Bab 9. Mencari Tahu
“Paman, aku masih penasaran deh. Kenapa Athar kok mukanya mirip banget sama Paman dan Ilyas. Jangan-jangan Athar itu anak salah satu dari kalian," ucap Adam dengan raut walah penuh rasa penasaran. Dahinya berkerut dengan jemari yang mengusap dagunya yang mulai ditumbuhi bakal janggut.
"Athar??? Siapa itu? Seperti pernah denger ya?" tanya Omar seperti pernah mendengar nama itu disebut.
"Ituloh anak yang Paman tabrak waktu pertunangannya Ilyas. Kalau aku perhatiin kalian itu cocok jadi keluarga loh," ucap Adam bermaksud sedikit mencari tahu reaksi sang Paman yang terkenal zero ekspresi.
"Anak itu namanya Athar ya? Kok kamu bisa kenal sih. Ah curang kamu," gerutu Omar wajahnya berubah antusias. Aneh, pikir Adam mulai curiga.
"Sejak kapan Paman suka sama anak kecil?" tanya Adam penuh selidik.
"Sejak itu Athar. Athar ya..." ucap Omar, pandangannya menerawang. Ingatannya kembali ke malam pertunangan Ilyas. Malam di mana dia pertama kalinya bertemu dengan bocah lucu nan memggemaskan. Ternyata bocah itu bernama Athar. Ayahnya pasti sangat bangga saat menamainya.
Mendadak dia lesu. Yah, wanita cantik itu pasti sudah dimiliki lelaki tampan nan baik hati. Pikirnya.
"Eh Paman... Paman...!!!" teriak Adam membuat buyar lamunan Omar tentang wanita cantik bak bidadari syurga itu. Bundanya Athar. Bahkan namanya saja Omar tak tahu.
"Apa sih? Nggak usah teriak, bisa?" gerutu Omar kesal, karena Adam berteriak di telinganya. Sampai telinganya bermasalah, awas aja keponakan bahlulnya itu.
"Habisnya Paman ditanya malah diam aja. Ngelamunin apa sih? Jangan-jangan ngelamunin Bundanya Athar ya? Nggak boleh Paman, kan Paman sudah ada tante Nadine. Apalagi tante lagi sakit," nasehat Adam membuat kesal Omar.
Kenapa pake membawa nama wanita sialan itu? Batin Omar kesal.
"Nggak usah pake bawa nama wanita tengik itu. Pembohong!" Bukan Omar namanya kalau tidak berbicara sarkas.
"Kalau ngebicarain Bundanya Athar mau?" goda Adam. Tanpa perduli dengan godaan Adam, Omar langsung antusias kembali.
"Siapa namanya?" tanyanya langsung. Omar tetaplah Omar, irit bicara. Selalu to the point.
"Bundanya Athar aja sih, aku juga nggak tau namanya. Tapi Paman bisa nanya sama tunangannya Ilyas. Mereka sahabatan. Bahkan sekarang mereka tinggal di apartmen milik Almira."
Seketika Omar beranjak pergi.
"Hei... Paman!!! Mau ke mana?? Kok aku ditinggal sih..." teriak Adam. Lelaki yang diteriaki tak menghiraukan panggilan-nya.
"Paman, wanita itu juga punya kalung berbandul bulan sabit punya Paman!!" teriak Adam lagi. Lelaki itu berharap reaksi pamannya sesuai ekspektasinya. Dan benar saja, lelaki yang tadinya berjalan dengan angkuh tak terusik, kini langsung berputar dan berjalan kembali ke arahnya.
"Apa maksudmu?" tanya Omar penuh selidik.
"Wanita itu diperkosa di hotel tempat kita menginap. Dan lelaki yang memperkosanya pergi setelah melakukannya. Dia hanya menemukan bandul berbentuk bulan sabit yang di-renggutnya saat pemerkosaan terjadi."
"Maksudmu, Athar... Anak korban pemerkosaan?" tanya Omar tak percaya.
"Itu... Itu tidak mungkin, aku terbangun dengan Nadine di sebelahku. Itulah kenapa aku menikahinya. Bukan karena aku mau. Namun karena tanggung jawab!"
"Aneh ya?? Lalu siapa yang sudah memerkosa Bundanya Athar ya?? Apa ada yang punya bandul itu selain Paman?" tanya Adam seakan berbicara pada dirinya sendiri saking lirih suaranya. Mirip seperti gumaman.
"Apa bandulnya sama persis seperti punyaku? Ada inisialku dibaliknya. Almarhum Umi mendesain dan membuatnya khusus untukku. Jadi kalau ada sama persis kurasa nggak mungkin. Karena itu buatan tangan," jawab Omar ikut berpikir. Kenapa jadi serumit ini???
"Kenapa tidak Paman cari kebenarannya saja? Selidiki mulai dari tempat kejadian!" saran Adam.
"Kamu benar. Kalau memang aku pelakunya. Berarti ada yang sengaja membuatku berada di tempat yang sama dengan Nadine. Tapi kenapa?" tanya Omar. Dahinya berkerut kala berpikir seperti itu.
"Tentu untuk memaksa Paman bertanggung jawab. Apa lagi??" jawab Adam enteng.
"Kamu benar. Awas saja kalau itu semua benar. Wanita itu akan tahu sudah berurusan dengan siapa? Dia salah mencari musuh. Akan aku hancurkan semua keluarganya!" geram Omar. Wajahnya memerah karena amarah.
"Paman!! Tenang! Kita tidak mungkin langsung ber-kesimpulan begitu. Wanita itu pasti akan mengelak tuduhan kita, kalau kita tak punya buktinya," sela Adam menenangkan amarah Omar, "bisa-bisa dia akan menuduh kita mencemarkan nama baiknya."
"Wah... Adam ternyata bijaksana sekali," ucap Omar mengundang decakan kesal dari sang ponakan.
"Wah... Lagi ngomongin apa nih?? Seru banget!" sela Ilyas yang tiba-tiba datang.
"Enggak, cuma membicarakan Bundanya Athar," jawab Adam sambil mengerling ke arah Omar. Yang ditatap hanya menggedikkan bahu malas.
"Safira? Emang Paman kenal dengan sahabatnya Amira ya??" tanya Ilyas. Omar hanya diam tak mau menjawab. Cukup satu keponakannya saja yang menggodanya, tak perlu menambah satu lagi. Ribet soalnya.
"Iya, aku curiga kalau Paman Omar itu Ayah biologis dari Athar. Tapi Paman bilang wanita yang dia temui di pagi hari adalah tante Nadine, bukannya Bundanya Athar. Eh siapa tadi namanya? Safira ya?? Wah namanya cantik kayak orangnya. Nih ya Paman, kalau bukan Paman pelakunya. Aku bersedia kok jadi Ayahnya Athar," ucap Adam membuatnya dihadiahi tatapan tajam Omar.
"Jangan coba-coba! Mereka milikku!" jawab Omar penuh penekanan.
"Alamat apartemennya!"
"Apa?" tanya Ilyas tak mengerti saat Omar menatapnya tajam.
"Eh si begok, Paman tuh minta alamat apartemennya tunangan kamu. Gitu aja nggak tau." Kini Adam menjawab penuh kepuasan ke arah Ilyas. Kini dia merasa lebih pandai dari Ilyas. Karena biasanya mereka selalu bersaing.
"Ye... Kan aku beneran nggak ngerti." Ilyas menatap kakak-nya tak terima.
"Sudah-sudah! Malah berantem. Alamatnya!"
Ilyaspun menyebutkan alamat apartemen Almira.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Omar berlalu meninggalkan dua bersaudara itu yang terbengong dengan tingkah Paman mereka.
"Benar-benar ya. Nggak pake terimakasih... Atau apa kek?" ujar Ilyas masih menatap punggung Omar yang kian menjauh dari pandangan matanya.
"Tapi kamu pasti nggak percaya kalau Paman kita itu kalau di depan Athar dan Bundanya beda banget. Jadi lebih manusiawi," ujar Adam dengan senyuman di bibirnya.
"Seriusan?" tanya Ilyas tak percaya.
"Dan aku yakin seratus lima puluh persen kalau Paman itu Ayah biologis dari Athar," ucap Adam dengan ekspresi seriusnya.
"Seratus persen dodol," gerutu Ilyas.
Adam hanya menggedikkan bahunya acuh.
"Kalau Paman Ayah biologis Athar, bagaimana dia malah bangun di samping tante Nadine bukan Safira?" tanya Ilyas meragu.
"Itu yang harus kita selidiki," jawab Adam serius.
"Kita??" tanya Ilyas tak percaya.
"Iya, kita! Kita akan bantu Paman mengetahui kebenaran-nya. Aku kurang suka dengan Nadine. Ada yang salah dengannya."
"Jangan beritahukan siapapun dulu, termasuk tunangan-mu!" peringat Adam yang hanya dijawab anggukan oleh sang adik.
Kemudian mereka merencanakan penyelidikan mereka.
>>>Bersambung>>>