Istri Gaib
Bab 7 : Menikah
"Kal, kamu kapan mengambil cuti, masa tinggal tiga hari mau nikah, masih bertugas saja!" ujar Ibunya saat menghampiri Haikal di depan rumah yang sudah bersiap di atas motornya.
"Haikal ambil cuti pas hari H saja, Bu. Akhir-akhir ini di kantor lagi sibuk, banyak kebakaran di lahan gambut. Ya sudah, Haikal berangkat dulu. Assalammualaikum." Haikal menurunkan kaca helmnya lalu pamit pergi.
Bu Ida menghela napas panjang, lalu melangkah menuju rumahnya. Ia tak mau berdebat dengan sang putra bungsu, syukur-syukur Haikal mau untuk menikah saja, ia sudah senang.
Baru saja Bu Ida sampai di depan rumahnya, seorang wanita turun dari taxi dan menyunggingkan senyum kepadanya.
Wanita berdaster itu mengerutkan dahi melihat sosok yang kini sedang melangkah ke arahnya dengan membawa bingkisan.
"Assalammualaikum, Bu," ujarnya sambil meraih tangan mantan calon mertuanya itu.
"Waalaikumsalam. Kamu Ellan 'kan? Ada gerangan apa kamu ke sini?" Bu Ida menatap sengit wanita dengan yang kini ada di hadapannya.
"Saya hanya mau silahturahmi saja, Bu. Boleh saya duduk di sini?" Ella tersenyum ramah.
"Duduk saja!" jawab Bu Ida ketus sembari meninggalkan tamunya itu.
Ella hanya tersenyum kecut melihat tingkah ibu dari mantan pacarnya itu. Padahal ia berharap mendapatkan sambutan baik karena kedatangannya bermaksud ingin menebus kesalahannya di masa lalu.
***
“Hen, di depan ada si Ella mantan pacar Haikal dulu. Kamu usir gih dia! Sekalian bawa satu lembar surat undangan pernikahan adikmu itu biar wanita tidak tahu diri tak mengira Haikal belum menikah sampai saat ini karena tida bisa move on darinya,” ujar Bu Ida kepada Henni, kakak kedua Haikal.
Henni sedikit penasaran dengan perkataan ibunya, lalu menuruti perintahnya. Ia langsung melangkah menuju teras dan mendapati Ella sudah melangkah di halaman hendak pulang.
“Ella, ini kotak kue kamu ketinggalan,” teriak Henni sambil menunjuk satu kota kue yang ada di atas meja teras.
Ella menoleh dan menghentikan langkahnya, lalu membalik tubuh ke arah Henni dan naik lagi ke teras.
“Itu kue buat Mbak Henni dan Ibu,” jawab Ella sambil menatap Henni, senyum tak lupa ia kembangkan.
“Oh, makasih deh. Oh iya, mumpung kamu ke sini ... Mbak sekalian mau ngasih kamu surat undangan pernikahan Haikal. Datang, ya! Acaranya hari minggu nanti, tiga hari lagi,” ucap Henni sembari pasang wajah manis.
Ella tertegun, ia kaget mendengar berita itu. Hatinya sedikit nyeri, padahal baru saja ia berbunga-bunga dan berharap bisa merajut kembali hubungan dengan pria yang hingga sampai detik ini masih ada di hatinya. Apalagi ia memang kesepian dan menganggap semua yang dialaminya sekarang karena telah kualat dengan sang mantan pacar yang ia tinggalkan hanya karena mengejar pria kaya.
“Ella, kok malah bengong sih?” tanya Henni sambil mendekat ke arah Ella dan mengulurkan kartu undangan itu lebih dekat lagi.
“Eh, iya, Mbak. Insyallah Ella datang kok. Semoga acaranya nanti lancar. Pamit ya, Mbak,” jawab Ella menerima surat undangan itu sembari membalikkan tubuh lalu melangkah pergi.
Henni tersenyum puas, melihat wanita yang telah mencampakan adiknya lima tahun yang lalu itu terlihat kecewa. Ia sudah mengetahui berita tentang Ella yang sudah menjanda dan peristiwa kebakaran itu sebab kompleks perumahan itu tak jauh dari rumah mertuanya.
***
Ella masuk ke dalam taxi, sambil mengusap wajahnya yang lembab karena buliran bening yang keluar tanpa komando dari netra. Diraihnya ponsel dan mengetik pesan untuk Haikal. Kini ia merasakan perih yang dirasakan Haikal dahulu, pria yang dengan tulus mencintainya itu.
[Haikal, aku sudah terima surat undangan pernikahanmu. Selamat, ya, semoga lancar sampai hari H dan menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Ella.]
Ella mengirimkan pesan itu kepada sang mantan pacar yang nomornya ia dapatkan dari Zeki, tetangga tantenya tempat ia mengungsi sekarang.
***
Haikal baru saja kembali dari bertugas. Dengan napas yang masih memburu, ia duduk di depan mej kerja. Diraihnya ponsel dari tas kecil lalu mengeluarkan ponsel. Ada beberapa pesan yang masuk, satunya dari Maura sedang duanya lagi dari nomor baru.
[Bang, kangen.]
Itu pesan dari Maura, sang istri tercinta. Haikal langsung mengembangkan senyum dan segera membalasnya.
[Sama, Abang juga kangen.] Haikal langsung mengirimkan pesan itu.
Haikal melanjutkan membuka dua pesan lainnya. Ia menautkan alis saat menbaca pesan dari Ella, sang mantan yang paling ia benci itu.
[Terima kasih.] Cukup dua kata itu saja, Haikal membalas pesan dari Ella.
Haikal melanjutkan membuka pesan yang terakhir.
[Bang, ini nomor Nindi. Save, ya.]
Pria berseragam orange itu menyunggingkan senyum saat membaca pesan dari sang calon istri yang tiga hari lagi akan ia nikahi itu. Hatinya sedikit bergetar saat melihat foto profil gadis berseragam serba putih dengan jilbab berwarna senada itu.
[Iya.] Haikal mengirimkan balasan untuk wanita yang berprofesi sebagai perawat itu.
Ia mengembalikan ponsel ke dalam tas, dan baru teringat akan surat undangannya yang belum sempat ia berikan kepada Pak Guntur juga teman-teman lainnya.
“Eh, nikah lagi kamu, Kal? Katanya udah punya istri?” celetuk Zeki, pria kurus tinggi yang selalu penasaran dengan status temannya itu.
“Nikahnya udah lama. Acaranya aja yang baru sekarang, pada datang ya kalian semua,” ujar Haikal kepada teman-temannya.
Setelah menikahi Nindi nanti, tak ada lagi yang akan mengusik siapa istrinya, walau nanti ia akan memiliki dua istri dan hanya akan menjadikan Nindi sebagai istri formalitas saja. Haikal tersenyum miring lalu kembali ke tempat duduknya.
***
Malam ini, seperti biasanya Haikal dan Maura memadu kasih di paraduannya. Keduanya begitu menggelora dan saling ingin memuaskan. Satu jam kemudian, pertempuran panas usai sudah. Maura mendekap di d**a sang suami.
“Sayang, besok aku akan menikah dan besok malam takkan bisa tidur bersamamu lagi. Kamu jangan sedih, ya!” Haikal mengecup dahi sang istri.
“Iya, Bang, tidak apa-apa. Asal Abang selalu ingat janji saja, jangan menyentuh wanita itu walau sudah menjadi istrimu!” Maura mengusap d**a suaminya.
“Iya, Sayang. Abang akan selalu ingat pesan kamu. Paling cuma pas malam pertama aja di sana, besoknya Nindi udah Abang ajak ke sini kok.” Haikal berusaha membuat Maura tak bersedih, sebab ia merasakan sakitnya kalau diduakan.
“Iya, Bang. Adek percaya sama Abang.” Maura semakin membenamkan kepalanya ke d**a Haikal.
***
Hari pernikahan Haikal dan Nindi tiba juga. Acara dilangsungkan di rumah mempelai wanita. Acara akad nikah nikah dilangsungkan dari pukul 08.00 hingga pukul 10.00. Sedangkan acar resepsi dilangsungkan dari pukul 16.00 – 20.00.
“Saya terima nikah dan kawinnya Nindi Fitrya dengan mas kawin tersebut dibayar, tunai!” ujar Haikal dengan suara lantang dan satu tarikan napas.
“Sah?”
“Sah!”
“Alhamdulillah.” Orangtua dari kedua mempelai saling melempar senyum kebahagiaan.
Nindi mencium punggung tangan pria yang kini telah sah menjadi suaminya itu. Hati wanita dengan kebaya berwarna putih itu begitu berbunga-bunga, kini status istri telah ia sandang. Hari-hari penuh kebahagiaan menantinya, walau mereka menikah karena perjodohan. Ia berharap, Haikal akan menjadi suami yang baik dan bisa mencintainya kelak walau saat ini ia masih melihat petugas damkar itu sebagai sosok yang dingin juga pendiam.
Acara resepsi berlangsung meriah. Nindi mengenakan gaun pengantin berwarna emas, sedang Haikal mengenakan jas yang berwarna senada. Keduanya terlihat begitu serasi, semua mendoakan untuk kelanggengan pernikahan itu.
Hanya Haikal saja yang terlihat selalu memaksakan senyum kepada para tamu undangan yang menyalaminya. Hati dan pikiran pria beralis tebal itu selalu tertuju pada Maura, ia sedih membayangan wanitanya itu akan menangis karena tak bisa bersamanya malam ini.
Acara resepsi selesai, Haikal dan Nindi bernapas lega. Mereka begitu keletihan karena berbagai rentetan ritual pernikahan yang menguras tenaga.
Setelah mengganti pakaian pengantin dengan baju lingerie berwarna pink berbunga-bunga, Nindi duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut panjang yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu.
Beberapa saat kemudian, Haikal masuk ke kamar lalu melangkah canggung menuju tempat tidur. Ia juga sudah berganti pakaian dengan setelan kaos oblong berwarna putih juga celana pendek.
Nindi menahan debaran di d**a saat melihat Haikal menatapnya dari arah tempat tidur, ia menunggu suaminya itu menghampiri. Akan tetapi, pria yang telah sah menjadi suaminya itu malah membaringkan diri di tempat tidur begitu saja tanpa menyapanya sama sekali.
Nindi mencoba menenangkan diri dan memahami kalau mereka baru saja saling mengenal, apalagi menikah karena perjodohan tanpa pacaran terlebih dahulu. Akan perlu waktu untuk saling mendalami sifat masing-masing dan membiasakan diri dengan hubungan instant ini sebelum melakukan hubungan ala suami istri nanti.
Wanita bertubuh ramping itu melangkah mendekat ke tempat tidur. Ia mencoba memahami situasi saat ini, mungkin Haikal capek, begitu pikirnya.
Malam pertama bukan berarti harus dihabiskan dengan bercinta, karena masih ada malam-malam berikutnya. Apalagi mereka baru selesai melangsungkan acara yang cukup melelahkan. Nindi menatap punggung pria yang tidur dengan posisi membelakanginya itu. Ia tak mau berburuk sangka dan akan selalu berpikiran positif.
Bersambung ....