Bab 6

1473 Words
Rama melirik Dara, wanita itu sedang memandang jalanan kota. Dulu wanita itu bertingkah sangat menyebalkan dan membuatnya kesal luar biasa. Ia dan Dara selalu saja beradu argument bahkan tidak lepas kontrol hingga tawuran setiap sat. Apa yang ia lakukan selalu salah dimata Dara. Ia bahkan pernah memohon kepada Tuhan tidak pernah dipertemukan lagi dengan wanita ini. Ketika dewasa ini, rasanya benci itu berlalu begitu saja. Dulu wajah itulah yang paling tidak ia sukai, sekarang malah betah berlama-lama memandangnya. Sekarang obrolanpun sudah berbeda, ya mereka sudah dewasa. Obrolannya pun bukan sekedar tatap muka tapi ada terbesit gairah yang menyala-nyala. Dara menarik nafas, ia menyandarkan punggung menatap Rama yang fokus dikemudi setir. Ia melihat secara jalas tato di sekujur tangan Rama, karena Rama menyingsingkan lengan hoodie itu. "Udah berapa lama kamu tatoan?," Tanya Dara penasaran, memecahkan kesunyian. "Sejak kuliah di Manchester. Pertama sih ijin sama nyokap dulu, baru deh buat tatoan," "Terus nyokap kamu bolehin?," "Enggak," Rama lalu tertawa, ia melirik Dara yang memandangnya. "Kan enggak dibolehin, kenapa masih tatoan," "Ya aku sih asal ijin aja, dibolehin nggak dibolehin tetep buat tato. Biar nggak terkejut aja sih nyokap kalau aku pulang udah tatoan gini," "Uh dasar," "Bagus nggak?," Tanya Rama ia fokus kemudi setir. "Apanya?," "Tato aku," "Nggak keliatan gambarnya, jadi aku nggak bisa nilai bagus apa nggak," ucap Dara. "Oke nanti aku liatin kalau udah sampe rumah," Rama tersenyum menuju Dfashion, rumah Dara di daerah Fatmawati. Suasana kembali hening, Dara mengeluarkan ponsel, menatap jam digital disana menunjukkan pukul 01.00. Suasana di jalan masih ramai, ia tidak tahu berbuat apa dan memilih diam hingga tiba Dfashion. Rama menghentikan mobilnya di salah satu halaman parkiran Dfashion. Disana terdapat mobil mazda berwarna putih, ia yakin itu adalah mobil sang pemilik butik ini. Ia menatap bangunan berlantai 3. Di atas bangunan itu terdapat papan nama berwarna putih bertulisan Dfashion, dengan lampu putih menyala mengikuti alur tulisan. "Ini bangunan kamu beli?," "Bukan, ini bangunan punya mas Alan. Cuma minjem doang buat butik aku. Aku nggak mampu beli properti disini, apalagi di daerah Fatmawati," Dara membuka hendel pintu mobil diikuti Rama. Rama memasukan kunci mobil disaku celana, "Aku nggak apa-apa kan main ke sini," "Nggak apa-apa kok," Dara mengambuka kunci pintu harmonika. Dara mengatur debaran jantungnya, ia terlalu nekat untuk mengundang Rama masuk kedalam rumahnya pada malam seperti ini, terlebih beberapa jam yang lalu mereka melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan. Terlebih status mereka bukanlah sepasang kekasih. Sekarang Ia dan Rama bukanlah anak SMA lagi, yang hanya memikirkan aturan dan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Setelah Rama masuk, Dara menghidupkan skelar lampu bawah. Ia menghentikan langkahnya, memandang Rama tidak jauh darinya. Disinilah ia bisa memandang Rama dengan lampu yang sempurna. Rama yang sekarang terlihat lebih keren dibanding yang dulu. Rambut hitamnya dan alisnya tebal, ia tidak tahu bahwa Rama bisa bermetamarfosis sekeren ini. Rama bukanlah pria yang tampan, tapi lebih mengarah ke pria yang enak dipandang mata. Jantung Dara seakan berhenti berdetak ketika Rama memergokinya tengah memperhatikannya. Iris mata itu saling berpandangan satu sama lain, dan alis Rama terngkat. Ia melangkah mendekat Dara. Memperhatikan setruktur wajah simetris itu. Sapuan make up sempurna tanpa berlebihan, disinilah ia bisa menatap secara jelas wajah itu. "I want to take you right here right now," Dara merasakan bibir Rama mengecup puncak kepalanya sekilas. "No," gumam Dara, ia menjauhi Rama dan melangkah menuju tangga. Pikirannya seketika buntu, tidak tahu akan berbuat apa. Ia menahan debaran jantungnya mencengkram ujung dress. Ia mendengar derap langkah Rama mengikutinya. Rama memandang keseluruh penjuru ruangan. Butik ini tidak terlalu besar, tapi terkesan berkelas karena pencahayaan lampu yang sempurna. Gaya interior modern clasik menjadi tema konsep butik ini. Ruangannya tidak terlalu besar dan tidak banyak perabotan disana. Ruangan dibuat berwarna putih manekin hanya ada beberapa saja disudut ruangan. Pemilihan tone warna juga sangat baik, ia yakin konsep butik ini buat dengan design interior profesional. Ya butik ini terkesan mewah, ruang tunggu sofa abu-abu, dan kaca. Tidak banyak baju yang menggantung disana. Ia sudah sering melewati area ini, tapi ia baru tahu bahwa ini adalah butik ini miliki Dara. Rama memandang Dara membuka salah satu ruangan dilantai dua. Ia melihat ada beberapa mesin jahit portable dan manekin yang tertutup potongan kain. Ada meja kerja dan beberapa benang yang tersusun rapi di rak sesuai warna. Ia seperti melihat ruangan kerja seorang designer. "Ini ruangan kerja kamu?," Rama masih memperhatikan keseluruh penjuru ruangan. Ia memperhatikan satu persatu setiap sudut disana. "Iya," "Homemade?," "Iya, semua baju dibawah itu homemade. Kebanyakan aku yang buat sendiri, yang bantu aku jahit cuma tiga orang. Stock juga terbatas sih, makanya nggak terlalu banyak, hanya yang dipajang aja yang tersedia," Dara menjelaskan. "Biasa sih, orang datang baru aku buatin, konsepnya begitu. Aku jaga kualitas. Aku nggak berani ambil banyak orderan," Dara memandang Rama masih sibuk memperhatikan ruangan kerjanya. Rama mengikuti langkah Dara masuk kesalah satu area ruangan. Ia memandang ruangan lebih mirip apartemen tipe studio, yang hanya ada tempat tidur, lamari yang menyatu pada dinding. Kitchen set minimalis dan kamar mandi. Semua area ini berwarna putih agar terkesan luas. "Abang kamu sering masuk tv, makin tenar aja," Rama membuka topik pembicaraan, ia pernah menonton salah satu infotaiment, saudaranya Dara menjadi kuasa hukum artis-artis yang terlibat masalah. Dara menghidupkan tv agar suasana tidak terlalu hening. "Gitu deh, biasa udah jadi pengacara kondang, sibuk mulu," Dara terkekeh. Rama memilih duduk sisi tempat tidur, menatap Dara membuka kulkas, "Kamu mau minum?," "Air putih boleh," ucap Rama. "Butik ini udah lama?," "Baru empat tahun sih, masih baru lah kalau hitungan usaha. Kamu sekarang sibuk apa?," "Ya ngurusin usaha kecil-kecilan aja," "Owh ya, apa?," Tanya Dara penasaran. "Bar, sama clothing yang aku pakek ini. Ini baru rilis juga," Alis Dara terangkat, ia menyerahkan gelas berisi air putih itu kepada Rama. Tadi di bar mereka tidak ada menyentuh alkohol satu pun, mereka juga tidak dalam keadaan mabuk. "Bar Ibiza tadi itu punya kamu," ucap Dara seketika, ia hanya merasa bahwa bar itu milik Rama, karena ada beberapa karyawan menyapanya. "Iya," "Wihh keren dong," Rama tertawa, "makasih udah bilang aku keren," "Bukan kamu, tapi bar nya yang karen," Dara tidak menyangka bahwa Rama menggeluti dunia bisnis, terlebih Bar. Harus merogoh kocek yang dalam dan para staff profesional didalamnya. Rama juga harus memiliki ijin yang ketat dalam penjualan berbagai macam alkohol dan wine. Ide konsep Ibiza memang keren, modern dan pajangan wine dirak dinding lebih dari seribu koleksi katanya. "Terus," "Ya nggak ada terusnya, ya gitu aja," Rama lalu tertawa ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Menatap Dara yang duduk disampingnya. "Katanya kamu mau lihat tato aku," Rama kembali duduk menatap Dara. Dara menoleh memperhatian Rama, ia lalu mengangguk, "Ya," Rama membuka hoodie dan meletakannya disamping. Ia takjub menatap tatto ditubuh Rama yang terukir disepanjang lengan kiri dan tubuhnya. Ia tidak terlalu tahu tato itu bergambar apa dan maknanya. "Sakit nggak di tatto?," Tanya Dara, ia menalan ludah, menatap otot bisep dan tubuh Rama. Sepertinya akal sehat Dara hilang begitu saja. Tanpa ia sadari tangannya bergetar menyentuh d**a Rama. Ia merasakan otot-otot itu bereaksi atas sentuhan. Tak ada satu bagian dari tubuhnya yang tidak ia sentuh, d**a, tulang rusuk dan pinggang. Ia bukan wanita munafik yang mendambakan tubuhnya direngkuh oleh tubuh ini. "Oh no," desah Rama. "Kamu nggak mau ...," Dara menghentikan sentuhannya, Rama menggenggam leher Dara dan lalu menyerang bibir itu begitu saja. Bibir Rama melumat bibirnya dan mengabsen setiap lidah. Bibir itu beralih ke cekungan dasar leher, dan akal sehatnya semakin gila. Dara mendesah menompang bahu Rama agar tidak meleleh saat itu juga. Dara menyembunyikan wajahnya dileher Rama, sambil mendesah. Ia tidak ingin Rama melihat extasi yang ia rasakan. Kecupan-kecupan itu semakin membuatnya gila, entah sejak kapan tangan Rama sudah masuk kedalam bajunya dan berusaha melapas. Dara mengatur nafas ia menyerang balik bibir Rama dan mengecupnya. Ia sudah gila jika melakukan ini kepada Rama, Dara mencengkaram bahu Rama, memintanya agar melakukan lebih. Dara mengecup semua bagian hingga Rama hampir membuatnya Gila. "Aku tidak menyangka, ternyata kamu lebih liar dariku," gumam Rama. Dara tertawa, "Is that good or bad?," "Fantastic," bisik Rama. *** "Ya nggak bisa gitu lah, ini barang udah harus siap. Orderan setiap hari rame. Aku mau kamu cari suplier lain lagi, menu kita harus ready setiap hari," "Iya pak," "Kamu cari, nanti kalau uda ketemu kasih tau aku. Biar aku yang melakuka penawaran," "Iya pak," Ares mematikan sambungan ponsel, ia memasukan ponsel disaku celana. Rama sudah pergi entah kemana, dan Bimo sama saja, dia sedang sibuk dengan Iren kekasihnya. Jika tahu kejadian seperti ini, ia tidak mau menumpang kepada Bimo. Ah, temannya itu suka menghilang seenak jidatnya dan ia ditinggal sendiri. Ia memandang lurus kedepan, ia menatap wanita bersandar di mobil sedan berwarna hitam. "Nggak masuk ke dalam?," Tanya Ares, membuka topik pembicaraan. Karena mereka ada diparkiran Bar "Rame, males, capek," ucapnya. Alis Ares terangkat, ia tidak menyangka reaksi wanita itu seperti itu, "Capek kenapa?," "Ya aku capek jalanin kayak gini," "Sendiri atau sama temen?," "Tadi sama temen, cuma udah pergi," "Hemmm," Ares memperhatikan struktur wajah wanita oriental itu. Matanya sipit hidungnya kecil mancung dan bibirnya tipis. Mengingatkannya pada tetangganya komplek bernama Mey. "Mau pulang?" Dia mengangguk, "Iya," Ares mengulurkan tangan, ia mencoba memperkenalkan diri, "Oiya, saya Ares," Lama menatap uluran tangan itu, lalu menggigit bibir bawah, "Mili," "Aku tadi sama temen, cuma ditinggal. Mau pulang bareng?," Tanya Ares. "Boleh," ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD