BAB 7

1577 Words
Jam menunjukkan pukul 17.30. Setelah terbangun dari tidurnya, Rena melanjutkan salat ashar. Setelah salat, ia pergi ke dapur dan menyiapkan makan malam. Tiba-tiba, telepon genggamnya berdering, menandakan ada pesanan singkat yang masuk. Rena melirik layar ponselnya. Di sana tertulis nama El dan ia langsung mendengus kesal. Kalau bisa, ia ingin memblokir nomor pria itu. "Ah malasnya, perasaanku jadi tak enak. Pasti musibah bakal datang kalau berhubungan dengan orang gila ini. Apa gerangan yang akan terjadi?" Rena bergumam dengan wajah masam. Pesan singkat itu dibacanya. El: Kenapa kunci rumah tak kau bawa? Kuncinya masih ada di pintu dan gak terkunci. Gimana nanti kalau ada pencuri yang masuk ke dalam rumah? Mata Rena membelalak saat membaca pesan singkat yang dikirim oleh pria itu. "Aduh, bisa jadi masalah besar ini. Bagaimana bisa aku melupakan kunci rumahku?" Rena marah pada dirinya sendiri. Aku kenak omel lagi, rasanya sepanjang hari ini dia ngomel gak berhenti-berhenti. Rena: Maaf. El: Maaf? Hanya itu yang kau tahu? Jadi, sekarang bagaimana? Rena: Kau mau pergi keluar? Jika kau mau keluar, titipkan kuncinya di tetangga sebelah. Aku ambil ke sana nanti pas pulang. El: Aku tak kenal tetangga sebelah. Dan tolong jangan menitipkan kunci ke siapapun itu. Aku tidak pernah menitipkan kunci rumah dengan siapa pun. Kamu adalah orang pertama yang aku berikan kunci rumahku dan sekarang kamu lupa membawanya. Di mana tanggung jawabmu? Ya Tuhan, dia kuat sekali kalau sudah ngomel!!! Gerutunya di dalam hati. Rena: Maaf. El: LAGI??? Maaf? Lagi dan lagi??? "Aarrghhh... Stresnya aku... memang aku harus bagaimana, ah? Kalau kau punya ide, kasi tahu saja. Biar aku ganti kata maaf itu dengan kata yang bisa buatmu senang dan berhenti mengomel. Rena membentak dengan marah. Dia pemarah sekali! Gak di rumah, gak di kantor selalu ngomel. Sekarang di w******p juga ngomel. Pantas saja Anggun milih kabur, dia tak mau menikah dengannya! Angguuun.... Mengapa kamu meninggalkan pria gila ini denganku? Tanpa membalas w******p El, Rena melanjutkan menyiapkan makan malam. Malas rasanya ia melayani kemarahan El yang tak kunjung reda sejak semalam. ***** Pukul tujuh malam, Wanda tiba di rumah. Ia menuju dapur sambil menghirup aroma masakan dengan mata terpejam. Seketika itu juga perutnya terasa lapar. "Enak sekali baunya. Kalau kamu masak untuk suami, pasti suamimu makin sayang sama kamu," goda Wanda begitu melihat Rena yang sedang sibuk di sana. Rena memonyongkan bibirnya. "Kaka ni, jangan aneh-aneh. Mandi dulu, kita shalat maghrib berjamaah. Setelah itu baru makan," kata Rena sambil tersenyum. "Baiklah...," jawab Wanda sambil tertawa. Rena pun menuju ke ruang tamu dan merebahkan diri di sofa. Sambil menunggu Wanda mandi, ia membuka kembali pesan dari ponselnya. Sebuah pesan singkat dari El masuk. Matanya terpejam tanda tak habis pikir. Namun, tetap saja ia membaca satu per satu pesan itu. Pasti pria itu masih belum kehabisan bahan untuk terus mengomel. El: Kurasa aku perlu membuat peraturan baru. Setelah ini, jika kamu lupa membawa kunci rumah lagi, gajimu akan ku potong! El: Kenapa kamu tidak membalas pesanku? El: Halo, Nyonya Rena Aulina. Apa kamu masih hidup di sana? El: Kalau kamu masih hidup, balas pesan ini! kalau tidak, aku pecat kau!!! Rena menarik napas panjang sebelum ia membalas pesan marah dari El. Ia tidak ingin memperburuk keadaan. Rena: Maaf. Aku sedang memasak tadi. Tentang kunci, aku benar-benar lupa tadi. Kalau tak keberatan, malam ini aku akan tidur di sini. Supaya kuncinya bisa kau bawa waktu pergi. El: Wah...wah..wah... Solusi yang bagus. Tidur di sana? TIDAK! Ingat kamu sudah jadi istriku, Barra El Raka, jangan seperti orang gak punya rumah. Apa kata orang-orang nanti baru menikah sudah pisah rumah tempat tidur, apalagi kalau orangtuaku tiba-tiba datang ke rumah. Apa aku mau bilang? Pokoknya PULANG! EL: Aku mau keluar. Kuncinya kutinggalkan di bawah keset depan pintu. Jika kau ingin mengambilnya, panjat saja pagarnya. Rena: Panjat pagar??? El: Baiklah. Sampai jumpa! "Siapa dia menyuruhku memanjat pagar? Apa dia pikir aku ini Tarzan?" Rena tidak percaya El bisa semarah itu. Selama ini, El tampak normal dan baik. Rupanya ada kabel yang terputus di otaknya setelah ditinggalkan Anggun. Wahai Anggun, kenapa kamu tinggalkan laki-laki itu untuk aku? "Hai, itu mulut komat kamit gak jelas. Lagi baca mantra atau jampi-jampi Neng?" Wanda bercanda. Ia menyandarkan punggungnya di samping Rena. Desahan kecil keluar dari mulut perempuan itu. "Baca ini," Rena menyerahkan telepon genggamnya kepada Wanda. Ia malas menjelaskan apa yang terjadi. Biarlah Wanda yang membaca dan mengerti mengapa ia kesel sekali. "Memanjat pagar? Wow, lelucon yang lucu sekali!" Wanda tertawa setelah membaca percakapan antara Rena dan El. "Kakkkk... Lelucon apa itu? Itu menyakitkan hatiku. Dari semalam sampai di rumahnya, kerjaannya marah-marah melulu. Bising sekali setiap kali dia marah, itu mulut sudah mirip mulut perempuan yang lagi mens, ngoceh-ngoceh gak jelas," Rena berargumen sambil mengangkat bibirnya. Sial sekali nasibku, berjodoh dengan suami gila seperti dia. Aku selalu dibully nya. "Sudahlah. Terus sekarang, bagaimana?" Wanda bertanya sambil menghidupkan televisi menunggu adzan magrib berkumandang. "Tidak ada pilihan lain. Aku harus manjat pagar," gumam Rena sambil menghela napas berat. "Tanyakan jam berapa dia akan pulang, tunggu sampai dia dekat rumah, baru nanti aku antar kamu pulang," Wanda mencoba memberikan ide. "Kak, dia bahkan tidak mau membukakan pintu. Dia bilang begitu di pesan. Jangan harap dia mau nunggu depan gerbang, apalagi bukain gerbang untukku? Dia TIDAK akan mau membantuku," jawab Rena dengan serius. Ia sengaja menekankan kata 'tidak' dalam-dalam karena ia sangat marah. "tak apalah. Aku manjat saja. Aku tidur di sini, dia bisa ngamuk terus mecat aku" tambah Rena lagi. Wanda mengangguk-angguk sambil tersenyum sendiri. ***** Begitu sampai di luar pagar rumah EL, Rena menjulurkan lehernya dari luar pagar untuk melihat ke arah garasi. Mobil lelaki itu tidak ada di tempat parkir. "Dia sudah keluar," gumam Rena sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Kak, tolong liatin apa ada orang yang ngeliat ke sini. Kalau sepi baru aku mau naik pagar, jangan sampe nanti dikiria kita nyuri lagi. Kan bahaya bisa bonyok kenak bogem dikeroyok orang sekomplek kita," tambah Rena sambil membetulkan celana legging hitamnya, sementara ujung rok bawah sudah diselip ke pinggang. Ia menarik-narik celananya agar nyaman untuk memanjat. "Okay. aman kok, gas keun" kata Wanda sambal tertawa kecil. "Bismillahhirrahmannirrahimmm..." Dengan hati-hati, Rena mengangkat kedua tangannya berusaha menggapai ujung atas pagar. Kemudian sambal sedikit melompat dia pun berusaha sekuat tenaga menarik tubuhnya ke atas. Kedua tangan kurusnya yang putih kekuningan terlihat berurat, menandakan betapa bekerja kerasnya menarik tubuh semampai yang sedang berjuang mencapai ujung atas pagar. Kedua kakinya juga tak kalah berusaha mencari pijakan pada celah pagar untuk bisa mengangkat tubuh itu. Akhirnya, Rena sampai juga di atas dengan peluh yang terlihat di dahinya serta nafasnya yang berat terengah-engah. Setelah sampai di atas, Rena duduk di tembok sejenak untuk beristirahat dan menstabilkan diri. Setelah beberapa saat, Rena membuat ancang-ancang dengan menggeser pinggul yang indah dengan pinggang yang ramping, garis lengkungan yang sangat indah. Saat dia bergerak, pinggulnya bergoyang dengan lembut, namun sebelum ia sempat turun ke bawah pagar, tiba-tiba terdengar bunyi klakson yang cukup keras dan panjang memecah keheningan malam di kawasan perumahan tersebut. Rena terkejut dan ia pun kembali duduk di tembok. Terlihat dadanya yang bulat dan penuh terlihat menonjol, dengan lekuk yang indah di sekelilingnya dibalik jilbab besarnya bergoyang cepat menandakan betapa terkejutnya dia. d**a Rena berdebar-debar karena kaget dengan suara klakson tersebut. Ia menoleh ke arah mobil yang melaju ke arah mereka. Wanda juga tak kalah kagetnya. Ia sedikit melompat sambil memegangi d**a yang padat berisi, kemudian membalikkan tubuh indah semampai dengan lekuk pinggang dan bahu yang sejajar dengan cepat ke arah suara klakson itu. "El!" Mulut Rena ternganga ketika melihat mobil El berhenti mendadak di depan rumah. Aku sudah setengah jalan menaiki tangga. Ya Tuhan, memalukan sekali! El sengaja memasang lampu mobilnya besar-besar dan menyorotkannya ke arah Rena yang masih duduk di tembok rumahnya. Romi yang juga berada di dalam mobil menatap Rena. Ih!!! Malunya minta ampun!!! Ini Namanya sudah jatuh tertimpa tangga. Gumamnya dalam hati. Kemudian, mereka berdua keluar dari mobil Mercedes-Benz S-Class. Mobil itu terlihat elegan dan anggun dengan garis-garis yang halus dan aerodinamis. Lampu depan yang tajam dan gril krom yang menonjol memberikan kesan kuat dan tegas. El tak kuasa menahan tawa. "Liat dia sudah seperti pencuri. Sudah berapa lama kamu nagkring di situ?" El bertanya sambil tertawa terbahak-bahak. Padahal aku cuma bercanda saja suruh dia panjat pagar buat ambil kunci rumah. Eh tahunya dia malah beneran manjat. El begitu senang melihat ekspresi terkejut campur malu Rena. Mukanya yang cantik memerah karena malu. Romi terpana melihat kecantikan Rena yang sedang terduduk di atas pagar, meskipun wajah cantiknya memerah, namun itu tak membuatnya kekurangan pesona. Dia tak bisa mengendalikan dirinya untuk memperhatikan tubuh Rena yang memiliki lekuk yang indah bak gitar spanyol. Lekuk di bagian dadanya penuh dan bulat hampir sempurna terlihat karena ujung jilbabnya dia ikatkan ke belakang, dengan pinggang ramping kemudian melengkung lagi di bagian pinggulnya yang indah berisi. Apalagi bagian kakinya terlihat jelas menggoda dikarenakan celana legging hitamnya mengekspos bentuk paha dan kaki secara keseluruhannya. Semua itu tak luput dari pandangan Romi. Namun ia tersadar dan berkata ke temannya ”El, tidak baik jika kamu mempermalukan istrimu sendiri. Rena ayo turun, bahaya itu," kata Romi, kesal melihat El mempermainkan Rena. Jika Rena terjatuh, maka El akan menyesal. Romi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal ketika melihat El masih tertawa. Kurang ajar betul! Kamu mempermainkan aku! Rena mengumpat dalam hati. Kakinya mulai terasa sakit. Dengan hati-hati ia turun dari dinding. Wana membantunya sambil memegang lengannya. "Hati-hati, Rena," pesan Romi yang agak khawatir akan keselamatan Rena. Ia khawatir Rena terjatuh dan terluka. "Manis juga kamu," sindir El sambil menyenggol lengan Romi. Lalu El tertawa sinis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD