkan, kedua laki – laki berbeda generasi itu menoleh dengan sebuah senyuman yang mengembang di wajah mereka saat melihat kehadiran seorang perempuan yang sekarang sudah mengandung besar.
“Uncle Al lagi jatuh cinta Bun, jadi saran Hasan Bunda enggak usah move on dulu deh dari Ayah”
Hasan beranjak dari posisi duduknya kemudian menyalami tangan Bundanya, setelah itu dia mencium perut bundanya yang sudah terlihat membuncit, kemudian dia pamit masuk kedalam rumahnya.
Hasan, dialah anak remaja laki – laki yang selama satu bulan ini menjadi tembok terkuat hubungan Alaric bersama Risa, saat beberapa minggu lalu Alaric mengutarakan perasaannya kepada Risa, untuk yang kedua kalinya setelah belasan tahun lalu mendapat penolakan.
Tidak ada tanggapan apapun yang keluar dari mulut Risa, perempuan itu hanya diam sambil tersenyum menatap kearah putranya yang mengambil alih jawaban, dan saat itu jawaban yang Alaric dapatkan layaknya perkataan tegas seorang laki – laki yang tidak ingin wanitanya direbut, bukan seperti seorang anak remaja biasa pada umumnya.
“Aku harap Uncle bisa memahami bagaimana sekarang posisi Bunda, selain karena dia sedang mengandung dia juga masih sah secara hukum dan agama menjadi istri Ayahku, disini aku berbicara bukan sebagai Hasan tapi sebagai Ayahku, anggap saja Uncle saat ini berbicara dengan suami Bunda, dan perkataan tadi bukan diucapkan oleh Hasan tapi oleh suami Bunda, karena sebelum Ayah datang aku yang akan menjadi anak sekaligus penggangti suami Bunda, termasuk kakak sekaligus ayah untuk adikku”
Bangga sekaligus kagum itulah tanggapan Alaric kepada Hasan, dia tetap terlihat kuat dan tegar diusianya yang masih sangat begitu muda, dia adalah seorang pekerja keras sejati karena diusianya yang masih sangat muda, diusianya yang seharusnya dia habiskan untuk bermain dan menikmati masa muda dia habiskan waktu itu untuk sekolah dan bekerja.
“Ris, jalan – jalan yu, ke pantai udah lama aku enggak kesana, tiap main kerumah kamu pasti jarang keburu”
“Yaudah aku kasih tahu Hasan dulu takutnya nanti dia cari – cari aku”
Alaric menganggukkan kepalanya setelah itu dia bisa melihat Risa masuk kedalam rumah dan tidak lama setelah itu dia kembali, barulah setelah itu mereka melangkan kakinya menuju pantai yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah Risa.
***
“Kamu pasti banggakan punya anak seperti Hasan Ris, aku saja yang hanya orang lain dan baru mengenal Hasan tidak lebih dari satu bulan benar – benar sangat merasa bangga dan merasa beruntung bisa mengenalnya, aku yakin suatu saat nanti dia pasti akan tumbuh menjadi anak yang bertanggung jawab”
“Mungkin jika kamu tanyakan seberapa besar rasa sayang, cinta dan bangga yang aku miliki untuk Hasan semua itu sudah tidak terukur lagi, karena bagiku Hasan adalah anak yang sangat luar biasa hebat, dia bisa berubah menjadi suami ketika aku merindukan suamiku, dia bisa menjadi seorang ayah saat aku ngidam ini itu, dia bisa menjadi seorang kakak yang baik yang memberikan perhatian kepada adiknya yang masih dalam kandunganku”
Alaric bisa melihat ada sebuah binar kebahagian yang terpancar dari mata Risa, Alaric pikir ibu mana yang tidak akan merasa bangga saat melihat kehebatan putranya, pasti semua orang tua akan merasakan sebuah kebahagiaan.
“Kadang sebagai seorang ibu aku sangat merasa bedosa, saat anak – anak diusianya senang bermain menikmati masa mudanya, tapi waktu Hasan malah habis tersita untuk sekolah dan bekerja, dia melarangku bekerja dengan alasan jika dia adalah anak laki – laki yang harus mengganti tugas Ayahnya mencari nafkah”
“Aku bukan tidak tahu jika setiap malam Hasan menyimpan sebuah kerinduan dan kekecewaan yang begitu besar kepada Ayahnya, aku kerap kali melihat dia menatap poto keluarga kami dengan matanya yang hampir menangis, sebagai orang tua rasanya aku merasa hancur, hatiku sakit melihat keadaan putraku Al”
“Tapi meskipun begitu aku tahu dibalik kekecewaan itu dia masih berharap jika kelak Ayahnya akan datang dan menjemput kami, saat aku tanya apakah dia benci kepada Ayahnya atas semua yang sudah terjadi, dengan tegas dimengatakan jika dia tidak membenci Ayahnya, dia hanya merasakan kekecewaan yang begitu besar, dia ingin kami semua berkmumpul dan dia hanya cukup menyembuhkaan hatinya yang merasa terluka dan kecewa”
Mendengar perkataan Risa, hati Alaric merasa tercubit, hatinya merasakan sebuah rasa sakit sekaligus rasa takut secara bersamaan, mendengar Risa dan Hasan berharap bisa kembali berkumpul bersama Angga, laki – laki yang sampai detik ini masih resmi menjadi suami Risa berhasil membuat Alaric merasa tertampar, berpikir Risa akan kembali pergi dan memilih orang lain membuat Alaric merasa takut.
“Risa ?”
Alaric menghentikan langkahnya membuat langkah Risa ikut terhenti, matanya menatap kearah Risa. Dihadapannya, Risa menoleh saat mendengar panggilan dari Alaric, parempuan itu sempat membalas tatapan mata Alaric tapi kemudian menundukan kepalanya lagi, menatap kearah perutnya yang sudah membesar dengan tanganya yang terus bergerak mengelus permukaan perutnya.
“Apakah sampai sekarang hatimu masih miliknya ? tidak kah ada kesempatan bagiku untuk bisa bersama kamu ?”
Mendengar pertanyaan itu Risa mendongak menatap kearah Alaric, berusaha mencari kebohongan. Namun, Risa hanya bisa melihat sorot kesungguhan yang begitu tulus terpancar dari mata laki – laki yang sudah dia kenal sejak masih kuliah dulu.
“Kamu baik, tampan, cerdas dan sukses Al, aku yakin kamu bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari pada aku. Aku hanya perempuan yang ditinggal suaminya dengan keadaan mengandung Al, kamu mempunyai hak untuk bahagia dan mendapatkan perempuan yang sepadan dengan kamu, dan satu hal yang paling penting kamu berhak bahagia bersama dengan perempuan yang memang mencintaimu”
Kalimat itu adalah penolakan halus yang Risa berikan kepada Alaric, hatinya lagi – lagi merasakan sebuah rasa sakit saat penolakan itu kembali ia dapat. Tapi meskipun begitu hatinya masih tetap sama, tetap memilih Risa padahal dia sudah mendapatkan dua kali rasa sakit yang sama atas penolakan yang diberikan Risa. Namun, hatinya seakan menolak, hatinya seakan meminta Alaric untuk kembali berjuang sebelum dia benar – benar dinyatakan bukan pemenang.
“Bunda Hasan cari – cari ternyata disini”
Alaric dan Risa menoleh secara bersamaan saat mendengar suara lain diantara mereka, bibir Risa melukiskan sebuah senyuman saat dia melihat Hasan yang sudah berada disampingnya.
“Ayo pulang bun, udah sore, Uncle Al ayo mampir lagi kerumah kitakan belum sempat ngobrol banyak”
“Ya nanti Uncle menyusul, kamu duluan saja ajak Bundamu pulang, udaranya sudah mulai dingin tidak baik untuk kesehatannya yang sedang mengandung”
“Aku tunggu ya Uncle”
Alaric mengangguk sambil melambaikan tangannya, bibirnya dia paksakan tersenyum saat melihat Hasan yang perlahan mulai berjalan menggiring bundanya pulang. Tapi, saat Hasan bersama Risa sudah benar – benar pergi senyum itu perlahan mulai lenyap, Alaric kembali melangkahkan kakinya dengan bimbang menyusuri pinggir pantai.
Alaric mendudukan tubuhnya saat dia melihat matahari yang sudah sampai pada peraduannya, langit diatasnya terlihat berwarna jingga, lingkaran matahari yang tinggal setengah lingkaran hendak tenggelam itu menjadi pemandangan mata Alaric saat perasaaannya sedang merasakan sebuah luka.
Tidak lama setelah itu Alaric bisa mendengar ada sebuah kumandang yang dia tahu adalah suara kumandang adzan, tiga bulan tinggal di Indonesia membuat Alaric tidak asing lagi dengan suara kumandang adzan itu.
Karena dalam sehari dia bisa mendengarnya sebanyak lima kali, dan tidak tahu kenapa hatinya selalu merasakan sebuah kedamaian saat mendengar suara kumandang adzan itu, Alaric memejamkan matanya meresapi setiap lafadz yang terkumandang, karena setiap lafadz adzan yang masuk telinganya seakan membimbing Alaric agar tenang dan yakin jika semua yang kini terjadi ada jalan keluarnya. Bahkan karena sudah sering mendengar kumandang adzan Alaric sudah bisa menghafalnya.
Saat suara adzan berhenti perlahan mata Alaric mulai terbuka, setengah lingkaran matahari tadi sekarang sudah semuanya tenggelam, hanya menyisakan warna jingga yang berpadu dengan warna lagit yang perlahan mulai menghitam.
Alaric masih memilih untuk tetap bertahan ditepi pantai, meresapi hembusan angin yang terasa dingin menusuk – nusuk kulitnya, keadaan disekitarnya sudah mulai sunyi, hanya ada beberapa orang yang masih berkunjung, mata Alaric menerawang jauh menatap kearah tengah lautan. Saat sunyi dan sendiri seperti inilah hatinya selalu teringat dan terpaut pada seseorang yang baru saja memberikannya penolakan..
Namun untuk sekarang, Alaric membiarkan hati dan pikirannya mengingat tentangnya, biarlah hatinya mengenang semua keindahan yang pernah dilaluinya bersama Risa, berharap semua itu bisa menjadi obat atas luka dan rasa sakit yang sekarang dirasakannya. Karena besok dia harus kembali bangkit dan berjuang untuk bisa menjadi pemenang.
Alaric bangkit dari posisi duduknya saat dia melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya sudah menunjukan pukul tujuh malam, dia membawa mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi tidak tentu arah, karena yang pasti malam ini dia tidak akan pulang ke apartemen. Karena saat pulang keapartemen Alaric hanya akan kembali mengingatnya, sampai akhirnya Alaric memilih untuk pergi menuju sebuah tempat yang baru beberapa minggu kerap dia kunjungi.
***
Setelah malam berlalu akhirnya matahari kembali terbit, hari ini adalah hari libur, dan dihari libur kebiasaan Intan adalah membereskan rumahnya semetara itu sang nenek memasak sarapan untuk mereka didapur. Intan menyapu rumahnya dengan riang, dari bibirnya terdengar senandung shalawat, tangannya bergerap aktif menyapu lantai rumah, selesai menyapu bagian dalam Intan lanjut menyapu terlas depan.
Sapu yang sejak tadi dipegang tangannya tiba – tiba terlepas saat dia melihat sesuatu yang membuatnya merasa shock, dihapadannya lebih tepatnya disebuah kursi yang sengaja disimpan diteras depan rumahnya ada seseorang yang sedang tertidur lelap, dan yang paling membuat Intan kaget adalah orang itu bosnya.
“Nenek….”
Intan berteriak memanggil sang nenek saat dia benar – benar shock atas apa yang baru saja dilihatnya, Intan benar – benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan, sampai akhitnya sang nenek datang dan mencubit lengannya sebagai hukuman karena Intan sudah berteriak dipagi - pagi.
“Intan enggak mimpikan ?”
Sang nenek menoleh mengikuti tatapan mata dan jari telunjuk Intan, wanita itu juga sempat terkejut, tapi kemudian dia meminta Intan untuk membangunkan orang itu. Sesaat Intan awalnya merasa ragu, tapi kemudian dia menuruti perkataan neneknya, tangannya menepuk – nepuk pundak Alaric yang masih terlihat pulas tertidur. Bukannya bangun laki – laki itu malah menggenggam tangan Intan dengan sangat erat.
“Jangan pergi aku mohon tetaplah disini, disampingku, karena aku sangat menyayangimu”