sembilan belas

1210 Words
“Hei, Sayang … ada apa? Kenapa kau bicara keras padaku!” sungut Dominic tak suka jika istrinya tiba-tiba bicara dengan nada yang tinggi. “Apa kau tak paham, jika orang sedang merasakan lelah, Sayang? Lihat, putrimu begitu sangat lelah, tapi kau terus memberikan banyak sekali pertanyaan yang tak masuk akal. Tolong, sedikit saja mengerti keadaannya saat ini,” jawab Jean, menekan setiap kata yang dilontarkan olehnya. Berharap, kali ini suaminya mengerti dan paham kalau kondisi putrinya memang sedang tidak baik-baik saja. “Okay, kalau masalah perusahaan, aku salah karena sudah membahas saat sudah sampai di rumah seperti ini. Tapi, membahas pernikahannya dan Kai, apa juga menjadi masalah?” “Kita bisa bicarakan itu nanti. Tidak usah terlalu buru-buru untuk membahas sesuatu, waktu masih panjang. Makan malam saja masih belum terlaksana, bukankah bisa membicarakan hal ini nanti saat semua sudah bersantai dan dalam keadaan tenang?” “Tapi–” “Sudahlah, Mom. Percuma bicara panjang lebar pada Daddy. Tak akan pernah bisa masuk ke dalam pikirannya, sebab apa yang menurutnya harus dibahas, maka harus dibahas dan diselesaikan,” tegas Lexy menangani agar kedua orang tuanya itu tidak bertengkar karena membelanya. “Daddy menanyakan perihal pernikahanku dan Kai, bukan? Kenapa harus bertanya padaku?” “Jelas dong, Sayang. Karena, kalian yang akan menikah. Jadi, Daddy bertanya padamu.” “Baik. Lalu, apakah jawabanku nantinya akan dipikirkan baik-baik oleh Daddy?” “Maksudnya?” “Selama ini, apapun yang menjadi keputusan Daddy terhadapku, itu semua atas keputusan sendiri bukan? Tanpa, ada persetujuan dariku. Jadi, untuk apa lagi mempertanyakan hal yang Daddy sendiri sudah tahu jawabannya? Aku bahkan tak punya hak bicara untuk masa depanku. Jadi, terserah kalian saja mau bagaimana, aku tidak peduli.” “Kepalaku sudah hampir pecah karena banyak sekali masalah yang hadir. Dan, aku lelah jika harus menambah masalah yang baru. Aku ikuti saja apa yang Daddy inginkan, sebab katanya semua keputusan yang diambil itu adalah untuk kebaikanku, bukan?” “Tapi, Sayang … semua memang untuk kebaikanmu dan putramu juga.” “Iya, aku tahu. Maka dari itu, karena semua demi kebaikan bersama, aku mengikuti saja apa yang diinginkan dan direncanakan oleh Daddy. Dan, jangan lagi menanyakan hal yang sama padaku. Aku tak ingin mendengarnya lagi, karena semua hal mengenai pernikahanku dan Kai, sudah ku serahkan pada Daddy dan Kai. Jadi, aku teriak beres saja,” jawabnya tak minat untuk melanjutkan obrolan tak menyenangkan itu. “Sekarang, aku tak ingin lagi mendengar apapun, baik itu membahas pekerjaan atau pernikahan. Aku hanya ingin bersantai di rumah, bersama keluarga. Sudah cukup.” “Sayang, lebih baik kamu pergi. Berikan aku dan putri kita waktu untuk bersama.” Jean menatap lekat, memberikan isyarat melalui pandangan mata yang diarahkan ke kiri, menandakan bahwa dirinya benar-benar meminta agar suaminya itu pergi dan tak mengganggu. Dominic menghela nafas panjang, menggelengkan kepalanya melihat sikap kedua wanita yang dicintainya itu sungguh menyebalkan. Tapi, atau mungkin yang menyebalkan itu adalah dirinya? Entahlah, hanya mereka yang tahu dan paham dengan keadaan ini. Satu sama lainnya, saling memiliki peran, tanpa ada yang mau mengalah atau apapun. Jadi, percuma juga berdebat, karena tak akan mendapatkan hal kebaikan apapun di dalamnya. Dominic melangkah pergi dan Alexy kembali berpelukan dengan Mommynya. Mereka benar-benar hanya diam tanpa kata, namun seakan memahami apa yang dirasakan. Kedua wanita beda generasi itu hanya saling memeluk erat, memberikan kekuatan dan kehangatan di dalamnya. Itu adalah cara yang paling sederhana untuk mengetahui kegundahan hati masing-masing. “Aku tahu, kamu lelah, Sayang. Istirahat jika merasa lelah,” ucap Jean lembut, membelai kepala putrinya dengan penuh cinta dan kasih sayang. “Bagaimana caranya aku beristirahat, Mom? Hati ini yang merasa lelah, aku berusaha untuk tetap tenang. Tapi, nyatanya tidak bisa. Semuanya terasa sangat menyesakkan d**a, Mom.” Jean kembali membelai kepala putrinya dan mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Hatinya sungguh sakit mendengar apa yang dikatakan oleh Alexy, ini adalah kedua kalinya ia melihat anaknya merasa sangat lelah bahkan terpuruk karena keadaan. Dulu, ia begitu marah pada diri sendiri karena tak bisa mencegah putrinya saat menjalin cinta, dan sekarang ia pun marah pada diri sendiri karena terlalu memaksakan wanita muda rapuh itu, untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh keluarganya. Bohong kalau Jean tak merasakan juga rasa sesak itu, karena ia pun merasakan hal yang sama. Sesak, melihat anak yang tak berdaya. Selalu berharap, kalau anaknya itu bisa kembali bangkit dengan harapan sebuah kebahagiaan, tapi pria mengerikan itu datang dan mengacaukan segalanya lagi. Amarahnya tertahan, karena tak ingin jika putrinya itu tahu bahwa dirinya pun merasa terluka. Sebab, Alexy pasti akan merasa semakin hancur jika wanita yang paling disayang olehnya itu mengalami guncangan yang sama atau bahkan lebih parah darinya. “Sayang, maafkan jika kamu harus mengalami banyak hal menyakitkan. Mungkin, ini kesalahan Mommy atau Daddy di masa lalu. Maaf, karena kamu yang menderita karena semua ini.” Alexy menggeleng di dalam dekapan Mommynya, “Tidak. Bukan Daddy atau Mommy yang salah, tapi memang keadaan yang membuatku menjadi seperti sekarang ini. Mungkin, memang harus melalui proses ini untuk meraih kebahagiaan untuk diri sendiri dan anakku, Mom.” “Lexy, Mommy tahu kamu itu wanita yang kuat. Kamu pasti bisa melewati semua ini dengan baik, Sayang. Ini hanya sebuah proses, pasti hasilnya akan memuaskan. Kamu, jangan pernah takut untuk melangkah maju, hadapi siapapun yang ada di hadapanmu. Ada Mommy dan Daddy, yang akan selalu berada di belakangmu. Kami, akan menjagamu dengan baik, agar tak ada lagi pria macam seperti itu yang mengganggu hidupmu, Nak.” “Mom, jika aku tak ingat dengan putraku, maka sudah aku bunuh lelaki b******k itu dengan tanganku sendiri,” tegasnya penuh penekanan, melepaskan pelukan Jean menatapnya dengan lekat. Jean melihat sorot mata putrinya itu berbeda, tadi penuh dengan luka tapi kali ini justru sebaliknya. Sorot mata Alexy penuh dengan kebencian dan seakan amarah berkumpul menjadi satu di matanya itu. Jean sendiri merasa takut ketika melihat anaknya dalam kondisi mental yang selalu berubah-ubah. “Sayang, kamu harus bisa kendalikan dirimu. Jangan seperti ini, tidak perlu membunuh menggunakan tanganmu, Nak. Cukup serahkan semua ini pada Daddy dan Kai, biarkan mereka yang akan membereskan semua kekacauan ini, Sayang.” “Tapi, Mom … aku lelah terus diancam dan diganggu, aku ingin membunuhnya.” Lexy menekan setiap kata yang dilontarkan, tubuh Jean mendadak meremang mendengarnya. Ia merasa kalau Lexy benar-benar masih butuh pengobatan untuk hati dan mentalnya. Jean merasa khawatir, jika dibiarkan maka kondisi Alexy akan semakin parah. Mental dan hatinya sudah rusak, ia dan suaminya harus bertindak lebih cepat agar kerusakan di dalam diri putri mereka, pengobatan yang dijalani ternyata belum membuat wanita muda itu sembuh. Karena, dokter memang selalu mengatakan harus tetap menjalani terapi, agar mental Lexy bisa kembali baik-baik saja seperti sebelumnya. Dominic dan Jean hanya menginginkan mental Lexy kembali baik, tak peduli dengan ingatan yang sampai saat ini masih belum juga sepenuhnya diingat, karena mereka justru berharap agar putrinya itu hilang ingatan secara permanen. Semata-mata, karena gak “Wah, asik banget nih. Lagi pada cerita apa?” tanya Darren yang tiba-tiba datang, kembali terganggu karena ulah lelaki menyebalkan di rumah itu. Tadi, Dominic dan sekarang datang pengganggu yang lain, Darren. “Kok serius banget keliatannya? Aku boleh gabung tidak?” “Kamu darimana saja, Darren? Dua malam tidak pulang ke rumah, kamu ini masih ingat punya orang tua tidak, sih!” sentak Jean menatap nyalang putra bungsunya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD