8. Serahkan Dirimu Padaku.

1481 Words
"Kenapa kamu pucat sekali?" Adnan memberikanku sebuah minuman dingin. Saat ini aku baru saja selesai mengirim kepulangan jenazah Yuni ke Negaranya. "Terima kasih." ku raih minuman kaleng dingin itu. Aku masih dibuat bingung dengan pernyataan Ranvier. Aku tidak mau mengotori pikiran ini, dengan menuduhnya yang bukan bukan. "Aku hanya sedikit pusing aja." aku pusing memikirkan Ranvier. Laki laki itu sangat misterius. Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Apakah dia mister white atau justru mister black, yang dunianya semua hitam. Aku tidak sanggup memikirkan itu. "Dengan perginya Yuni, itu artinya masalah kita selesaikan?" Adnan berkata lagi. Saat ini kami sudah berada di dalam mobil. "Aku sangat berharap kalau pihak petugas kepolisian tidak perlu mengusut lagi. Ini sangat tidak baik untuk Artika Home. Saingan kita akan memanfaatkan ini demi kepentingannya." Yang aku tahu bahwa di negaranya ini ada tiga perusahaan yang sama. Yaitu perusahaan jasa yang memfasilitasi tenaga kerja imigran yang masuk ke negara ini. Dan sialnya dua perusahaan itu bukanlah perusahaan biasa saja. Mereka berdiri hampir bersamaan dengan Artika. Meski Artika berdiri lebih dahulu dari kedua perusahaan itu. "Kamu tahu kan, William Bannedict?" aku hanya mengangguk. Aku tentu saja tahu siapa William Bannedict, dia saingan beratnya Ranvier. Ben memiliki perusahaan dengan tema yang sama. "Aku dengar, Bem bukan hanya memiliki Keeper RTJ. Tapi dia juga yang memiliki tiga stasiun televisi yang ada di negara kita. Kamu tahukan itu apa artinya, Ben sangat berbahaya untuk artika." "kenapa Ben sangat berbahaya?" bukankah selama Artika tidak bermasalah dengan Keeper RTJ. Berarti kita aman aman saja kan? "Karena Ben sangat membenci Ranvier. Ben adalah anak kandung ayah tirinya Ranvier. Dan Ben menginginkan Artika jatuh ke tangannya." Aku memang belum mengetahui hal ini. Aku bahkan tidak tahu siapa Ben. AKu tergelak dengan semua kebodohan ini. Aku ini tunangan macam apa? Ah, jangan terlalu percaya diri. Aku bertunangan dengan Ranvier, hanya sekadar tukar cincin saja. Hanya sekadar status saja. Ranvier tidak pernah mencintaiku. Begitu juga sebaliknya. Aku tidak pernah mencintai laki laki misterius itu. Tapi ... tapi ciuman itu, ah, sudahlah. Ciuman hanya lah ciuman. Kucing juga bisa ciuman! Kami sampai di kantor. Aku melihat sebuah Range Rover berada di parkiran Artika. "Itu mobil siapa ya?" tanyaku pada Adnan. "Dia ... Ben!" aku mengerjap. Mendengar namanya saja, jantungku sudah berdetak cepat. Bukan! Bukan karena aku menyukai orang itu. Mana bisa aku menyukainya, sedangkan aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Aku hanya merasa kalau Ben ini memiliki sesuatu yang membuat ku takut, walau hanya dengan mendengar namanya saja. "Ben siapa?" "William Benedict. Orang yang kita ceritakan barusan." Waw! untuk apa dia ke sini. Aku pun dan Adnan masuk ke dalam kantor. Kulihat seorang lelaki tampan dengan memakai baju serba hitam itu keluar dari ruangannya Ranvier. Aku segera duduk di kursiku, namun sebelum itu, aku merasakan sebuah lirikan dari Ben. Si lelaki yang memakai baju serba hitam itu. "Di melirik mu!" Adnan berkata dengan pelan. "Jangan disebut, kakak tirinya Ranvier itu membuatku takut." balasku. "Biarkan saja dia. Dia itu play boy, jangan sampai kamu ikut ikutan terjerat oleh pesonanya." Adnan berkata lagi. "Aku tidak tertarik padanya." cetusku. "Iya, jangan sampai kamu tertarik. Dia pria asing dan sangat aneh. Kamu akan lelah kalau berurusan dengannya." Sampai laki laki itu pergi, aku masih menatap punggung lebar yang dibalut oleh jas berwarna hitam itu. "Mereka sepertinya bicara serius di ruangannya Ranvier." Adnan berkata lagi. "Aku juga berpikir begitu. Mereka saingan berat. Tapi juga keluarga, sungguh menakutkan hubungan mereka ini." "Kamu jangan sampai terjerat pada hubungan mereka berdua Agata. Kamu itu terlalu cantik, aku yakin keduanya mungkin akan jatuh cinta sama kamu." "Tidak akan, aku tidak akan pernah bertemu dengan mereka berdua." Aku bahkan sudah bertunangan dengan Ranvier. Ah, Adnan tidak tahu saja. "Iya, kamu jangan sampai terlalu dekat ya. Ranvier sering memanggilku ke ruangannya. Kalian enggak ngapa ngapain kan? Maksudku, si Ranvier itu tidak pernah meminta yang aneh aneh kan?" dia tidak pernah aneh aneh, tapi selalu saja menciumku seenaknya. Dia sangat menyebalkan. "Kamu tenang saja. Aku dan Ranvier itu tidak cocok. Kami sering beradu argumen. Pokoknya aku enggak akan mungkin jatuh sama dia." "Iya, kamu jangan pernah memberikan hatimu padanya, bagaimana pun godaan yang selalu ia lakukan. Kamu tahu lah, kalau Ranvier itu memiliki wajah yang ya ... sedikit tampan. Dan sejujurnya aku benci dengan wajahnya itu." "Kenapa?" "Kamu enggak sedang naksir dia kan?" kekeh ku. "Ihs, kamu ngaco! aku gini gini juga lelaki normal. Mana ada aku suka sama pisang. Aku maunya cewek yang cantiknya kaya kamu." dia mencolek daguku. "Dih, enggak enggak!" aku mencubit tangan nakalnya itu. Tidak tahu deh, kalau Ranvier melihat ini. Ah, untuk apa juga aku memikirkan laki laki itu. Dia tentu saja tidak akan peduli dengan apa yang aku lakukan bersama Adnan. Secara kan, dia juga belum tentu memiliki rasa cemburu seperti pasangan pasangan tunangan yang lain. Aku dan Adnan masih mengobrol, ketika seseorang berdeham. "Agata, kamu ke ruangan Pak Ranvier!" Ines berkata. Aku pun segera mengakhiri percakapanku dengan Adnan. Dan masuk ke dalam ruangannya Ranvier. Di mana di sana laki laki itu sedang berdiri dengan membelakangi pintu. "Pak Ranvier, manggil saya?" tanya ku. Laki laki dengan tubuh tegap berbalut jas berwarna abu abu itu, membalikan dirinya dan menatapku dalam. "Kalian ngapain?" dia melangkah mendekat. "Kalian siapa?" tanya ku pada nya. Ranvier menariku ke dekapan, dan mengelus pipiku. "Kamu dan Adnan." lirihnya pelan. Kedua mata berwarna coklat terang kemerahan itu menyorot pada bibirku, membuatku menelan saliva ini. "Tunangan ku enggak boleh berteman dengan seorang lelaki sampai dekat seperti itu." bisiknya pelan. "A-aku? dekat sama siapa?" aku mencoba melepaskan diri darinya. Ranvier ini aneh, katanya dia enggak cinta sama aku. Tapi sikapnya seperti ini. Membuatku melayang seperti seorang perempuan yang di gilai seorang laki laki. "Kamu menyanggahnya?" ibu jarinya mengusap bibirku. "Tunangan ku ..." dia berbisik di telinga. "Kamu mulai nakal!" dia hampir mendapatkan bibirku, namun aku mendorong dan mengelak. "Kenapa? kamu enggak mau?" dia terlihat begitu kecewa. "Aku ... ini kantor. Rasanya enggak pantes, kalau kamu ... kalau kita melakukan itu." aku menjauhinya. Dia terkekeh. "Yakin hanya itu?" "Apalagi Ranvier! aku dan kamu itu enggak se manis itu. kenapa kamu harus menciumku." karena sejujurnya, aku merasa rugi kalau Ranvier menciumku tanpa cinta. Tidak! aku bukan sedang ingin mengharapkan cintanya. Tapi aku hanya merasa apa ya ... merasa kalau di cium oleh lelaki yang mencintaiku itu mungkin akan terasa lebih menyenangkan. Bukan hanya nafsu semata kan. "Jadi, apa yang bisa dilakukan sepasang kekasih yang sudah bertunangan? selain ciuman? ah, atau kamu ingin kita pergi ke apartemen ku. Dan kita ..." "Stop Ranvier! sebenernya apa tujuan mu meminta aku datang ke sini?" dia ini ... aku mulai kehabisan kesabaran padanya. Ingin rasanya aku memukul wajah tampannya itu. Kalau saja karena bukan Ayahku yang sedang aku lindungi, maka aku sudah menyantet laki laki seenaknya ini. "Aku melihat kamu dan Adnan itu terlalu dekat. Aku enggak suka!" "Kenapa? kamu jangan berkata seolah kamu ini menyukaiku. Itu menjijikan." "Kenapa memangnya kalau aku enggak suka?" "Aku katakan Ranvier. Kamu jangan membuat drama, seolah kamu mencintaiku. Jangan menggodaku, dan jangan membuat sesuatu yang membuatku menjadi perempuan yang suka tersipu." "Ah, jadi kamu suka tersipu kalau aku goda?" dia b******k! "Tolong lah, aku bicara serius." "Dan aku juga." Baiklah, sepertinya akan lebih baik kalau kita mengganti topik saja. "Itu ... Ben ngapain ke sini?" tanya ku, posisi kami masih saling berhadapan. Dan aku juga masih membuat jarak. Aku tidak mau dia kembali menciumku. Dia itu play boy. Terlalu banyak bibir yang ia cecap. Dan aku benci menjadi salah satunya. "Kenapa? tunangan ku ini tertarik padanya?" Ranvier mendekat dengan kedipan nakalnya. "Jangan mulai, Ranvier!" aku mundur karena enggak mau ia mendapatkanku. "Lalu?" dia mengikuti langkahku, alhasil kami saling kejar kejaran namun tidak berlari. "Aku ... aku denger kalau dia itu kakak tiri kamu kan?" Dia tersenyum kecil. "Siapa yang ngasih tahu?" dia terus melangkah maju, dan aku tentu saja mundur dengan dadaku yang semakin berisik. Langkah Ranvier yang panjang, telah membuat ku kelelahan. Karena langkah kami memang berbeda. Dia lebar, aku pendek tentu saja. "Ada orang lain yang ngasih tahu." Ah, sial. Tangan ku berhasil ia raih. "Kenapa? kamu nyari tahu karena kamu cemas padaku? Apa kamu sudah memiliki perasaan padaku?" dia mulai melantur. Lengan kokohnya mengitari pinggangku, sehingga aku mau tidak mau merapat padanya. Kedua mata nya kembali menyorot bibirku. Dia mendekat seolah memang ingin memakannya. "Ranvier!" tangan ku berhasil menahan wajahnya. "Kamu menolaku? enggak ingat berapa uang yang sudah aku berikan pada ayah mu?" Ah, tangan ini akhirnya jatuh begitu saja dari wajahnya. "Dengarkan aku agata ..." aku meringis karena jaraknya semakin dekat saja. Aku kesal, karena lelaki ini sungguh sangat berkuasa. Aku benci karena aku tidak akan bisa melawan kuasanya tersebut. "Kamu adalah miliku! karena apa?" dia sengaja memainkan tangannya di pipiku. "Karena ayahmu seorang pengemis yang sedang meminta bantuan padaku, dengan mengatas namakan anaknya. Dia sudah menjual anaknya yang begitu cantik ini padaku. Jadi nona agata yang terhormat ... aku sarankan sama kamu." dia menghentikan kalimatnya. Lalu berbisik. "Serahkan dirimu padaku!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD