BAB 10

2002 Words
Setelah menyelesaikan semuanya, mereka berkumpul bersama di dapur sambil menyusun kue-kue di nampan. Sanak saudara yang lain juga sudah pulang. Ini adalah satu-satunya waktu yang mereka miliki untuk berkumpul bersama keluarga. "Nak, kenapa harus langsung balik? Diam dan istirahat lah dulu." Kata Ibrahim ayah El. Acara resepsi baru saja selesai. Mereka sudah ingin langsung pulang ke Mataram. "Iya, Ayah. Dah tiga kali Ayah tanya ni. El ada banyak proyek yang harus diselesaikan akhir bulan ini. Jadi, tidak bisa berlibur lama," jawab El merendah. Seperti biasa, matanya terpaku pada layar ponsel. Tak heran jemarinya mengetik sesuatu. Rena yang ada di sana hanya diam saja. Ia tak ingin ikut campur dengan El. Biarlah El yang menjawab pertanyaan orang tuanya. Jika mengikuti kata hatinya, ia ingin tinggal lebih lama di sini karena kasihan melihat Ayah dan Ibu mertuanya Ibrahim Samad dan Meila Miska. Rena tahu kedua mertuanya ingin menghabiskan waktu bersama menantu mereka. Namun, keputusan ada di tangan El. Dia harus menurut dan setuju dengan instruksi pria itu. " Kalau memang begitu keadaannya, tak apa. Tapi kasihan Rena dia pasti capek. Dia pasti capek setelah acara kalian langsung pulang," tiba-tiba Ibrahim menyebut nama Rena. Rena tertegun sejenak. Namun, ia berusaha mempermanis wajahnya. "Eh, tidak apa Ayah. Saya tidak apa-apa," jawab Rena spontan. Anak Ayah yang pengambekan itu saja yanga tak sabar pengan cepat-cepat balik, tak sabar bertemu pujaan hatinya. Rena menggerutu. "Cepatlah. Kemasi barang-barangmu. Kamu punya waktu hanya setengah jam untuk berkemas. Jangan sampai telat," kata El sambil beranjak dari tempat duduknya. Kakinya melangkah menuju kamar. Rena tersentak kaget. Ia segera mengikuti El begitu mendengar perintah lelaki itu. Untung saja dia sudah mengemasi Sebagian barang bawaannya tadi malam. Setidaknya ia tidak akan dimarahi karena terlambat bersiap-siap. ***** Sepanjang perjalanan kembali ke Mataram, Rena dan El, seperti biasa, sangat lugas. Mereka hanya ditemani oleh suara penyiar radio yang tak henti-hentinya mengoceh tentang isu-isu terkini. Seperti biasa, Rena melemparkan pandangannya ke luar jendela. Menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan mereka. El juga sempat menelepon Anggun menggunakan handsfree. Mengirimkan setiap laporan perjalanan kepada kekasihnya. Pastinya mereka berdua sudah tidak sabar untuk bertemu. Rena tidak mau ambil pusing dengan pasangan itu. Ia sadar akan posisinya dalam pernikahan mereka. Jika setelah ini, El ingin menceraikannya dan menikahi Anggun, Rena tidak akan membantah. Ia ikhlas jika memang itu yang terjadi. "Aku anter kamu balik dulu. baru aku pergi lagi. Kalau kamu mau, kita bisa mampir di warung makan sebelum kita sampai rumah untuk membeli makanan yang kamu mau atau kamu mau beli makanan online nanti pas di rumah? Kamu bisa pilih makanan apa yang kamu suka di aplikasi online," kata El pada Rena. Ia melirik ke arah wanita itu yang sedang asyik melihat ke luar mobil. "Oke," jawab Rena singkat. Ia belum merasa lapar. Perutnya masih kenyang untuk saat ini. Lagipula, ibu mertuanya telah menyediakan berkat berupa beberapa lauk pauk untuk mereka. "Apanya yang okay? Kan aku tanya, Apa kamu mau beli makanan sebelum pulang, atau kamu mau pesen makanan lewat aplikasi online? Itu pertanyaannya, gimana sih kamu. Jawab aja sesuai pertanyaannya," kata El. Okay itu bukan jawaban yang jelas. Masih untung aku berbaik hati menawarkan. Jadi,bisa gak sih kalau ditanya itu jawabnya sesuai pertanyaan. "Aku masih kenyang. Lagi pula Ibu sudah memberikan bekal lauk pauk,” jelas Rena tenang. Dia sendiri malas untuk berhenti. Badannya sudah capek dan letih sejak semalam. Dia cuma ingin cepet sampai rumah dan beristirahat sekarang. "Aku harus bilang berapa kali kalau ada orang sedang ngomong kamu lihat mukanya. Itu namanya sopan santun. Mukaku ada di sebalah kanan, bukan di luar jendela sana," omelan El masih berlanjut. Isshh, jengkelnya minta ampun dengerin dia ngomel-ngomel mulu kayak kereta!!! Rena berteriak dalam hati. Kemudian, ia menatap wajah El sambil memasang wajah setenang mungkin. Meskipun hatinya tidak begitu tenang. Semoga si gila ini puas setelah aku melihat wajahnya dan berhenti ngomel. Panas kupingku dibikin. Rena marah di dalam hati. El melotot tajam saat mata mereka saling menatap. Rena mengatupkan bibirnya dengan geram. Dia berusaha sekuat tenaga untuk bersabar menghadapi pria itu. "Satu hal lagi. Mungkin, aku akan pulang telat malam ini. Jadi, sebelum tidur, pastikan semua pintu sudah terkunci," pesan El sambil berbelok ke gang masuk tempat rumah mereka yang berupa gapura besar yang ditenagah-tangahnya adalah pos satpam yang membuat jalan masuk terbagi dua jalur yaitu jalur kanan untuk jalan keluar dan jalur sebelah kiri untuk jalan masuk. "Aku rasa tidak ada yang akan menculikmu. Tapi, aku punya banyak barang berharga di rumahku," tambah El lagi, sengaja menyakiti hati Rena. "Oke," jawab Rena. Senyum mengembang di wajahnya. Sepertinya menyakiti hati orang adalah hobi barunya sekarang. Rena menjawab dalam hati. Setelah Rena turun dari mobil dan mengambil barang-barangnya, El terus melaju keluar dari area rumah. Begitu mobil El sudah tidak terlihat, Rena terus masuk ke dalam rumah. ***** Telepon genggam Rena berdering. Ia yang sudah tertidur cukup lama, perlahan membuka matanya. Tangannya meraba-raba ponsel yang diletakkan di bawah bantal. Ia menyipitkan mata sambil menatap layar ponsel. Nama El tertera di sana. Aneh sekali. Kenapa dia menghubungiku. Bukannya pulang ke rumah? Nafas ditarik dan dihembuskan perlahan. "Halo," Rena menjawab panggilan itu. Suara di seberang sana begitu lembut dan begitu memanjakan. Jantung El serasa berdesir mendengar suara istrinya di telfon. Dia sampai menelan ludah. Tertahan oleh suara lembut istri yang terpaksa dipilihnya karena keadaan. Namun sejurus kemudia dia menjawab. "Aku lupa membawa kuncinya. Buka pintunya," perintah El. "Emm....," jawab Rena dengan mata layu. Kemarin, aku lupa bawa kunci dia ngomel-ngomel sekarang giliran dia lupa main perintah-perintah aja. Untung saja aku bukan orang gila macam dia. Selalu suka memakai orang. Hati kecil Rena tersentak. Dan... dia tanpa sadar tertidur lagi. El menunggu hampir 10 menit di dalam mobil. Pintu gerbang masih belum terbuka. Dahinya berkerut dan tak sabar kepalanya dijulur keluar lewat kaca pintu mobil yang dibuka setengahnya untuk mengintip ke dalam garasi rumah, mencoba mencari tahu keberadaan Rena. "Di mana dia?" El mulai kehilangan kesabaran. Ia menekan nomor telepon wanita itu lagi. "Ada apa ini... Orang mau tidur juga masih di ganggu saja!" Tiba-tiba Rena marah. El terdiam sejenak. " Kenapa kamu belum keluar? Aku masih diluar nungguin kamu. Sudah sepuluh menit ini aku di luar. Apa kamu tidur lagi?" El bertanya dengan suara yang agak tinggi. Astaga, mampus lah aku. Aku ketiduran lagi. Pasti dia bakal marah-marah lagi. "Eh... Maaf. Aku tertidur lagi. Sebentar lagi aku buka pintu gerbangnya," jawab Rena terkejut. Dia segera bangkit dan pergi ke pintu rumah sambil menekan tombol gerbang. Kemudian, ia juga membuka pintu utama. Begitu mobil El masuk ke parkiran rumah, Rena kembali menekan tombol gerbang. Perlahan-lahan pagar itu menutup kembali. Ia lalu berdiri di depan pintu menunggu El masuk ke dalam. Ia melirik jam di dinding. Pukul 3.30 pagi. Apa kalau pergi pacaran pulangnya larut malam begini. Ganggu orang tidur aja. Ia memejamkan matanya dengan kepala membentur-bentur pintu. "Dah, lanjut sana mengigaunya," El terus berjalan menuju tangga untuk naik ke kamarnya tanpa mengucapkan terima kasih. "Sama-sama," jawab Rena mengejek, masih bergumam lagi. Namun, ia tidak segera beranjak dari tempat itu. Ia malah tertidur dengan dahi menempel di kusen pintu dengan mulut terbuka sebagian. Langkah El terhenti, ia menoleh ke arah Rena yang masih di pintu yang terbuka. "Rena Aulia, apa kamu mau tidur di dekat pintu? Sekalian saja tidur di luar sana. Siapa tahu ada orang yang mau menculikmu nanti," kata El sambil tersenyum tipis melihat tingkah Rena. Ini anak bisa-bisanya tidur saambil berdiri. "Tunggu, aku tidak mengucapkan terima kasih sebelumnya. Apa kau butuh ucapan terimakasih?" El bertanya ketika ia teringat kata-kata Rena tadi. Apa dia benar-benar bersungguh-sungguh? Dahi El berkerut saat ia memikirkan Rena. "Hah?" Telinga Rena seperti mendengar suara El menyapa gendang telinganya. Apa yang barusan kau bilang? Apa yang aku butuhkan? Mata Rena melirik ke arah El. "Gak…, gak ada, terserahlah. Mimpi indah. Kunci pintunya. Lanjutkanlah mimpi-mimpimu di tempat tidur. Aku gak mau melihatmu tidur di dekat sana lagi besok. Aku usir kamu ke luar," kata El sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan marah. Setelah itu, ia melangkah kembali ke kamar. ***** Selesai membersihkan diri, El merebahkan tubuhnya di tempat tidur sambil tersenyum-senyum sendiri karena teringat akan sikap Rena beberapa saat yang lalu. Ia mengusap-usap wajahnya dengan lembut. "Bahkan dia bisa tidur sambil berdiri. Aneh sekali dia." El bergumam dalam hati. Ia mengeluarkan tawa kecil. Kemudian, pikiran El kembali melayang pada pertemuannya dengan Anggun beberapa saat yang lalu. Pertemuan itu telah mengobati semua kerinduan El pada Anggun. Anggun yang sudah hampir satu bulan menghilang, terlihat tenang saat bertemu dengannya. Dimana Anggun mengenakan gaun satin berwarna merah. Gaun itu seperti memeluk tubuhnya dengan lembut, menonjolkan garis lekuk yang indah. Memiliki potongan yang rendah di bagian d**a, yang mengungkapkan keindahan kedua gundukan daging kenyalnya dengan belahan yang dalam menunjukkan ukurannya yang diatas rata-rata. Bagian belakangnya terbuka, dengan tali tipis yang menjuntai, memperlihatkan sedikit dari kulit halus yang menjanjikan keintiman. Bagian bawah belakang dari gaun tersebut seperti sesak oleh bulatan pinggul yang menungging indah seperti pelana. Garis leher dihiasi dengan kalung yang indah, memberikan sentuhan elegan pada penampilan keseluruhannya. Lengan gaun dipotong pendek, menampilkan lengkungan indah di bagian bahu dan lengan yang halus. Gaun tersebut memiliki potongan melengkung di pinggang, menekankan lekuk tubuhnya yang menggoda dan menciptakan siluet yang memikat. Lengkap dengan celah paha rendah, yang memberikan pandangan kilat pada kulitnya yang halus dan menunjukkan pesona dari kaki jenjangnya. Dia mengenakan sepatu hak tinggi yang elegan, yang memperpanjang kaki rampingnya dan memberikan keanggunan lebih pada langkahnya yang berayun. El terpana melihat kecantikan kekasihnya yang terbalut penampilan seksi nan menggoda. Dia tak kuasa menikmati momen indah yang memanjakan matanya. Baru kemudian mereka duduk Bersama bersebrangan di meja kecil sambil tangan El memegang erat tangan kekasihnya. El menceritakan apa yang terjadi saat Anggun tidak hadir di pernikahan mereka. Bagaimana ia dipaksa menikah dengan Rena. El juga dengan sungguh-sungguh menjelaskan bahwa ia tidak memiliki perasaan terhadap Rena. "Aku benar-benar tidak memiliki perasaan langsung padanya. Hanya kamu yang ada di hatiku, sayang. Aku sangat mencintaimu," kata El serius. Tangan Anggun yang digenggamnya dicium dengan lembut. "Aku juga mencintaimu, sayang. Tak apa aku mengerti. Itu semua salahku. Aku yang salah karena tiba-tiba menghilang di hari pernikahan kita sehingga kamu terpaksa menikah dengan Rena. Maafkan aku sayang," jawab Anggun dengan wajah sedih. Ia mengelus pipi El dengan lembut. "Kamu pasti pernah menyentuh Rena kan?" Anggun bertanya dengan nada merajuk. Wajah perempuan itu berubah masam. "Tidak... tidak... tidak... aku tidak akan menyentuh wanita yang tidak aku cintai. Dia bukan seleraku. Lagipula, dia bekas orang lain. Pantang pisang berbuah dua kali, pantang lelaki makan sisa. Kau tahu aku kan?" El dengan sungguh-sungguh meyakinkan Anggun akan pendiriannya. "Beneran? Mana ada kucing nolak kalau ada ikan di depannya," Anggun merengek manja. Bibirnya digembungkan ke atas. El tersenyum ketika melihat riak di wajahnya. "Iye, sayang. Tolong percayalah. Aku kan orangnya setia dan kamu percaya itu kan? Aku harap kamu juga melakukan hal yang sama padaku," El menggenggam kedua tangan Anggun sambil menatap mata perempuan itu dalam-dalam. "Suatu hari nanti, aku akan menikahimu. Kan ku buktikan betapa aku mencintaimu," suara El menggemakan kata-kata itu. Punggung tangan Anggun diciumnya berulang kali. "El, tolong hentikan bicara soal itu. Aku belum siap jadi istri kedua kamu," kata Anggun dengan wajah sinis. "Kamu akan menjadi istri pertama dan terakhirku, sayang. Aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi. Aku akan pastikan kamu bahagia menikah denganku," El dengan sungguh-sungguh mengucap semuanya pada Anggun. Perempuan itu hanya tersenyum getir sambil memegang pipi El. Ia tidak memberikan respon apapun atas apa yang dikatakan El. Ya, Anggun memang masih belum mau menikah. Salah satu alasannya menghilang di hari pernikahannya adalah karena El terlalu mendesak dan memaksanya untuk menikah. El masih percaya dan sanggup menunggu Anggun yang disinyalir juga setia padanya. Inilah kelemahan El, terlalu setia dan percaya pada cinta. Tanpa disadari, Anggun telah membodohinya. El menutup mata terhadap semua kesalahan yang telah dilakukan Anggun karena ia ingin Anggun melakukan hal yang sama, yaitu mempercayainya seperti ia mempercayai Anggun. Lamunan El berhenti sampai di situ. Ia tersenyum sendiri dengan mata yang layu. Tak lama kemudian, El pun tertidur. Malam itu, hati El berbunga-bunga setelah bertemu kembali dengan kekasih tercintanya, Anggun. Mereka telah berjanji untuk bertemu di hari-hari berikutnya seperti biasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD