Trauma

1277 Words
"Kirana?" Kaizar masih termangu dengan kedatangan sosok gadis cantik beroenampilan modis yang tak lain adalah kekasihnya itu. "Hai, Kai, lama enggak ketemu? Aku lihat di berita kamu makin keren aja," sahut Kirana seraya mengulurkan tangan. Kaizar terkesiap, dia hanya mengembuskan napas singkat, lalu berdiri dan menyambut ulurang tangan itu. Kirana mendekatkan diri berusaha memeluk dan mencium pipi Kizar, tetapi dengan sigap Kaizar mengelak dan kembali duduk. Hal itu membuat semua orang merasa canggung. Sampai akhirnya Lidia mencairkan suasana dengan begitu antusias menyambut mantan tunangan putranya. "Ah, Kirana kamu makin cantik aja, Sayang," sambut Lidia pada Kiranan yang ternyata diberikan tempat duduk tepat di hadapan Kaizar. Sementara itu Nara hanya mengamati dalam diam, dia sengata tak banyak berkomentar karena tidak ingin merusak suasana. Apalagi dengan sekilas saja, dia bisa mengerti jika Lidia dan yang lainnya lebih menyukai Kirana dibandingkan dengan dirinya. * Usai makan malam, semua anggota keluarga berkumpul untuk berbincang. Sementara Kaizar yang tidak nyaman dengan kehadiran Kirana memilih duduk sendiri di taman. Mata Nara tak berhenti mencari sosok pria itu, tetapi sejak tadi tak didapati. Lekas, dia beranjak dari duduk berniat untuk mencari Kaizar. "Nara!" panggil Lidia. Nara pun seketika terhenyak, tubuhnya mematung kemudian menoleh ke arah mertuanya itu. "Ya, Bu!" jawabnya singkat saja, seraya mengulas senyum pada ibu mertuanya itu. "Mau ke mana kamu?" tanya Lidia. "Saya ingin mencari—" "Duduk sajalah, mungkin Kaizar penat harus menempel denganmu, biarkan dia bernapas dan beri ruang," ujar Lidia, padahal Nara belum sempat menjelaskan apa yang ingin dia cari. "Ah, benar Nara, Kai emang lebih suka menyendiri, dia tidak terlalu menyukai wanita yang terus menempel dengannya," dukung Kirana, seolah dia mengenal segala sesuatu tentang Kaizar. "Tapi, saya ingin mencari minum, kebetulan saya sangat haus," elak Nara, seraya mengacungkan gelasnya yang kosong. "Kamu kan bisa nyuruh asisten rumah tangga di sini!" ujar Lidia. "Hmm, kupikir mereka sibuk," jawab Nara. "Ah, kalau gitu sekalian ambilkan punyaku, ya," celetuk Kirana yang seketika membuat Lidia terkekeh, "kalau bisa punya semuanya." "Maaf?" Nara ingin memperjelas semua perintah itu, lagi pula bukankanmh dia tidak layak untuk mendengarnya. "Bawakan aku minum sekalian!" ucap Kirana dengan wajah datar dan perangai penuh sirat. Nara kembali tertegun, dengan polosnya dia mau melakukan hal tersebut. Tepat, saat Nara akan beringsut menuju dapur dengan dua gelas di tangannya, Kaizar datang dari arah lain dan menyela langkah Nara. "Kemarikan!" pinta Kaizar seraya melirik gelas di tangan Nara. Nara terhenyak lalu tersenyum senang, karena Kaizar ada di hadapannya. Dia tak merasa asing lagi di tempat itu. "Bos, ka-mu dari mana aja?" tanya Nara sedikit berbisik. "Jangan banyak tanya, kemarikan gelasnya!" ulang Kaizar, kali ini tanpa aba-aba dia mengambil salah satu gelas di tangan Nara. Sekilas, Nara melihat lengan kekar itu mendapat ruam merah. Lagi-lagi Nara tertegun. "Bos, tanganmu—" Namun, seolah tak peduli, Kaizar meninggalkan Nara, lalu mengambil air dan memberikannya pada Kirana. Tanpa banyak kata, membiarkan Nara melihat semua itu. Tak lama kemudian, Kaizar kembali ke hadapan Nara dan mengajaknya untuk pulang. "Ayok pulang!" ajak Kaizar, tanpa menjelaskan apa pun, tanpa berpamitan kepada siapa pun. Namun, tampak sorot kegelisahan dari Kirana sebagai pengantar kepergiannya. Tanpa banyak tanya, Nara pun mengikuti suaminya. Di dalam perjalanan, keduanya saling diam. Nara juga tak ingin banyak tanya karena batasan dari kesepakatan yang mereka buat di dalam kontrak. Namun, Nara tahu suaminya sedang tidak baik-baik saja, bahkan ruam di tangannya semakin bertambah. Sesekali Kaizar menggaruk itu lalu menutupinya seolah ingin merahasiakan dari Nara. Setibanya di apartemen, Kaizar masih terdiam. Pria itu kembali berwajah murung. "Makasih untuk strawberry-nya, ya," ucap Nara, berusaha membuka percakapan dengan suaminya saat keduanya hendak berpisah menuju kamar masing-masing. "Emh!" jawab Kaizar sekenannya. "Sudah kuduga!" komentar Nara seraya tersenyum tipis berusaha menggoda Kaizar. "Apanya?" tanya Kaizar datar, dia lupa kalau itu harusnya menjadi rahasia. "Strawberrynya, aku tau itu Anda yang lakukan," sahut Nara. "Ck! Jangan berlebihan, aku hanya meminta asisten di sana untuk menyiapkannya, bukan hanya untukmu, tapi untuk semuanya," kilah Kaizar dengan wajah yang sedikit memerah. "Oke, bagaimanapun aku harus berterima kasih," sahut Nara. Nara tersenyum, kemudian berbalik setelah mengucapkan selamat malam pada suami kontraknya itu. "Nara! Kirana hanya masa lalu," celetuk Kaizar, tepat saat Nara hendak membuka pintu kamarnya. Sontak, tangan itu urung membuka pintu, dan memilih kembali berbalik. "Aku tahu! Tapi, bukankah itu enggak menjadi urusanku, Bos? Dalam kesepakatan kita, sudah tertulis jika kita harus memiliki daerah privasi, termasuk orang di masa lalu," jawab Nara. "Bukan itu maksudku!" tepis Kaizar. "Lantas?" Nara mengernyitkan dahinya. "Jangan biarkan dia memintamu seenaknya, dia bukan siapa-siapa dan enggak berhak memperlakukanmu semaunya, paham?" tegas Kaizar. "Memangnya kenapa itu tidak boleh?" tanya Nara untuk memastikannya. "Ya, karena-kar-na …" Kaizar tertegun sesaat, seperti kebingungan untuk mencari alasan. "Ya, karena kamu sekertarisku dan hanya aku yang berhak untuk memintamu ini dan itu!" lanjut Kaizar. "Aah, seperti itu. Kupikir karena aku ibu dari anakmu, Tuan Bos," goda Nara. "Ck!" Nara terhenyak, nyaris saja dia mengira jika Kaizar mulai mencintainya dengan tulus. Ternyata itu hanya sebuah harapannya. "Oia, Bos, apa Anda baik-baik saja?" tanya Nara tanpa mengindahkan lagi ocehan Kaizar. "Ya! Jawab Kaizar singkat, lalu masuk kamar." Nara mendengkus sembari menatap punggung lebar itu menghilang di balik pintu. Lekas, dia pun masuk dan membersihkan diri. Setelah satu jam berlalu, Nara tak kunjung mampu untuk memejamkan mata. Dia masih memikirkan ruam merah yang ada di tangan Kaizar. "Apa itu karenaku, ya, apa karena kita terlalu dekat dan banyak bersentuhan?" gumam Nara. Lalu, dia mengambil sebuah botol obat dari laci yang sebelumnya ditemukan di tong sampah di kamar Kaizar. Dia mengetahui jika obat tersebut merupakan antidepresan. Karen pikirannya terus tertuju pada Kaizar, Nara pun memutuskan untuk bangun dan pergi ke kamar Kaizar, bermaksud untuk melihat keadaan pria itu. Nara mengendap-endap seperti maling, dia juga tidak lupa membawa salep dari kotak P3K, bermaksud untuk mengoleskan itu ke ruan di tangan suaminya. Perlahan, Nara membuka pintu kamar Kaizar, tampaj pria itu tengah berbaring dan tertidur. Akan tetapi, tidurnya gelisah. Nara pun menghampiri suaminya itu, dia duduk di tepi ranjang, kemudian menatap wajah tampan Kaizar. Dengan perlahan Nara mulai mengolesi ruam di tangan Kaizar. Ternyata, bukan hanya tangan, tetapi di dadanya pun ada. Kebetulan, Kaizar tak mengancingkan piyamanya. Dengan segan Nara pun mulai mengoleskan salep di area itu. Namun, siapa sangka, tindakan itu membuat tidur Kaizar terusik. Secepat kilat dia menggenggam pergelangan tangan Nara. "Tu-an?!" * Tiga jam yang lalu …. Saat di mansion keluarganya, Kaizar pergi meninggalkan orang-orang karena dia sudah mulai sesak dan tidak nyaman. Kaizar pergi ke area belakang, dan tanpa sadar, Kirana mengikutinya diam-diam. Kaizar pergi ke toilet untuk minum obat, seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa sangat gatal bahkan napasnya sedikit sesak. "Sial!" geram Kaizar. Setelah beberapa menit berlalu, Kaizar pun mulai membaik karena obat yang diminumnya mulai bereaksi. "Kai," sapa Kirana yang berdiri menunggu Kaizar di depan toilet. Lalu dia mengajak Kaizar untuk berbicara di ruang lain yang memang sepi dan cukup privasi. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Kaizar, ketus. "Tentu saja karena aku merindukanmu, Kai," jawab Kirana tak tahu malu. "Cih!" Kaizar berdecih mengejek ungkapan rindu yang dilontarkan Kirana. Kirana pun dengan berani mendekati Kaizar, lalu dia memeluk Kaizar dan mulai meraba-raba lekuk d**a yang terbentuk itu dengan nakal dan liar. Kaizar mencengkram tangan Kirana, dan mengempaskannya agak kasar. Tak mau tinggal diam, Kirana pun dengan cepat mencumbu bibir Kaizar, dia memeluk pria itu dengan erat. "Lepas!" Kaizar mengempaskan tubuh Kirana ke sofa yang membuatnya kecewa. "Kenapa Kai? Bukankah kamu juga merindukanku?" protes Kirana. "Aku sudah memiliki istri, Kiran! Jangan kurang ajar!" tegas Kaizar, lalu pergi meninggalkan Kirana yang masih terduduk lesu. Setelah kejadian itu, Kirana kembali ke perkumpulan seolah tidak terjadi apa-apa. Untuk melampiaskan kekesalannya, dia berniat untuk mengerjai Nara. Nahas, Kaizar mengetahui semuanya. "Kamu punya tangan dan kaki, apa mengambil air begitu sulit?" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD