PART. 4

712 Words
Meera menatap sekelilingnya. Rumah sangat sederhana, namun Meera harus mengakui, sangat asri, dan nyaman di pandang mata. 'Apa aku akan betah tinggal di sini. Tanpa bathtub, dan air panas. Sedang aku sangat suka mandi berendam. Di rumah ini juga pasti tidak ada WiFi, dan yang jelas tidak ada pembantu. Siapa nanti yang akan memasak, dan mengerjakan pekerjaan rumah?' "Rumah ini kita beli lebih dari lima belas tahun lalu, Mi. Cicilannya baru lunas dua bulan lalu. Jadi, rumah ini sudah jadi milik kita," ujar Banyu sembari membuka pintu yang ada di sudut. "Ini garasi, jadi sepeda motor, sepeda anak-anak, keranjang jualanku, semua diletakan di sini." Meera melongok ke dalam. Ada satu sepeda motor butut, satu sepeda motor yang lebih baik. Dan keranjang untuk berjualan sayur di pojok. Atap ruangan itu terbuat dari plastik terang juga. Tampak dua jendela ada di samping dalam. Meera yakin itu jendela kamar kedua putri Banyu. Dinding ruangan yang sebelah luar, tidak full di beton, tapi bagian atasnya menggunakan kawat, tampaknya agar udara tetap bisa masuk ke dalam kamar si kembar. "Yang terakhir, kamar tidur kita. Ayo ...." Banyu meraih jemari Meera, tapi kembali Meera menepiskan tangan Banyu seperti tadi. Banyu hanya menghembuskan nafasnya, lalu berjalan mendahului Meera. Banyu membuka pintu yang berada di dekat musholla. Dipersilakan Meera masuk lebih dulu. Meera melangkah masuk. Foto dengan pigura besar tergantung di dinding. Foto pernikahan Banyu, dan istrinya. Dan, ternyata istri Banyu memang sudah gendut dari saat mereka menikah. "Itu foto kita saat menikah, Mami. Sudah enam belas tahun, tidak ada yang berubah dari diri Mami. Mami tetap cantik mempesona. Sini, coba lihat. Lihat!" Banyu menarik lembut lengan Meera. Ditunjuk pantulan tubuh mereka di cermin. Meera bergidik melihat tubuh Mira. Gendut, dadanya besar, perutnya juga berlipat, pipinya tembem, hidungnya tenggelam karena pipinya. Meera memejamkan mata. 'Ya Tuhan, kenapa aku harus terperangkap di dalam tubuh sejelek ini?' "Masih sama'kan, Mi. Mami masih secantik dulu. d**a Mami masih sekencang dulu. Ini yang paling Papi sukai ...." Telapak tangan Banyu menyentuh d**a Meera. Meera terdiam sejenak, merasakan hal aneh menjalari tubuhnya. Tapi sesaat kemudian ia tersadar, saat bibir Banyu mengecup lehernya. Meera memutar tubuhnya. Dipukul bahu Banyu dengan perasaan marah. "Jang ... hmmpp ...." Banyu memagut bibir Meera, dipegang kedua pergelangan tangan Meera yang terangkat ingin memukulnya lagi. "Apa ciumanku membuat Mami teringat sesuatu? Misal malam pertama kita yang penuh gairah?" Banyu menghapus bekas ciumannya di bibir Meera. Meera belum mampu bersuara. Dampak ciuman Banyu membuatnya bagai kehilangan suara. Ini bukan ciuman pertamanya, tapi ia belum pernah merasakan seperti ini sebelumnya. "Kalau ciuman tidak cukup untuk membangkitkan ingatan Mami. Mungkin dengan bercinta, dan merasakan goyangan blender Papi, Mami bisa mengingat sesuatu." Mata Meera melebar, ditatap Banyu dengan mulut ternganga. 'Ternyata pria yang terlihat kalem ini, mesumnya luar biasa. Apa tadi dia bilang, goyang blender. Cih, dasar orang kampung, bahkan bercinta saja harus diberi nama!' "Kenapa, Mi? Papi tidak berubah'kan? Masih seganteng, dan segagah dulu'kan?" Ingin sekali Meera berteriak, dan memaki. Tapi ucapan pria berbaju putih itu terngiang di telinganya. 'Sabar Meera, hanya tiga bulan saja.' Meera memejamkan matanya. "Awww!" Meera membuka matanya, tubuhnya terasa melayang, dan kemudian punggungnya menyentuh kasur. "Apa-apaan kau ini. Kalau aku jatuh bagaimana?" "Ya, ampun, Mami. Setiap malam Papi selalu gendong Mami ke atas ranjang. Berat Mami itu cuma delapan puluh kilo, Mami. Seratus kilo saja Papi masih sanggup." "Apa, delapan puluh kilo!?" Meera terlompat bangun. Ia memang sudah melihat tubuh Mira secara utuh di cermin. Tapi tetap saja ia terkejut saat tahu beratnya delapan puluh kilo. Karena tubuhnya sendiri hanya empat puluh kilogram. "Hhhh ... ternyata Mami lupa semuanya, bahkan berat badan Mami sendiri saja tidak ingat. Papi rasa, kalau kita bercinta bisa membangkitkan ingatan Mami." "Aku tidak mau bercinta denganmu!" Mata Meera menatap tajam pada Banyu. 'Meera, tidak boleh menolak keinginan Banyu. Itu tubuh istrinya, bukan tubuhmu sendiri.' Meera mencari asal suara yang ia dengar, ternyata pria berpakaian putih berdiri di sudut kamar. Kedua tangannya terlipat di d**a, tatapannya seakan memperingatkan Meera akan peraturan yang harus Meera patuhi. Meera menghembuskan nafasnya dengan kuat. "Kenapa? Aku hanya bercanda, Mami. Masa iya, aku mengajak Mami bercinta disaat Mami baru ke luar dari rumah sakit. Sekarang Mami istirahat saja, aku masak makan siang untuk kita dulu." Tanpa Meera duga, Banyu meraih dagunya, lalu mengecup bibirnya cepat. "Papi sangat mencintai Mami." Banyu beranjak dari duduknya, lalu ke luar dari dalam kamar. Meera menatap pria, suami dari wanita yang ia tempati tubuhnya. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD