Bab 3. Perhatian Mas Azam

1059 Words
*** Aku tidak tahu pukul berapa aku tertidur semalam. Tubuhku lemas karena menangis. Efeknya baru terasa subuh ini. Kepala pusing dan seluruh wajahku terasa membengkak. Bahkan bibirku terasa tebal sekarang. Mata juga ikut perih akibat terlalu lelah mengeluarkan air mata. Sungguh, ini menyedihkan, tetapi aku tak ingin berlarut. Seperti biasa, aku bangun setelah mendengar suara azan subuh berkumandang. Aku bergerak perlahan. Sisa percintaan semalam masih teramat membekas di antara selangkanganku. Satu-satunya tujuanku adalah kamar mandi. Setelah melepas mengenakan basahan, kubiarkan tubuhku basah disiram air. Aku mandi wajib terlebih dahulu agar bisa menunaikan sholat subuh. Usai mandi aku pun kembali ke kamarku. Segera mengenakan baju baru yang bersih dan mukenah sekaligus. Sujudku kali ini penuh haru. Namun, hatiku tenang. Seolah tak ada lagi beban yang membuat pundak ini terasa berat. Akan kujalani semua ini dengan hati yang ikhlas meskipun aku tak diinginkan. Tidak apa-apa, aku punya Allah yang akan selalu melindungiku. Kuusap air mataku setelah kulantunkan doa pada yang Kuasa. Berharap si buah hati tumbuh dalam rahimku agar hutang budi pada Mbak Lia dan Mas Azam terbayar lunas. Tidak apa-apa kupinjamkan rahim ini untuk mereka. Meskipun nanti aku tak dapat lagi melihat buah cintaku dan Mas Azam tumbuh dari hari ke hari setelah ia lahir ke dunia. Aku tersenyum, cukup dengan membayangkannya saja sudah membuatku bahagia. Kuusap perutku yang entah kapan akan kudengar kabar kehamilan itu, kubiarkan lantunan ayat suci keluar dari mulutku seraya terus menerus mengusap perutku. Semoga doa-doaku sampai ke arsy dan didengarkan oleh Allah. Semoga diriku cepat isi agar kebahagian itu dapat kubagi dengan mereka. Setelah sholat, aku keluar dari kamar. Seperti seminggu ini, aku mulai menjalankan tugasku sebagai seorang istri. Diriku memasak makanan untukku, Mbak Lia dan Mas Azam. Syukurlah, Mbak Lia memintaku bertanggung jawab pada dapur dan Mas Azam sudi menyantap masakan dariku. Sibuk aku di dapur, tak sadar bila matahari mulai menyapa pagi. Beruntung, masakanku sudah siap. Sehingga tak perlu diburu waktu karena senin pagi adalah jam paling sibuk menurutku. Iya, tak hanya Mas Azam dan Mbak Lia saja yang bekerja, tetapi aku juga, meskipun hanya seorang guru honorer di sebuah Madrasah. Aku meninggalkan dapur untuk kembali ke kamarku. Bukan untuk mandi melainkan hanya untuk mencuci muka lalu siap-siap mengenakan seragam karena tadi aku sudah mandi. Saat aku kembali ke dapur, Mbak Lia ada di sana. Dia menatap sekilas padaku tanpa tersenyum. Memang seperti itulah sikap Mbak Lia sejak aku masuk ke rumah ini. Dua tahun yang lalu, Mbak Lia adalah panutanku. Selain cantik, hatinya juga baik. Entah kemana sikap ramah yang mengiringi kecantikannya itu. Aku pun tak tahu. Mungkin pahitnya kehidupan tanpa bisa memiliki anak membuat Mbak Lia berubah. Dia hanya akan tersenyum di depan Mas Azam saja. Entah jika di depan mertuanya aku tidak tahu sebab sejak sebelum menikah sampai diperistri seperti ini, aku tak pernah bertemu dengan mereka. Kutebak, Mas Azam dan Mbak Lia menyembunyikan pernikahan ini dari mereka. "Pagi, Mbak," sebisa mungkin aku menyapa Mbak Lia dengan ramah. Namun, Mbak Lia hanya mengangguk singkat. Membuatku mendesah pasrah. Aku duduk di kursi makan, menatap heran pada Mbak Lia yang tidak melakukan hal yang sama. "Mbak nggak sarapan?" tanyaku. "Hemm," hanya itu saja jawaban dari Mbak Lia. Aku tidak tahu kenapa sikap Mbak Lia judes padaku pagi ini. Dia tidak seperti pagi seperti biasa, yang antusias menanyakan apakah aku dan Mas Azam sudah melakukan malam pertama. "Nanti kamu bantu layanin Mas Azam ya, Nir. Aku ada operasi pagi," begitu suara Mbak Lia terdengar, aku segera mendongkan kepala. Menatapnya lalu mengangguk. "Iya Mbak," jawabku. Setelah itu, suara Mas Azam mengintrupsi kami berdua. "Sayang kamu berangkat pagi?" aku tahu pertanyaan itu bukan untukku, tapi aku tak bisa memalingkan wajah dari Mas Azam dan Mbak Lia. "Iya, aku nggak ikut sarapan ya Sayang. Takut telat," balas Mbak Lia tak kalah mesra. Mas Azam mengangguk singkat. Dia memeluk dan mencium kening Mbak Lia di depanku. Lalu mereka saling membagi tatapan cinta. Astagfirullah aku tidak boleh iri. Sudah seharusnya Mbak Lia mendapatkan perlakuan istimewa itu dari Mas Azam karena Mas Azan mencintainya. "Aku berangkat duluan, Sayang," pamit Mbak Lia. Dia tidak menoleh padaku sama sekali. Hanya fokus pada Mas Azam seorang. Mas Azam mengantarnya hingga sampai ke depan. Sementara aku merutuki diri karena sempat merasa cemburu. Aku menghela napas dengan berat. Mendadak semua makanan yang ada di depanku tak menarik minatku sama sekali. Bolehkah aku merasa cemburu, Ya Allah? Bolehkah aku berharap diperlakukan yang sama? Aku menggeleng keras. Menahan segala tanya agar tak lagi mengganggu pikiranku. "Kamu nggak apa-apa, Nir?" itu suara Mas Azam. Aku mendongak cepat, menatap ke arahnya. "Nggak apa-apa, Mas," jawabku cepat karena takut Mas Azam mencurigai apa yang sedang aku pikirkan. Mas Azam tampak belum puas. Keraguan juga tersirat jelas di wajahnya. Dia memang menunduk, tapi aku masih dapat melihat kehelisahannya. Astagfirullah, tak seharusnya aku lupa, Mas Azam pasti sedang menungguku mengisi piringnya, tapi tak enak untuk meminta. Buru-buru kuambil piringnya, lalu segera kuisi dengan nasi. Aku tidak perlu bertanya karena sudah hafal porsi makan Mas Azam. Dia juga akan nambah sendiri bila belum kenyang. "Ini Mas," kuletakan kembali piring itu ke depan Mas Azam. Lauk sudah berada di atas nasinya. Kuisi pula piringku sendiri, tapi wajah Mas Azam masih saja tampak tertekan. Aku bertanya-tanya apakah Mas Azam sedang bertengkar dengan Mbak Lia diam-diam? Tapi tidak mungkin mengingat mereka terlihat mesra beberapa saat lalu. "Mas kenapa?" tanyaku tak tahan lagi. Mas Azam mendesah pasrah. "Itu.. Apa masih sakit?" namun tanyanya terdengar juga. Aku kebingungan, tak mengerti ke mana arah pertanyaannya. "Maksud Mas?" Suamiku itu tampak kikuk. Dia bergerak salah tingkah. "Mas?" desakku membuatnya mendesah pasrah sekali lagi. "Selangkanganmu, apa masih sakit?" Mas Azam memperjelas pertanyaanya. Bolehkah aku mengartikan ini dengan istimewa? Apakah Mas Azam sedang memperhatikanku? Bibirku melengkung ke bawah. Ternyata benar apa yang pernah k****a dalam sebuah novel, perutku kini seakan digelitiki oleh ribuan kupu-kupu hingga membuatku tak ingin berhenti tersenyum. "Masih Mas, sedikit," jawabku jujur. "Tapi, Mas nggak usah khawatir. Nira baik-baik saja," ucapku malu. Bagaimana tidak? Kami sedang membahas hal intim yang semalam kami lakukan. Mas Azam mengangguk singkat. Aku senang suamiku itu perhatian meski sejak tadi tak sekali pun dia membalas tatapanku. "Ayo sarapan Mas, aku juga harus ke sekolah, ngajar," ucapku. Lagi-lagi Mas Azam mengangguk. Ini sarapan pertama kami tanpa Mbak Lia. Entah kenapa aku tak bisa berhenti tersenyum hingga khawatir akan menjadi madu yang jahat karena senang Mbak Lia tidak ada di antara kami. . . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD