Meera merasa dadanya sakit. Ia berbaring, dan menarik dalam nafasnya, lalu ia hembuskan dengan perlahan. Tatapannya pada langit-langit kamar. Meera merasa melihat wajah Maminya yang sedang menangis di sana. Maminya yang sangat cantik, sangat baik, dari keluarga kaya, seorang sarjana, cerdas, punya segalanya, namun tetap saja, tak bisa membuat Papinya tetap setia. Air mata meluncur di sudut mata Meera, teringat saat ia memergoki perselingkuhan Papinya. Ia murka, sangat murka. Tanpa sadar, ia memaki Papinya, dan wanita itu. Ia mengadukan itu pada Maminya. Maminya memang menangis, tapi bukan karena perselingkuhan Papinya, namun karena menyesal, Meera harus tahu, dan melihat itu. Ternyata Maminya sudah tahu sejak lama. Meera bertanya kenapa Maminya masih bertahan dengan Papinya yang tidak