Bab 8. Bimbang
Nadine tergolek lemas di atas brankar rumah sakit. Dokter dengan cekatan memberikan pertolongan pertama.
Di luar kamar operasi, Omar duduk dengan tenang. Dia tak perduli apapun yang terjadi pada istrinya. Baginya hubungan pernikahan mereka hanya sekedar status. Selebihnya, dia bebas.
Nadine bebas.
Pikirannya bahkan berkelana kepada wanita cantik berhijab dan juga putranya yang entah kenapa terasa begitu dekat dengannya. Bahkan wajah anak itu kenapa mirip dengannya. Kenapa dia baru menyadarinya?
Sepasang suami istri berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya. Mertuanya. Bukannya menyambut kedatangan keduanya, Omar bahkan beranjak untuk meninggalkan tempat istrinya dioperasi.
"Dasar menantu kurang ajar! Sama mertua kok nggak ada sopan-sopannya," gerutu Lasmi, ibu mertua Omar. Namun seakan tak mendengar, Omar berlalu dengan langkah pasti.
Kedua orang tua Nadine hanya bisa mengelus d**a. Mereka menyadari kondisi rumah tangga putri semata wayangnya. Namun mereka tak mampu melakukan apapun. Karena mereka tahu, semua itu akibat kesalahan putrinya sendiri.
**
"Tuan, saya dengar kalau nyonya merencanakan sesuatu terhadap Anda," lapor mata-mata yang sengaja disiapkannya.
"Bagus, tetap waspada. Laporkan kalau ada yang men-curigakan!"
"Baik, Tuan! Ada sedikit masalah. Akibat kecelakaan itu, nyonya keguguran."
"Apa??? Jangan bercanda! Bagaimana dia bisa keguguran?!" bentak lelaki itu tak percaya. Bagaimana mungkin wanita itu hamil dan kini keguguran??? Batinnya gusar.
"Saya sangat yakin Tuan. Karena saya ikut membantu dokter Yanuar melakukan tindakan dilatasi dan kuretase (D/C)," jawab suara diseberang sana.
Memang ketika pada hasil pemeriksaan ditemukan keguguran tidak lengkap, maka dokter akan melakukan tindakan dilatasi dan kuretase (D/C), yang lebih dikenal masyarakat sebagai kuret. Dalam prosedur ini, dokter akan melakukan pelebaran leher rahim secara bertahap, serta pengangkatan sisa ari-ari dan janin dari rahim. Jadi tidak semua keguguran akan dilakukan kuret. Ada yang cukup dipantau dan diberikan obat saja.
"Baik! Tetap pantau kondisi di sana," perintahnya sebelum menutup sambungan telpon secara sepihak.
"Baiklah Nadine... Apa kini yang akan kamu jadikan alasan untuk tetap mengikatku?? Berani sekali mengandung anak lelaki lain saat masih menikah denganku?" katanya pada dirinya sendiri.
**
Seorang lelaki tampan dengan stelan jas mahal memasuki rumah sakit.
Setiap wanita menatap kagum padanya. Berharap bisa menjadi kekasih lelaki itu. Tampan, kaya dan dari keluarga terpandang.
Lelaki itu sampai di depan pintu bernomor 201. Sebelum meraih gagang pintu, lelaki itu menghela nafas panjang lantas menghembuskan dengan pelan. Seakan ingin menenangkan gejolak amarah yang selalu dia rasakan setiap akan menemui pemilik ruangan.
"Assalamu'alaikum," sapanya, membuat semua yang ada di dalam ruangan menatapnya dan membalas salamnya dengan berbagai ekspresi.
"Mas... Mas ke mana aja sih? Aku kecelakaan kok malah nggak ditungguin?" rajuk Nadine, seakan tak perduli dengan wajah masam sang suami.
"Buat apa?" tanya Omar singkat dan tak perduli.
"Ish Mas... Bisa nggak pura-pura bersikap manis di depan keluarga kita." Sungguh sikap acuh sang suami membuatnya kian tak punya muka di depan keluarganya dan keluarga Omar.
"Aku bukan seorang yang munafik," sahut Omar datar. Lelaki itu hanya menampilkan wajah datar nan masam.
"Omar, jangan begitu sama istri kamu," tegur Umi Latifah kakak Omar yang tidak lain juga Umi dari Ilyas dan Adam.
"Kenapa?" tanya Omar acuh. Dengan gaya santai, tanpa perlu mendekati istrinya. Lelaki itu bahkan berjalan ke arah sofa yang sudah diduduki Ilyas.
"Geser!" perintahnya, membuat Ilyas berdecak kesal karena merasa terganggu karena lelaki itu sedang chatting-an dengan Almira yang entah kenapa seperti sedang menghindarinya sejak acara pertunangan semalam.
"Mas!! Kenapa malah duduk di sana? Aku sakit loh," rengek Nadine menahan kesal akibat sikap acuh sang suami. Apa harus menunggu dia mati dulu hingga Omar sedikit memperhatikan-nya???
"Lalu???" Satu alis Omar menukik ke atas. Ilyas menepuk kesal lengan Omar, sang paman yang memang tak ber-perikeistrian... Waduh istilah apalagi nih??? Ilyas terkekeh dalam hati.
"Paman tuh harusnya... Noh samperin istri, tanyain kabarnya? Yang sakit yang mana? Dasar tidak peka! Gitu aja nggak ngerti!" puas rasanya dia mengatai sang Paman yang memang level kepekaannya minus.
"Hei, anak kecil sok tau!" sahut Omar tak terima. Walau memang yang dikatakan Ilyas itu seratus persen sesuai dengan kenyataan. Namun dia tak mau bersikap sok perduli, karena kenyataannya dia memang tak perduli sama sekali akan kondisi sang istri. Masih mendingan saat ini dia datang berkunjung sebagai tanda dia masih mengingat kalau wanita yang kini terbaring di ranjang pasien itu adalah istri yang tak diinginkannya.
"Ilyas aja lebih ngerti perasaanku. Mas yang suamiku masa nggak peka sedikit aja?" gerutu Nadine membuat Omar menatap tajam ke arah sang istri yang langsung terdiam melihat ekspresi tak suka sang suami.
"Ya, kamu nikah aja sama dia," ujar Omar tak perduli dengan semua orang yang menatapnya tak suka.
"Omar!" bentak Umi Latifah—kakaknya. Omar hanya menatap kakaknya malas.
"Aku sudah tau kondisimu dari dokter." Jawaban Omar membuat Nadine memucat. Apa Omar sudah mengetahui bahwa dia keguguran??? Tidak! Om Yanuar pasti bisa dipercaya. Pamannya itu tidak mungkin mengatakan tentang dia yang keguguran seperti permintaannya.
"Benarkah??? Jadi dokter mengatakan apa?" tanya Nadine mencari tahu. Awas saja kalau Om Yanuar mengatakan rahasianya!
"Menurutmu?" ujar Omar balik bertanya, membuat Nadine kian gelisah.
"Entahlah... Tadi dokter Yanuar bilang, kemungkinan aku akan lumpuh untuk sementara. Apa dokter mengatakan hal yang sama?" Omar termenung mendengar jawaban sang istri. Karena sebenarnya dia belum bertemu dengan dokter Yanuar. Jadi ini caranya mengikatku? Supaya aku jatuh kasihan??
Baiklah... Aku ikuti alur cerita yang kau ciptakan. Sampai mana drama yang coba kau mainkan. Wanita ini ternyata penuh kelicikan. Apa lima tahun yang lalu wanita ini juga sudah menipunya?? Kenapa seakan ada yang janggal...
Seakan ada yang hilang....
Benarkah wanita yang sudah ditidurinya adalah Nadine??? Kenapa keraguan mulai melingkupinya??
Baiklah wanita, aku akan menyelidiki semuanya. Awas saja, kalau kau berbohong. Aku akan menghukummu!! Ingat itu, wanita!! Tunggu saja, kau belum melihat seorang Omar jika sudah marah. Tunggu saja wanita!!!
"Jadi, kau akan lumpuh??? Menurutmu aku akan tetap bertahan dengan istri yang lumpuh??" Omar menyeringai penuh ejekan.
"Omar!!! Jaga bicaramu! Mendiang Abi dan Umi kita tidak pernah mengajarkan kita untuk lepas tanggung jawab," hardik Umi Latifah.
"Terserah!!" ujar Omar beranjak dari tempatnya duduk. Saat akan meraih gagang pintu, lelaki itu berbalik dan menatap tajam ke arah sang istri yang membeku karena tajam dan dinginnya tatapan sang suami.
"Oh ya Sayangku, kenapa kau tak bilang kalau kau hamil? Anak kamu dengan siapa kali ini? Aku ikut menyesal, karena kecelakaan ini membuatmu kehilangan calon anakmu dengan selingkuhanmu. Jadi kenapa tak kau suruh selingkuhanmu saja yang bertanggung jawab. Aku yakin seribu persen dia mau tanggung jawab." Kalimat yang terdengar biasa tapi berefek luar biasa. Wanita yang dipanggil sayangku untuk pertama kalinya oleh sang suami malah kian memucat. Tubuhnya bergetar karena gelisah dan ketakutan.
Ya, dia takut lelaki yang menjadi poros dunianya akan segera menendangnya. Tidak!!! Dia harus mencari jalan keluar. Sudah banyak yang dikorbankannya demi bisa menjadi istri lelaki itu.
Tidak akan dibiarkannya suaminya itu mengusirnya dari hidup lelaki itu. Tidak semudah itu!! Bukan Nadine namanya jika harus menyerah begitu mudahnya. Tidak!!!