Bab 2. Cinta Suci

1035 Words
*** Cacian dari Mbak Lia tak berhenti di hari itu saja. Rupanya Tuhan betul-betul menguji kesabaranku. Mbak Lia terus menyalahkanku atas malam itu dan malam-malam berikutnya karena aku gagal menuntaskan keinginan istri pertama suamiku itu. Ujian malam pertama itu berupa kehadiran tamu bulananku yang datang secara tiba-tiba. Biasanya selalu di akhir bulan, tapi kali ini mendadak datang di pertengahan bulan. Ini bukan salahku, tapi Mbak Lia selalu melimpahkan kesalahan itu padaku. Mbak Lia juga kesal akibat tamuku datang lebih dari Tujuh hari lamanya. Aku terpaksa merelakan diri ini di maki hingga Mbak Lia puas sendiri. Sungguh, hanya keikhlasan yang dapat kuberikan untuk menenangkan hati ini. Aku tidak ingin membenci Mbak Lia karena dia adalah perempuan yang dulu pernah membantu Bapak dengan suka rela. Aku ikhlas bila istri pertama suamiku itu melampiaskan kekesalannya padaku. Kini, setelah kenyang atas caci dan maki dari Mbak Lia, tibalah saatnya aku menyerahkan diri pada Mas Azam. Malam yang selamanya akan kuingat, malam di mana Mas Azam menunaikan kewajibannya kepadaku hingga ibadah pernikahan kami sempurna. Cumbu rayu dari Mas Azam sungguh membuatku terlena. Tak ingin menampik, belaiannya mampu menciptakan debar halus di dadaku. "Terima kasih, Nira," begitu selesai dengan aktivitas kami, Mas Azam mengucap terima kasih padaku sambil mengecup lembut keningku. Rasanya, aku ingin pernikahan ini benar-benar menjadi pernikahan yang sesungguhnya. Pernikahan pertama hingga terakhir bagiku. Betapa diriku iri pada Mbak Lia karena memiliki Mas Azam yang setia. Bahkan saat akan memulai beberapa saat yang lalu, Mas Azam masih sempat menyebutkan nama Mbak Lia di depanku. Dia meminta maaf padaku karena menikahiku tanpa rasa cinta. Dirinya juga memohon ampun pada yang Maha Kuasa karena menggauliku tanpa rasa. Mas Azam betul-betul melakukan kewajibannya hanya demi Mbak Lia seorang. Mendadak hatiku sakit. Ada yang retak di sana. Namun, aku tak bisa apa-apa selain menerima segalanya. "Tidur lah, Nira," pinta Mas Azam padaku. Sementara itu Mas Azam beranjak dari ranjang yang menjadi saksi bisu percintaan kami. Meninggalkan diriku yang sempat berharap. Aku tak kuasa menahan tangis saat lelaki yang baru saja menggauliku itu pergi meninggalkanku seorang diri. "Astagfirullah nggak seharusnya aku sedih seperti ini," lirihku. Namun apa lah dayaku. Hatiku bukan terbuat dari baja yang mampu menahan kecewa akibat perlakuan Mas Azam. Aku ingin menahannya di sini setidaknya sampai besok pagi. Rasanya aku ingin protes. Tidakkah Mas Azam sadar bahwa aku ini juga istrinya yang sah. Tidakkah Mas Azam mengerti? Bukan hanya Mbak Lia saja yang harus dirinya jaga perasaannya. Namun, aku pun juga. Layakkah dia melakukan ini padaku? Meninggalkanku setelah kami b******a. Ya Allah, aku merasa bagai p*****r. Setelah dinikmati lalu ditinggal pergi. Aku tidak ingin bergantung padanya hanya karena telah menyerahkan kesucianku ini padanya. Aku tahu bersamanya di malam yang ia inginkan adalah kewajibanku sebagai istrinya. Namun, aku menyesali sikap Mas Azam yang sama sekali tidak memikirkan perasaanku. "Sabar Nira, sabar. Kamu nggak berhak kecewa." Pilu rasanya hatiku. Tak kusangka memperhatikan Mas Azam layaknya istri kepada suami selama seminggu ini telah membuat benih cinta tumbuh di hatiku begitu saja. Ingin menyalahkan diri sendiri karena benih itu kubiarkan tumbuh di hatiku, tetapi tidak ada yang salah bukan karena Mas Azam juga suamiku. Sudah seharusnya seorang istri mencintai suaminya. Satu-satunya kesalahan adalah aku hanya madu yang tidak dirinya harapkan. Hanya itu saja. Selebihnya tidak. Aku berhak jatuh cinta pada Mas Azam seperti Mas Azam yang selalu jatuh cinta pada Mbak Lia meskipun tak tahu kelicikannya. "Sudah Nira sudah! Cukup! Kalau memang kamu mencintainya relakan dia, relakan apapun yang akan dia lakukan padamu," ucapku disela tangis ini. Kuusap air mataku, tak kubiarkan lagi jatuh membasahi pipi. Benar, jika memang cinta itu murni dariMu Ya Allah, relakan hatiku meski nanti Mas Azam lagi-lagi memperlakukanku seperti ini. Tak pantas bagiku marah padanya. Mas Azam tak pernah salah. Dia tak pernah memaksaku untuk menjadi madunya. Semua ini karena Mbak Lia yang egois hingga aku terpaksa berada di antara mereka. Aku tak ingin cintaku ternoda karena keserakahanku yang ingin memiliki hati Mas Azam seperti Mbak Lia memilikinya. Tidak! Aku tidak akan pernah melakukan itu. Aku berjanji, dalam pernikahan ini hanya ada cinta suci dariku untuk Mas Azam. Biarlah rencana Mbak Lia dirinya yang jalankan meski aku menjadi pion dalam langkahnya itu. Aku rela. Aku merelakan kesakitan ini untuk cinta yang tumbuh di hatiku. Bila memang harus terluka untuk membuat lelaki yang kucintai itu bahagia, maka aku akan terima. Lagi pula, jika nanti aku hamil anaknya, akan ada bagian diriku di sisi lelaki itu. Tidak masalah bila akhirnya Mas Azam hanya akan membenciku karena fitnah yang Mbak Lia sebarkan. Karena kelicikan Mbak Lia misalkan mampu membuat Mas Azam melupakanku selamanya, maka aku pun akan merelakan itu. Sungguh, itu bukan masalah besar meski sebenarnya sangat membuatku menderita. Lagi pula aku pun percaya, Allah tidak pernah tidur. Jika suatu hari nanti Allah menghendaki aku bersatu dengan Mas Azam, maka semudah itu akan terjadi. Aku akan menunggu dan berdo’a kepadaNya yang terbaik untuk kami semua. Aku juga akan mendoakan Mbak Lia bahagia dan berubah dari sikap liciknya. Meski butuh banyak waktu, aku pun tak peduli. Sekali lagi, Allah maha melihat. Allah Maha membolak-balik hati umatnya. Bisa saja esok Mbak Lia kembali seperti Dua tahun yang lalu. Baik hatinya dan murah tersenyum. Tidak seperti saat ini yang tampak muram dan emosian. Iya, semoga saja, semoga Mbak Lia dan Mas Azam bahagia selamanya. Aku tulus mendo’akan mereka. Bukankah aku terdengar kuat? Iya, tetapi sebenarnya tidak. Diriku lemah, hanya saja berusaha untuk menerima semua ini. Takdir yang Allah berikan pasti memiliki rahasia yang tidak aku ketahui akhirnya seperti apa. Aku hanya bisa berdoa yang terbaik. “Nggak apa-apa, Nira. Mulai sekarang lebih ikhlas menerima takdir ini,” ucapku sambil mengusap air mata. Entah sejak tadi, sejak aku mulai memikirkan semuanya, air mataku tak ingin berhenti mengaliri pipi. Barangkali ini yang dinamakan lemah. Hati perempuan begitu perasa dan sangat rapuh. Namun, kadang keadaan memaksa untuk tetap tegar. Begitu lah yang kurasakan saat ini. Hatiku rapuh karena kecewa, tetapi aku berusaha untuk tegar dan tegas bahwa semua ini adalah jalan takdir dariNya. Aku hanya perlu menerima dan berusaha sekuat yang diriku bisa. “Semoga aku nggak mengecewakan siapa-siapa, Aamiin.” Mataku terpejam rapat setelah itu. Ku bujuk diri ini untuk meninggalkan sejenak segala bentuk masalah yang harus dihadapi. Semoga hariku tak terlalu berat esok pagi. . . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD