Nadia masuk ke kamar Aryan, ia hendak menyiapkan pakaian kerja untuk pria itu. Tiba-tiba kedua matanya ternodai untuk pertama kali. Ia melihat pria itu keluardari kamar mandi hanya mengenakan handuk terlilit di pinggangnya.
Tubuh telanjang d**a dengan perut kotak-kota terbentuk sempurna itu berhasil mengotori pandangan kedua mata gadis itu. Ia sama sekali belum pernah melihat pria berpenampilan polos seperti itu. Gadis itu menunduk tak berani menatap.
“Keringkan rambutku!” ucap pria itu tegas seraya duduk di hadapan cermin.
“Apa?”
“Aku tak suka mengulang ucapan dua kali, jadi jika kau merasa tuli, kau bisa keluar dari pekerjaanmu sekarang!”
“Bu-bukan begitu, hanya saja mengeringkan rambut Anda—“
Tak ada bantahan lagi dari bibir mungil Nadia, ia harus tetap bersabar menuruti segala perintah pria itu. Nadia meraih handuk kecil yang berada di leher Aryan. Kemudian, ia meraih hair dryer untuk mengeringkan rambut pria itu.
“Apa sudah kering?” tanya Nadia setelah lelah berdiri.
“Menurutmu?” Aryan menatap tajam wajah Nadia dari cermin.
“Baiklah, belum kering.”
Tiba-tiba Aryan bangkit tanpa bilang terlebih dahulu. Pria itu menepis mesin pengering rambut yang ada di tangan Nadia sampai membuat gadis itu tersentak.
“Aww… panas!” pekik Nadia.
Aryan tak peduli, ia hanya menoleh sekilas pada gadis yang sedang cemberut itu. Pria itu dengan cueknya hendak membuka lilitan handuk di pinggangnya.
“Astaga!” pekik Nadia menutupi wajahnya dengan telapak tangannya.
“Sedang apa kau masih di situ, apa kau sengaja ya mau melihat seluruh tubuhku?” tanya Aryan dengan ketusnya.
“Ih… percaya diri sekali Anda!” Nadia langsung bergegas menuju ke luar. Ia tutup pintu kamar Aryan dan berdiri di depan pintu tersebut.
Senyum tipis tersungging di sudut bibir pria itu kala melihat Nadia tampak panik.
“Menyebalkan sekali orang itu,” keluh Nadia.
Gadis itu juga meninju telapak tangannya sendiri dengan geram.
Aryan yang sudah membuka pintu itu tak disadari keberadaanya oleh Nadia yang masih menggerutu. Pria itu tepat berdiri di belakang tubuh gadis itu.
“Kalau aja aku tak kabur dari rumah, mungkin aku tak akan merasa sial seperti ini. Bagaimana bisa pria itu berlaku semena-mena kepadaku, ihhhh dasar rambut duri,” ucap gadis itu masih menggerutu tanpa sadar Aryan berdiri di belakangnya.
“Rambut duri? Siapa yang kau bilang rambut duri?” seru Aryan membentak dan mengejutkannya.
“Hah, apa yang kau lakukan di belakangku? Eh, maaf aku lupa kau Tuan Muda di sini,” ucap Nadia yang tadinya membentak jadi melunak nada suaranya.
“Siapa yang kau bilang rambut duri?” tanya Aryan lagi.
Nadia mengamati pria di hadapannya dengan saksama. Tubuh tinggi tegap dibalut dengan stelan jas hitam bermotif garis vertikal yang senada dengan celana kulot yang dikenakan itu terlihat sangat tampan. Pria itu benar-benar menggemaskan untuk dilihat. Dipandangnya sosok Aryan dari bawah sampai atas rambut sambil berdecak kagum.
“Kenapa, aku tampan, ya?” Aryan mendorong dahi Nadia dengan jari telunjuknya.
Gadis itu tersentak dari lamunannya dan berakata, “iya.”
“Hahaha… dasar gadis bodoh! Kau itu masih terlalu kecil untuk membayangkan tubuhku,” cibir Aryan.
“Ba-ba-bagaimana mungkin aku berani membayangkanmu, huh?” tanya Nadia balas berseru.
“Siapkan sarapanku, sekarang!” titah Aryan.
Pria itu bergegas melangkah menuruni anak tangga menuju ruang makan diikuti Nadia di belakangnya.
“Menyesalnya aku sampai bilang dia tampan, ihhh menyebalkan,” ucap gadis itu bersungut-sungut.
Setibanya gadis itu di ruang makan ia melihat begitu banyak makanan hanya untuk sarapan. Ada piring nasi goreng bersanding dengan aya goreng dan telur mata sapi lengkap dengan sayuran. Ada pula roti yang sudah di panggang lengkap dengan telur dan selada di samping piring roti itu. s**u, teh manis dan juga kopi tertata rapi di atas meja.
Nadia melihat Nyonya Sharee yang sudah dengan lahap menyantap nasi goreng. Oleh karena itu ia bergegas meraih piring dan mengambilkan nasi goreng pada Aryan.
Pria itu menyentuh tangan Nadia dan mencengkeramnya dengan kuat.
“Apa Ibu Melani tidak memberimu catatan?” tanya Aryan.
Nadia menoleh pada Ibu Melani yang langsung terlihat cemas.
“Apa aku melakukan kesalahan, ya?” batin Nadia.
“Saya sudah memberikan dia catatan, Tuan,” jawab Ibu Melani.
“Saya bertana pada gadis ini bukan pada Anda,” sahut Aryan dengan tatapan tajam.
“Maaf, Tuan, kalau memang aku salah, tolong jangan bawa-bawa orang lain,” pinta Nadia.
“Kalau Ibu Melani sudah memberikan buku catatan tentang kegiatan dan kebiasaanku, harusnya kau tahu ini hari apa dan aku mau makan apa,” bentak Aryan.
“Ini hari Rabu, memangnya… astaga aku kan belum menghapal semuanya,” gumam Nadia.
Aryan mendorong tangan yang ia cengkeram itu saat melepaskannya dengan kesal. Ibu Melani menghampiri Nadia.
“Hari ini Tuan Aryan sarapan roti, telur dan selada serta kopi s**u,” bisik Ibu Melani.
“Makan saja pakai dijadwal, harusnya bersyukur dengan makanan yang ada di atas meja ini, makan aja apa yang ada,” sahut Nadia seraya berbisik juga.
“Kau—“ Aryan menunjuk Nadia.
“Aryan, hentikan! Baru semalam dia tinggal di sini, wajar kalau dia belum hapal kebiasaanmu, jangan pecat dia!”
Nyonya Sharee langsung buka suara setelah dari tadi menyimak.
Seorang pria masuk ke dalam ruang makan menyapa Aryan dan Nyonya Sharee dengan sedikit membungkukkan badannya.
“Pagi, Pak Hendrawan, mari kita sarapan!” Nyonya Sharee mempersilahkan pria itu untuk duduk.
“Terima kasih, Nyonya, saya sudah sarapan, begini saya hendak memberi tahu Tuan Aryan kalau Nona Nabila mengalami kecelakaan saat hendak ke kantor, motor yang dikendarainya tertabrak mobil,” ucap pria itu.
“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nyonya Sharee.
“Hmmm paling dia hanya berbohong untuk menghindari rapat ke Desa Randu,” sahut Aryan.
“Maaf, Tuan, dia mengirimkan gambar kalau dia sedang dirawat.”
Hendrawan menunjukkan layar ponselnya memperlihatkan seorang wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan kaki berbalut gips dan menggantung.
Aryan menepis ponsel itu.
“Siapkan wanita pengganti!” tegas Aryan.
“Tapi sayangnya…”
“Begini Pak Hendrawan, bagaimana kalau Nadia, lihatlah postur tubuhnya mirip dengan Nabila, mungkin ia bisa menggantikan gadis itu untuk memperkenalkan produk tas kain kita yang terbaru,” ucap Nyonya Sharee.
“Tapi Nyonya, Bos Egan menyukai wajah Nabila,” sahut Hendrawan.
“Ya, Nek, mana mungkin wajah macam gadis itu disamakan dengan wajah Nabila,” cibir Aryan.
“Ih, apa maksud pembicaraan mereka, kenapa namaku dibawa-bawa dan kenapa pria menyebalkan ini menunjukku dan seolah sedang menghinaku,” batin Nadia.
Hendrawan menoleh kea rah Nadia dan mengamati gadis itu dengan saksama.
“Tapi, Tuan, kalau kulihat-lihat mungkin saja Bos Egan tertarik jika kita kirim foto gadis ini terlebih dahulu dengan produk tas kain kita,” sahut Hendrawan.
“Kau sudah gila, ya, Bos Egan akan menertawakan kita karena mengirimkan foto gadis jelek ini,” ucap Aryan masih mencibir Nadia.
Brak!
Nadia maju ke samping Aryan dan menggebrak meja makan tersebut tanpa sadar karena tersulut emosi.
*
To be continue…