Menguntit

2184 Words
Ponsel Tania berdering, menandakan pesan singkat telah masuk, dengan sangat hati-hati, dia mengambil ponsel dari dalam tasnya, lalu ia membuka pesan singkat itu, seketika keningnya mengernyit saat tahu kalau yang mengirim pesan itu adalah Rega.  [Sayang kamu di mana?] [Lagi di motor, Mas] balas Tania singkat. [Kok bisa?] [Bisalah.] [Kamu dibonceng siapa?] [Dimas sep ...] Belum selesai pesan itu ia ketik, pesan sudah terlanjur terkirim, karena Dimas menginjak rem secara tiba-tiba, hingga membuatnya tak sengaja menekan tombol enter. "Kak, pegangan dong! Biar nggak jatuh," ucap Dimas sembari melirik Tania yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Oh iya maaf." Tania segera memasukkan ponsel ke dalam tas, dia sudah lupa dengan pesan terakhir yang dikirimnya pada Rega. Tania kemudian memegang kaos Dimas, untuk berpegangan. "Kak?" "hemh ...." "Tuh lihat!" Dimas menunjuk seorang perempuan dengan dagunya. Tania meluruskan pandangan pada seorang perempuan yang berdiri di pinggir jalan tengah bersenda gurau dengan seorang pria yang duduk di atas motor. "Mesra banget, 'kan?"  "Heemh ... aku jadi inget waktu masih pacaran sama Bayu." ucap Tania. "Kakak ih, udah tunangan sama mas Rega juga, masih inget sama mantan," sergah Dimas. Tania terkekeh. "Terus aku harus gimana, Dek?" Dia memang bingung saat diajak Dimas untuk berkeliling menggunakan motor. Tidak menyangka kalau Dimas ingin menunjukkan ini padanya. "Aku mau panas-panasin dia, kakak udah janji mau bantuin aku, 'kan?" "Iya, terus--" ucap Tania ragu, "bantuin apa nih? cie-cie-in dia?" goda gadis berbaju merah itu. "Enak aja," dengkus Dimas. Tania tertawa. "Terus apa?" "Coba kakak maju dikit," pinta Dimas. Pemuda itu kemudian menarik tangan Tania dan meminta agar Kakak sepupunya itu melingkarkan tangan di perutnya.  Tania kembali tertawa. " Astaga! Jadi, ini yang maksud kamu minta bantuan? Iya, oke, oke." Tania merekatkan duduknya, dia memeluk Dimas dari belakang, lalu menempelkan dagunya di atas pundak pria itu. "Gini, 'kan?" Dimas tersenyum dan mengangguk. Motor kemudian melaju dengan santai, Dimas mengusap punggung tangan Tania yang melingkar di perutnya itu tepat saat dia melewati perempuan yang dia maksud, Dimas lalu tersenyum menyapa gadis itu. "Hai Dian?" Perempuan dan seorang pria itu menatap Dimas seiring laju motor Dimas yang terus menjauh.  Sudah sedikit menjauh, Tania kembali terbahak, adik sepupunya itu memang ada-ada saja. "Emang kamu putusnya kapan?" tanyanya penasaran. "Kemarin, Kak, dia putusin aku, gara-gara cowok itu," jawab Dimas. "Aku cuma pengen dia tahu, kalau perempuan itu nggak cuma dia." Tania terbahak, hingga dia tidak sadar kalau Rega melihatnya dari arah berlawanan. Setiap adegan mesra yang Tania lakukan dengan Dimas terekam jelas oleh mata Rega. Rega segera membelokkan mobilnya dan mengikuti Tania, beruntung dia dapat mengejar mereka karena laju motor Dimas sangat pelan. Dia berhenti tepat di depan motor yang sedang ditumpangi Tania.  Tania segera melepaskan pelukannya, lalu turun dari motor, dia tahu kalau mobil yang berhenti di depannya itu adalah mobil Rega. "Dim, itu mas Rega," bisik Tania sembari menepuk bahu Dimas. Dimas tersenyum, mengangguk ramah pada Rega yang baru turun dari mobil. Rega tampak berang, matanya merah berkilat, tiba-tiba tanpa persiapan satu tinju berhasil mendarat dipipi Dimas hingga tubuh Dimas terjungkal. Tania terkesiap, kedua matanya membola. "Mas!" Tania mencoba melerai amarah Rega yang tiba-tiba, lalu dia membantu Dimas untuk berdiri. Saat Rega hendak memberinya satu tinju lagi, Tania berdiri tepat di depan Dimas, dia mencoba menghalau, agar tinju Rega tidak lagi mengenai Dimas, namun naas tinjunya malah mengenai Tania hingga pingsan. "Kak Tania?" teriak Dimas saat Tubuh Tania roboh kepangkuan nya. "Tania ...!" teriak Rega, dia terkejut dengan apa yang dia lakukan. Rega segera memburu Tania. "Sayang, maafin aku," lirihnya. "Mas, kita bawa kak Tania pulang," ucap Dimas, dia tak memikirkan rasa sakit yang diberikan Rega padanya, yang terpenting baginya saat ini Tania baik-baik saja. "Pulang?" Rega mengernyit. "Iya, ayo kita bawa pulang." "Jadi kamu ...." Rega mencoba mengingat siapa pemuda yang sudah dia pukul itu. "Saya Dimas, sepupunya kak Tania." Rega menurunkan kedua bahunya. "Astaga, maaf, Dim, aku tadi nggak kenal wajah kamu." Dasar Rega. Dia memang orang yang suka terburu-buru dalam mengambil kesimpulan dan menyesal belakangan. Kini mereka membawa Tania pulang, untuk segera memberi tindakan pada wanita yang sedang pingsan itu.Tanpa mereka tahu, Tania hanya pura-pura pingsan, rahangnya memang sakit akibat pukulan Rega, tapi dia tidak tahu cara ampuh apalagi untuk menghentikan aksi brutal calon suaminya itu. *** Sudah satu minggu Tania mendiamkan calon suaminya, dia merasa malas untuk menerima telepon darinya, bahkan berpapasan pun dia selalu membuang muka dari Rega. Dia memang tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Rega. Kini Tania tengah berkumpul dengan keempat teman kuliahnya, untuk sekedar melepas rindu dan mengenang masa-masa transisi dari Remaja menuju dewasa, Merry, Sasya, Chika dan Rinda, Tania tengah duduk diantara mereka dan mulai memesan secangkir kopi vanilla latte yang sudah menggoda lidahnya sedari tadi. Terhalang beberapa meja dari tempat duduk Tania, seorang pria tengah menikmati kopi, sambil menatap intens ke arahnya. Namun, kafe yang cukup ramai itu membuat mereka tidak menyadari akan sosok pria yang tengah memperhatikan mereka. Tiba-tiba seorang pria yang sama-sama berseragam perawat datang mendekat ke arah mereka. Tania segera menoleh ke arah pria itu, dia lalu bangkit dan memeluknya sekilas, begitupun dengan Merry, Sasya, Chika dan Rinda, mereka juga memeluk pria itu sekilas. "Apa kabar?" tanya Tania sembari menepuk bahu sahabatnya itu.  "Baik-baik, ya ampun, sorry telat," ucap Dion. Pria tampan nan kemayu itu, adalah satu-satunya pria di geng Tania. "Langsung pesan aja." Rinda menginterupsi. Dion pun segera melambaikan tangannya pada pelayan kafe tersebut.  Sambil menunggu, mereka mengobrol banyak hal, saling bertukar cerita dan sesekali tertawa. Membuat pria yang sedari tadi memperhatikan mereka semakin tidak tenang, taawa riang itu seolah tengah mengganggu kedamaiannya. Dia kemudian bangkit dan berjalan ke arah Tania, lalu menarik tangan wanita itu dari sampingnya. "Pulang!" ucapnya dingin. Tania terkesiap, dia kemudian mendongak. Seketika terlonjak saat mendapati tunangannya berada di tempat yang sama. "Mas Rega?" gumamnya. Dia lalu berdiri seraya bertanya, "Mas, kok bisa ada di sini?" "Aku mau bawa kamu pulang." Rega merekatkan giginya. Tania termangu menatap Rega, seketika wajahnya merengut. "Kenapa?" gumamnya. Kemudian manik hitamnya mengarah pada tangan Rega yang sedang menggenggam pergelangan tangannya dengan erat. Dia tidak pernah menyangka sedikit pun kalau Rega bisa jadi sebodoh ini dengan menguntitnya. "Ayo pulang!" Rega semakin kesal karena Tania tidak langsung mengindahkan ajakannya. "Tapi, Mas, aku lagi ngumpul," ucap Tania pelan, dia mencoba melepaskan genggaman pria itu. Namun, Rega malah menariknya dengan kasar. Tania kemudian menatap teman-temannya, sorot mata dan gerakan bibirnya menandakan dia sedang butuh bantuan agar bisa tetap di sini. Dion berinisiatif. "Dokter, nanti Tania bisa pulang bareng saya, kebetulan kita searah."  "Diam kamu!" bentak Rega geram.  Dion terperangah.  Sasya, Rinda dan Merry hanya saling lirik dan berbisik, "Dokter Rega posesif ya, ternyata," ucap Merry sambil geleng-geleng kepala. "Iya kasihan ya Tania." Sasya gadis berwajah bulat itu menimpali. Mereka mematung menatap Tania, hingga punggung Tania dan Rega menghilang dari pandangan. "Mas Rega hanya takut kehilangan Tania," ucap Rinda tiba-tiba. Dia sebagai sepupu Rega tahu betul kenapa Rega bersikap seperti itu. Seketika yang lainnya menatap Rinda penuh tanya. "Kenapa kalian lihat aku kayak gitu?" Rinda mengernyit. "Ceritain dong, Rind! Kenapa Mas kamu bisa bersikap seperti itu sama Tania, kayak yang takut kalau Tania akan selingkuh darinya," ejek Merry kesal. "Kayanya sih dia takut banget kalau Tania bareng aku," ucap Dion tak kalah kesal, mengingat bentakkan dari Rega beberapa menit yang lalu. Sementara Tania berusaha keras menahan air matanya, 'kenapa mas Rega jadi sebodoh ini? Dia kan tahu aku bareng Rinda, batinnya. Beberapa kali Tania menarik napas dan mengeluarkannya dengan kasar, kali ini dia terlihat sangat gusar. Sementara Rega hanya diam, tak merasa bersalah sama sekali, dia tetap fokus pada kemudinya. "Kling" tanda pesan singkat masuk ke dalam ponsel Tania, ia segera merogoh benda pipih itu dari dalam tasnya. Rinda :  Maafkan kami ya, Tan, kami enggak bisa bantuin kamu, semoga kamu bisa mengerti kenapa mas Rega bisa menjadi seposesif itu sama kamu. Pesan dari Rinda seolah tengah menyudutkannya, Tania sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Rega. Tiba-tiba air mata lolos begitu saja dari sudut matanya, dia segera menggasaknya dengan kasar dan menarik napas, dia terus berusaha menenangkan irama jantungnya yang berdebar akibat menahan emosi. Rega menoleh, dia kemudian menepikan mobilnya, lalu menatap Tania yang hanya tertunduk lesu. Dia mendekat dan mengangkat dagu Tania. "Maaf, Sayang, aku terlalu khawatir." Tania segera membuang muka.  *** Mia terlihat sibuk sekali, hatinya merasa jauh dari ketenangan, sesekali ia mengecek suhu tubuh Tania, sebenarnya dia berniat untuk menelpon Rega, tapi urung dia lakukan karena Tania sendiri yang melarangnya. "Ma, udahlah telpon mas Rega aja," usul Dimas. "Lagian dari tadi Kak Tania nggak sadar, dia mengigau terus," ucap Dimas yang merasa cemas melihat ibunya yang sedari tadi mondar mandir tak jelas. "Coba kamu yang telepon deh." Mia menganjurkan ponsel. "Mama aja lah aku takut kena amukan Mas Rega," ucap Dimas. Mia menghela napas, dia segera men-dial nomor Rega dari ponsel Tania. Tepat dinada sambung ketiga suara serak itu terdengar menyapanya. [Hallo ... ya sayang?] "Nak Rega, ini Tante." Suara lembut itu membuat dahi Rega sedikit mengerut. [Iya kenapa, Tante?] "Kamu bisa, 'kan ke sini? Tania sakit, semalaman dia demam tinggi." [Apa? Baik-baik, saya langsung ke sana.] Mia segera memutus sambungan telepon, sementara Rega segera keluar dari ruang praktiknya. Pria itu melajukan mobilnya menuju kediaman Mia. Hatinya resah memikirkan Tania.  "Assalamualaikum." Rega berada di depan pintu rumah Mia. "Waalaikumsalam, masuk Mas!" Dimas segera membukakan pintu. "Di mana Tania?" "Di kamar." Dimas berjalan lebih dulu yang langsung di ikuti Rega. Mia tengah berdiri di depan pintu kamar gadis itu. Rega mengangguk ramah dan masuk ke dalam kamar Tania.  "Tante, sejak kapan Tania sakit?" tanya Rega meletakkan punggung tangannya di kening Tania. "Dari kemarin sore, mukanya udah pucat banget, kaya yang banyak pikiran, tante ajakin makan dia ngak mau, katanya sakit kepala mau tidur aja."  "Kenapa tante baru ngasih tahu saya?" tanya Rega. "Kak Tania yang larang kami menghubungi mas Rega, mungkin dia takut mas Rega khawatir," sela Dimas. Rega mengangguk. Dia segera mengeluarkan beberapa alat dari dalam tas nya, kemudian dia memeriksa keadaan Tania. Lalu, Rega merogoh ponsel dari saku jasnya. dia menelepon bagian laboratorium di rumah sakitnya. "Hallo ... Di, kamu bisa ke sini untuk ambil sampel darah Tania. Saya share lokasinya ya, ditunggu sekarang!" ucapnya tanpa menunggu jawaban di sebrang sana, dia langsung menutup sambungannya dan fokus lagi pada Tania yang terkulai lemas di tempat tidur. "Sayang, hei ... ini aku," ucap Rega sambil mengelus pipi merah Tania yang panas. Hatinya sedikit mengiba. Tania tidak begitu menyadari kedatangan Rega. Rega kemudian menyodorkan kertas berisi resep obat beserta beberapa lembar uang pada Dimas. "Dim, tolong kamu segera beli obatnya di apotik." "Baik, Mas." Tanpa banyak bertanya Dimas langsung keluar. "Permisi." Seseorang mengetuk pintu kamar Tania yang terbuka, pria dengan kemeja krem itu berdiri di depan kamar. "Sini Di, masuk! Langsung kamu ambil sampel darahnya," ucap Rega tanpa basa-basi sembari beringsut. Adi mengangguk lalu mendekat. Dia meletakkan punggung tangannya di kening Tania, namun Rega segera menepis tangan Adi, "Nggak usah,  'kan tadi saya udah periksa." "Maaf, Dok." Adi mengeluarkan beberapa alat untuk mengambil sampel darah. Tania meringis saat syring mengenai anterior lengannya. Tapi matanya tetap terpejam, entah dia sadar atau tidak dengan kedatangan petugas kesehatan itu. "Sudah, Dok." Pria itu mundur sembari membungkukkan tubuhnya. "Terima kasih Di, kalau hasilnya sudah keluar kamu langsung hubungi saya." "Baik Dok, saya permisi." Rega mempersilakan Adi keluar dari kamar Tania dan mengantarnya ke depan. Saat Rega ke depan dan mengobrol dengan Adi di depan rumah.  Tania terbangun. "Tante ...," lirih gadis itu lemah. "Ia, Sayang." Mia mendekat. "Tante enggak ngabarin mas Rega, kan?" tanya Tania lirih dengan mata sedikit terbuka. Sakit di kepalanya membuat pandangannya berkunang-kunang. Mia menggelengkan kepalanya pelan. "Tadi aku denger, ada suaranya di sini." Nalurinya memang merasakan kehadiran Rega, tapi dia tidak begitu yakin. "Mungkin itu rindu." Mia menggodanya agar Tania tidak curiga. Dia tahu Tania akan marah jika tahu dirinya melanggar janji. "Mungkin cuma halusinasi aku aja ya, Tante?! Please ya ,Tante, aku lagi nggak mau ketemu dia." Mia mengangguk. "Iya, Tante ambilin kamu minum ya." Mia beranjak dan mengusap puncak kepala Tania dengan lembut. Saat Mia keluar, dia terkejut, ternyata Rega sedari tadi berdiri di depan pintu. Mungkin saja Rega mendengar apa yang dikatakan Tania. Mia langsung menarik tangan Rega, dan berjalan menjauh dari kamar Tania menuju ruang keluarga. "Kita ngobrol sebentar, tapi kamu tunggu dulu di sini. Tante mau ambil air dulu buat Tania." Rega mengangguk, kemudian menghempas tubuhnya di sofa. "Mas, ini obat kak Tania." Dimas tiba-tiba berdiri di depannya. Rega meraih kantung kresek dari tangan Dimas, lalu menuliskan sesuatu pada beberapa bungkusan obat itu. "Kamu kasih ke Mama kamu, suruh Tania minum obatnya." "Baik mas." Dimas kemudian pergi. Rega bersandar di sofa dan menyangga kepala dengan kedua tangannya, kemudian pikirannya melayang, mengingat kembali kejadian kemarin. "Ga, kamu lagi nggak ada masalah kan sama Tania?" Mia mendekat dan menyodorkan segelas air mineral padanya. Pertanyaan itu bersarang di kepalanya sedari tadi. "Iya tante, kita memang lagi ada masalah." "Masalah sebesar apa, hingga membuat Tania sakit?" tanya Mia sembari duduk di sofa. "Tania cerita sama Tante?" Rega mengernyit. "Enggak sih." Mia sadar dia tak pantas mengorek-ngorek masalah keponakannya. Rega mengangguk, kemudian menenggak minumannya sampai habis. Dia tahu dia salah. Namun, menurutnya hal itu memang harus dilakukan untuk menjaga hubungannya dengan Tania. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD