“Mom, aku lelah sekali,” keluhnya manja. Lexy memang terlihat sangat manja jika bersama Jean, sebab ia akan selalu menjadi anak perempuan kesayangan, karena memang satu-satunya di rumah besar itu.
“Ayo, kita masuk dulu,” ajak Jean tersenyum manis dan menggandeng tangan anak perempuannya itu.
Jean menggenggam tangan Lexy, memberikan kehangatan melalui genggaman tangannya. Wanita paruh baya itu melihat wajah anak sulungnya yang sangat lelah, sudah pasti karena pekerjaannya sangat banyak, seperti apa yang dikatakan oleh Dimitri beberapa waktu lalu. Kalau adik mereka tak mengerjakan tugasnya dengan baik selama menjadi CEO Aleria Crop.
“Duduk dulu, Sayang.” Jean mengajak putrinya untuk duduk tepat di sampingnya, ia juga sudah meminta air pada pelayan.
“Cucuku, kemarilah naik dan duduk di sebelah, Nenek,” titahnya membuat anak lelaki itu naik ke atas sofa dan duduk di samping wanita paruh baya itu.
“Maaf, Nyonya. Ini air minum untuk Nona Alexy.”
“Terima kasih.”
Pelayan mengangguk hormat dan berlalu dari hadapan mereka bertiga.
“Mommy, lelah ya? Aku bantu pijat, mau?” tawar anak lelaki itu terlihat sangat menyayangi dan mencintai ibunya.
“Tidak usah, Sayang. Mommy hanya lelah sedikit, jadi tak masalah.”
“Tapi, aku mau jadi lelaki hebat, Mom. Seperti Papa, selalu berusaha menjadi lelaki hebat untuk Mommy. Ya kan?”
“Cucuku, kamu bicara apa? Siapa yang mengajarkan hal itu? Kamu, hanya punya Ayah Kai. Tidak punya papa,” tegas Jean memberikan pengertian pada anak lelaki itu.
“Tapi, Nenek … kata Papa, aku hanya punya satu Papa, yaitu Papa Leo.”
“Felix!” tegur Alexy lepas kendali, entah ia merasa muka mendengar nama itu disebut tepat di hadapannya.
Anak lelaki itu terkejut, beringsut mundur dan bersembunyi di balik tubuh Neneknya. Ia merasa takut karena ini pertama kalinya dibentak oleh Lexy, yang notabenenya selalu memanjakan. Jean sendiri merasa terkejut karena anak perempuannya bisa lepas kendali seperti itu.
“Berhenti memanggilnya Papa! Karena, lelaki itu bukan Papamu. Ingat, kau hanya punya Daddy Kai, tidak ada yang lain,” tegas Lexy penuh penekanan.
Mata Jean melebar mendengar Lexy yang begitu tegas pada cucunya. Biasanya, wanita muda itu akan selalu lembut, tapi kenapa hari ini sungguh berbeda. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada wanita muda itu, mungkin tekanan dari sana dan sini membuatnya lepas kendali.
“Lexy, tenangkan dirimu,” tegur Jean menatap lekat anak perempuannya yang juga tengah menatap dirinya, ia menggelengkan kepala dan memberikan isyarat pada wanita muda itu agar tidak keterlaluan pada anaknya.
“Tapi Mommy, kata Papa–”
“Felix! Berhenti memanggilnya, Papa! Sungguh Mommy marah dan tak suka!” tegasnya lagi, namun kali ini menaikkan suaranya satu oktaf. Hal itu semakin membuat anaknya merasa takut dan bersembunyi di balik tubuh Jean.
“Pengasuh!” teriak Jean yang tak ingin ada masalah antara anak dan cucunya. Apalagi, melihat Lexy yang sama sekali tak bisa menahan dirinya, lalu cucunya juga yang selalu mengatakan hal sama. Wajar saja, namanya juga anak-anak, apalagi Leo sudah menanamkan racun di dalam pikiran anak lelaki itu.
“Iya, Nyonya.”
“Tolong, ajak cucuku bermain di tempat lain. Aku ingin bicara dengan Nona Alexy.”
“Baik, Nyonya.”
Pengasuh sigap membawa anak lelaki itu pergi dari hadapan Lexy dan Jean. Ibu satu anak itu menyandarkan punggung pada sofa empuk sambil memijat kepalanya yang terasa berdenyut kencang. Wanita paruh baya di sebelahnya, menatap nanar wajah anaknya yang terlihat banyak sekali memikirkan banyak hal.
“Lexy, ada apa? Kenapa tidak bisa mengendalikan diri seperti itu, Sayang? Kau, sudah membuat cucuku takut, Sayang,” ucap Jean hati-hati, menyentuh tangan Lexy yang satunya dan menggenggam erat.
“Aku benar-benar sangat lelah, Mom. Entah apa yang sudah dilakukan pria b******k itu, sampai-sampai membuat anakku menjadi seperti ini. Aku tak suka dan semakin membenci pria itu.”
“Sayang, kamu harus tenang. Mommy yakin, kata-katanya tadi hanya sebuah celotehan anak kecil saja, tidak lebih. Kamu harus bisa mengendalikan diri, Sayang. Jangan seperti ini, kasihan anakmu,” lirih Jean, suaranya parau.
Sungguh Jean merasa sedih melihat keadaan yang semakin kacau seperti itu, ia sendiri sama sekali tidak pernah berpikir kalau keadaan semakin kacau seperti ini.
“Bagaimana aku bisa tenang, Mom? Pria b******k itu, sudah meracuni pikiran putraku. Aku tidak tahu pasti, apa yang sudah dikatakan dan ditanamkan olehnya di dalam pikiran putraku. Kalau sudah seperti ini, aku harus apa? Putraku sendiri, seakan menantang dan lebih membela pria kurang ajar itu daripada aku, ibunya sendiri.”
Sorot matanya penuh kesedihan dan kekecewaan, Jean bisa melihat jelas semua itu. Ia pun ikut sedih melihat anaknya yang seakan hancur seperti itu. Tak tahu lagi, apa yang harus dilakukan, tapi ibu tiga anak itu merasa harus lebih bisa membicarakan hal ini dengan serius pada suaminya.
“Sudah, tenangkan dirimu dulu. Jangan memikirkan hal-hal yang membuat mood buruk. Mommy yakin, putramu masih bisa kita atasi. Kamu tenang saja, Mommy tak akan memberikan celah pada pria b******k itu untuk mengacak-acak kehidupan kalian yang sudah bahagia dan tenang.”
“Sini,” titah Jean merentangkan kedua tangannya, meminta putrinya untuk masuk ke dalam dekapannya.
Alexy yang memang merasa benar-benar lelah dan tak berdaya, seketika masuk ke dalam dekapan Jean. Memejamkan mata sambil merasakan kehangatan yang diberikan oleh wanita paruh baya itu. Memang, hanya ibu dari tiga anak itu yang mampu menenangkan pikiran dan hatinya dikala sedang kacau.
Jean sendiri tak banyak kata, hanya memberikan pelukan erat. Ia tahu, saat ini yang dibutuhkan oleh putrinya itu bukanlah kata-kata. Melainkan sebuah dukungan, maka dari itu, ia juga sangat hati-hati jika bicara dengan putri satu-satunya itu, sebab emang kondisinya sedang tidak baik-baik saja.
“Lexy, kamu sudah pulang,” sapa Dominic tiba-tiba datang diwaktu yang tidak tepat. Sebab, anak dan ibu sedang memberikan kekuatan satu sama lainnya, pria paruh baya itu justru datang tiba-tiba.
Jean menatap suaminya sambil menggelengkan kepalanya pelan, memberikan isyarat untuk tidak bicara hal apapun. Tapi, rupanya pria paruh baya itu tak paham dan justru ikut duduk di hadapan mereka. Wanita paruh baya itu merutuki suaminya yang tetap berada di antara mereka, kesal tapi tak mungkin juga mengusir suaminya untuk pergi.
Beruntung, saat ini Lexy tidak menangis, karena memang merasa lelah dan tak bisa menangis. Wanita muda itu, hanya sedang butuh pelukan, bukan ingin menangis di dalam pelukan.
“Lexy, bagaimana keadaan di kantor?”
Lexy yang berada di dalam dekapan Jean merasa jengah, karena pertanyaan yang dilontarkan oleh Dominic. Merasa, kalau lelaki itu ternyata tidak paham dengan aturan yang selalu diinginkan oleh wanita muda itu. Ibu satu anak itu, tak ingin jika ada pembasahan mengenai pekerjaan, saat sudah sampai di rumah. Merasa kalau, masih banyak pembahasan lain selain membahas pekerjaan.
“Dad, apa tidak ada pembasahan yang masuk akal selain pekerjaan? Heum? Aku sungguh merasa lelah, pulang ke rumah untuk beristirahat. Bukan membahas pekerjaan, tapi kenapa setiap kali aku pulang, yang dibahas itu selalu mengenai pekerjaan? Tak adakah sedikitpun pikiran untuk menanyakan bagaimana kabarku hari ini? Atau keadaanku? Atau kondisiku? Tidak kan?” jawabnya dingin menatap Dominic tanpa ekspresi.
“Aku hanya ingin saat pulang ke rumah, tak ada lagi pembahasan mengenai pekerjaan, itu saja! Apa Daddy tak pernah paham dengan permintaan aku yang satu ini? Padahal, cukup mudah kok!”
Jean menghela nafas, ia melihat jelas emosi anaknya yang berapi-api. Memang salah suaminya juga, padahal Alexy sudah sering mengatakan hal yang sama. Tetapi, pria itu selalu memburunya dengan pembahasan pekerjaan saat sudah sampai di rumah.
“Lexy, Daddy hanya ingin tahu saja, apakah berkas yang menumpuk itu sudah selesai dikerjakan.”
“Kalau ingin tahu, kenapa tidak datang saja ke perusahaan dan lihat sendiri? Sudahlah! Aku hanya ingin tenang tanpa membahas apapun. Aku sedang bersama Mommy, lebih baik Daddy pergi saja dan jangan menggangguku!” usir Lexy tegas. Pria paruh baya itu melotot sempurna karena sudah diusir oleh putrinya sendiri.
Sebenarnya, Dominic tidak kaget dengan sikap anaknya yang seperti itu, sebab memang selalu seperti itu ketika bersama dengan Jean. Tapi, melihat wajahnya yang mengeras dan tatapan tanpa ekspresi, membuatnya yakin ada yang tidak beres dari putrinya itu.
Pria tua itu mengalihkan pandangannya pada Jean yang sudah menatapnya tajam, memberikan isyarat untuk pergi, namun lagi-lagi Dominic tak paham akan hal itu. Lexy kembali masuk ke dalam dekapan ibunya, tak peduli dengan tatapan pria itu yang mengintimidasi.
“Tapi, Sayang. Daddy juga ingin membicarakan perihal rencana pernikahanmu dan Kai. Daddy rencananya ingin mempercepat pernikahan kalian. Jadi, dalam waktu dekat ini akan segera dilaksanakan. Bagaimana? Kau setuju kan, Sayang?”
“Dominic!” tegur Jean agak sedikit keras. Wanita paruh baya itu juga lama-lama ikut kesal, karena suaminya itu terus bicara tanpa bisa melihat keadaan putrinya seperti apa.