Awal mula konflik

1600 Words
Rega mencoba menaklukan amarah dan rasa cemburu yang bersahang di hatinya dengan percaya sepenuhnya pada Tania. Sore ini Rega mengajak Tania ke sebuah kafe, dia kembali bersikap manis dengan menarik kursi untuk Tania duduk. Sebuah senyuman dia pamerkan untuk calon istrinya itu.  Namun, Tania malah mengidikkan bahu, enggan menanggapi, dia kemudian memutar bola matanya. 'Basa-basi busuk,'  gumamnya dalam hati. Dia masih kesal dengan sikap Rega akhir-akhir ini. Dia segera mengambil buku menu dan mulai memilih makanan. Sesekali melirik Rega yang seperti sedang menunggu seseorang. Benar saja, tiba-tiba Rega melambaikan tangan pada seseorang yang berdiri tak jauh di belakang Tania.   "Hai Ga," sapa seorang pria yang kini mendekat dan menarik kursi di sebelah Tania.   "Don ...."  Doni duduk dan menyandarkan punggungnya, dia menyeret kepala resleting jaketnya ke bawah. "Sudah lama?"  "Belum, kita baru nyampe." Rega memberi jeda. "Sekalian pesan deh, Don." "Oke." Tania masih sibuk dengan buku menu yang menutupi wajahnya.  "Ini?" Doni melirik Tania dengan ujung mata yang langsung dibalas anggukan oleh Rega.  "Ooh ... dia yang berhasil bikin kamu move on?" goda Doni. "Sayang." Rega mengusap punggung tangan Tania. "Kenalin ini Doni yang akan ngurusin foto prewed kita."  Tania segera meletakan buku menu di atas meja. Dia terperangah menatap pria yang duduk di sebelahnya itu.  "T-Tania?" Doni tak kalah terkejut, dia sampai terkesiap melihat Tania.  Tania masih terdiam, debaran jantung mewakili keterkejutannya.  "Kalian?" tanya Rega heran, dia melirik ke arah Tania dan Doni bergantian.  "Ga, kenapa kamu enggak pernah ngomong kalau perempuan yang akan kamu nikahi itu adalah Tania," ucap Doni tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah yang selama ini ia rindukan.  "Kenapa?" Perasaan Rega tiba-tiba tidak enak.   "Lah, kita 'kan bisa bersaing sehat, Ga."  "Maksudnya apa?" "Ga, dia Tania yang sering aku ceritain." Rega terperanjat. "Jadi?" Doni berdehem dan menatap Tania. "Kamu apa kabar?" tanya Doni sembari menatap nanar ke arah Tania, dia menahan dagu dengan tangannya yang bertumpu pada meja, persis seperti seorang murid yang sedang menyimak guru baru.  "Baik." Tania menarik napas. "Aku baik!" tegasnya.   Seolah lupa bahwa Tania adalah calon istri sahabatnya, Doni membuka tangannya dan memeluk wanita yang selama ini ia rindukan, wanita yang pernah ia sakiti karena kebodohannya. Tania terkesiap, namun, Doni malah merekatkan pelukannya. "Lepasin, apaan sih, Don?"  "Aku minta maaf, Tan, aku nyesel banget," ucap Doni penuh penekanan.  Rega bangkit. Darahnya mulai mendidih. Sedari tadi dia sibuk mencocokkan cerita Tania dan juga Doni. Kini kemarahannya sudah di ubun-ubun. Rega menarik kerah baju Doni, lalu mendaratkan tinju di rahang sahabatnya itu, hingga Doni terpelanting.  Tania terperanjat dan semua yang ada di kafe itu pun terkesiap. Tania bangkit dan segera menahan Rega, agar tak membuat kegaduhan lagi. "Maaf Ga, aku lupa, tapi kita memang belum putus, kamu harus tahu itu." Doni bangkit kembali dan berdiri tegak sembari merapikan bajunya.  Sementara Tania berdiri membelakangi Rega dan berada tepat di depan Doni. "Aku emang nggak mutusin kamu, Don." Tania menarik napas. "Kata putus nggak akan berarti buat kamu, tapi bukan berarti kita masih punya hubungan, Don," tegasnya.  Rega kembali mengepalkan tangannya, namun Tania segera memegang kepalan tangan Rega, sekuat tenaga Tania membuka kepalan tangan Rega dan menautkan jari-jemarinya ke sela-sela jari calon suaminya itu.  "Tan," Doni mendekat. "Tolong jangan hukum aku seperti ini," ujar Doni.  Tania menggelengkan kepala. "Aku nggak pernah menghukummu, kamu sendiri yang menghukum hatimu." Tania kemudian pergi dan menarik tangan Rega. Dia tak peduli dengan penyesalan Doni, meski Doni kembali memanggilnya. Tania tetap melenggap pergi. Kini dia duduk dan menyandarkan kepalanya di sandaran jok mobil, sementara Rega menundukkan kepalanya di atas roda kemudi.   Hening ... sunyi, senyap, hanya ada deru napas dan suara orang dari luar yang berlalu lalang ke luar masuk kafe. Tak ada yang berniat memulai pembicaraan, Tania memejamkan mata, dia terlihat gelisah, 'aku tahu, setelah ini pasti hubunganmu dengan Doni bermasalah,' batinnya.   "Aaarrgghhh ... " teriakan Rega membuat Tania membuka mata dan melihat ke arah pri itu. Rega memukul roda kemudi. "Jadi, si b******k yang kamu maksud itu, Doni?" Dia mengarahkan pandangannya pada Tania.  Tania memberikan anggukan sebagai jawaban. Rega menarik napas. "Doni memang sering cerita soal kamu." Rega menarik napas. "Bodohnya aku karena enggak pernah tahu yang di maksud Doni itu ternyata memang kamu." Tania kembali mengangguk.  "Kalau aku tahu, sudah aku kremasi dia!" imbuh Rega sembari mengeratkan genggaman pada roda kemudi. Rega mengucapkannya dengan penuh penekanan. Dia pastikan mulai detik ini Doni bukan lagi sahabatnya.  Tania terdiam, terbayang kembali wajah Doni yang tersiksa karena penyesalannya sendiri.   ***  Tania sudah berjanji pada seseorang yang paling istimewa di hatinya untuk menghabiskan waktu selama dua hari bersamanya. Dan untuk memberi kejutan Tania rela datang lebih awal untuk menyiapkan semua. Dia berdandan sangat cantik, tapi tetap casual, rambut panjangnya dia biarkan terurai dan bergelombang. Kemudian dia berjalan dan memperhatikan sekitar untuk memastikan  bahwa Doni memang belum datang.  Dia membuka pintu apartemen Doni dan mengedarkan pandangannya. Doni memang memberi kunci cadangan apartemennya pada Tania, agar Tania bisa bebas berkunjung kapan saja, jika dia pulang ke Jakarta. Tania mulai menghias meja dengan lilin-lilin, dia juga menata cake ulang tahun untuk Doni, tak henti-henti mulutnya bersenandung kecil. Ya, Tania sangat bahagia setelah dua bulan tak menemui kekasihnya, kini dia mendapatkan izin cuti selama dua hari, tentu dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.  Tania juga akan menyiapkan makan malam istimewa untuk mereka berdua. Dia sudah tidak sabar menunggu kedatangan Doni, bahkan dia sudah menyiapkan kado terindah untuk pria itu. Mendengar pintu apartemen terbuka, Tania segera bersembunyi di balik lemari. Namun, tiba-tiba senyumnya perlahan memudar, setelah dia mendengar suara tawa manja seorang perempuan. Tania mencoba memperjelas pendengarannya. Dia mengintip di balik lemari, Tiba-tiba matanya terbelalak. Hatinya remuk seiring runtuhnya kepercayaan terhadap Doni.  Doni memang belum sadar dengan kedatangan Tania. Wania yang bersembunyi di balik lemari itu merasakan sakit, perih, bahkan dadanya terasa sesak saat melihat perempuan yang ada dipangkuan Doni itu ternyata adalah Vanessa, sedangkan dia melihat tidak ada penolakan dari Doni. Pria itu begitu menikmati setiap sentuhan sensual dari Vanessa.  Tania menarik napas, dia menutup mulut dengan telapak tangannya menahan agar pekikan tidak keluar begitu saja. Perlahan, air mata mulai mengalir membasahi pipi Tania yang mulai memerah. Bibirnya bergetar menahan gejolak amarah yang siap meledak kapan saja. Hatinya perih melihat orang yang dia sayang b******u mesra penuh gairah dengan temannya sendiri.  Berkali-kali Tania mencoba menenangkan kegusaran di hatinya. Namun, hasilnya nihil. Dia ingin menjerit, tapi mulutnya terkunci dengan rapat. Dia ingin lari, tapi kakinya seperti tertahan beban berat. Sungguh dia tidak tahan melihat adegan itu lebih lama. Tania melipat bibirnya, menahan agar suara tangisnya tidak pecah, dia menyeka air mata yang terus menyimbahi pipinya. Meski lutut terasa bergetar, tapi dia mencoba melangkahkan kakinya dan berjalan ke arah dua sejoli yang masih bermesraan itu. Kini Tania berdiri tepat di depan mereka. Keduanya terlonjak kaget dan langsung salah tingkah. Tania  membasahi tenggorokkannya yang mendadak kerontang. Dia mengumpulkan kekuatan, menarik napas dan berkata dengan suara yang bergetar. "Jadi?" Tania  kembali menarik napas, air mata terus mngucur deras. "Ini yang kamu lakukan? Saat aku jauh dari kamu, kamu sibuk dengan dia?" ucap Tania sembari menunjuk wajah Vanessa.  "Sayang. Sayang, aku minta maaf." Doni berlutut memeluk kaki Tania.   Tania menggelengkan kepala, dia menggigit bibir untuk meredam rasa sesak di dadanya. Menarik napas dan mengangkat wajahnya ke atas.  "Sayang, aku enggak tahu kalau kamu ke sini, aku minta maaf, aku khilaf," lrih Doni.  Kedua tangan Tania sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya, kemudian di mengeluarkan bungkusan kado berwarna merah.Tania melepaskan pelukan Doni di kedua kakinya dan memberikan kado yang sudah dia siapkan untuk Doni. "Terima kasih ... untuk rasa sakit ini."  Tania memilih pergi meninggalkan mereka usai menyerahkan kado tersebut.  Doni mematung menatap kado itu di telapak tangannya, sementara kakinya masih berlutut. Bahkan Tania  terasa semakin jauh dari pandangan. Sementara itu tak ada penyesalan dalam diri Vanessa, dia terlihat sangat puas dengan kehancuran temannya sendiri.  "Tania ... Tunggu!" Doni  bangkit dan mengejar wanita kesayangannya itu. Namun Tania tetap melangkahkan kakinya, walaupun terasa berat dan mendadak sekujur tubuhnya terasa lemas, tapi dia ingin segera enyah dari hadapan Doni. Kini Doni sudah berdiri di depan Tania, dia memeluknya dengan erat. Saat tangan lemah Tania ingin membalas pelukan itu. Sekelebat bayangan saat Doni mencumbu mesra Vanessa kembali terlintas di kepala. Tania segera mendorong Doni agar menjauh darinya. "Sudah cukup! anggap kita nggak pernah ketemu," sergah Tania.  Doni meraih tangannya. "Jangan pergi, maaf sayang aku menyesal," ucapnya.  Tania menggelengkan kepala. Dia tidak ingin jatuh kembali dipelukan Doni. Pengkhianatan yang Doni lakukan tidak bisa dia maafkan. "Aku bersyukur, karena Tuhan telah menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Aku memang pernah berpikir kalau kamu adalah satu-satunya laki-laki yang aku cintai." Tania kembali menggeleng. "Sekarang tidak. Satu yang membuatku sadar, laki-laki di dunia ini bukan cuma kamu."  Doni terperangah. "Sayang ...." Tania berbalik dan melenggang pergi. Tubuh Doni  tiba-tiba ambruk di lantai, dia mengacak rambutnya sendiri, lalu berteriak, "Taniaaaa ..."  Vanessa segera keluar dan membantu Doni untuk berdiri. Dengan langkah gontai dan hati yang kacau, Doni kembali masuk ke Apartemennya, dia semakin frustasi saat melihat semua kejutan yang sudah Tania siapkan, kini  hanya tersisa penyesalan yang menyelimuti hatinya.  Saat Tania kembali, dia melihat Doni mendorong Vanessa dan mengusirnya dari apartemen. Vanessa menatap sinis pada Tania. Tania menatap hina sahabatnya itu, namun, bukannya minta maaf, Vanessa malah mendelik.  "Sayang?" Doni terkejut melihat Tania kembali untuknya. "Aku cuma mau balikin ini." Tania meletakan kunci di atas telapak tangan Doni. Doni mematung dengan tangan yang tertahan di udara, sementara kunci apartemen ada di atas telapak tangannya. "Taniaaaa!"  Tania terperanjat, kedua matanya membola, napasnya terengah, sementara peluh bertimbulan di keningnya. Dia kemudian mengedarkan pandangan, sesaat tercenung menatap jam di dinding sembari mengingat kembali mimpi itu. Dia bukan sedang memikirkan Doni, tapi pertemuan siang tadi membuat Doni hadir ke dalam mimpinya setelah sekian lama. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD