Cosmic Latte

2424 Words
Laura berteriak ketika dirinya berada di sebuah tempat yang hanya ada dirinya, rasa malu membakar wajahnya. Ia putus asa! Sudah satu minggu ia tak berkerja, hanya berpura-pura saja di depan Dasha. Lalu, bagaimana caranya ia mencukupi kebutuhan mereka atau membayar hutangnya? Hutang yang sebenarnya sudah begitu lama, sebelum ia bertemu dengan Dasha. Hutang dengan bunga tinggi itu seolah tak ada habisnya, terasa mencekik Laura. Sebenarnya, yang Laura pikirkan adalah Dasha. Perempuan itu tidak boleh merasakan kesakitan lagi. Laura ingat, pertama kali ia bertemu Dasha, perempuan itu cukup kurus, terlihat lemah, hidup sendirian di dunia yang keras dengan umur yang masih terbilang belia itu sangatlah menyentuh hati Laura. "Damn it!" Laura berseru kesal, apa yang harus ia lakukan ketika orang-orang itu mendesaknya karena telat melakukan pembayaran? Bisa-bisa mereka datang dan menghancurkan isi apartemennya. "Tidak, itu tidak boleh terjadi!" Laura bergumam menyemangati dirinya sendiri, ia tak boleh kalah dengan keadaan. Sedangkan di sisi lain, Damian yang sudah terlanjur mendengar percakapan antara sang resepsionis dan Laura, sebenarnya ingin memberikan satu pekerjaan untuknya. Karena menurutnya, seseorang tidak akan semaksa itu jika ia tidak terdesak oleh sesuatu. Damian melirik si resepsionis. "Lain kali, jika ada orang yang tampak terdesak, tolong dia selagi kau mampu. Aku tahu kau juga tahu kalau ada beberapa pekerjaan yang membutuhkan karyawan baru, tidak harus menunggu pihak personalia, bukan?" tuturnya dan diangguki perempuan yang bekerja sebagai penerima tamu itu. Damian kemudian melanjutkan langkahnya dan diikuti Adrian dari belakang. Saat dalam perjalanan, Adrian melirik kaca spion dan melihat Damian sedang mengernyit seolah sedang memikirkan sesuatu, entah apa itu. "Besok kita kembali ke Moscow, 'kan, Damian? Kalau memang begitu, aku akan segera mengurus keberangkatannya," ujar Adrian dengan tatapan kembali fokus ke jalan di depan.. "Hm besok. Urus saja semuanya." Sebenarnya, memang ada sesuatu yang bercokol di pikiran Damian. Tentang Dasha. Entah kenapa, perasaan penasaran terhadap gadis itu mencuat kembali ke permukaan hatinya. Tatapan gadis itu terlihat berbeda di matanya. "Ada yang kau pikirkan?" tanya Adrian sembari memutar roda kemudi. "Tentang Dasha," ujar Damian pelann. "Aku tidak bisa menjelaskannya, hanya saja, dia terlihat seperti ...." Damian tak melanjutkan ucapannya, ia bingung ingin mendeskripsikan perasaannya sepergi apa. Alis Adrian turun lalu dahinya mengernyit, ia tersenyum kecil. "Jadi, apa kau memang harus kembali besok?" Tanyanya, Adrian tahu jelas apa yang terjadi dengan Damian sekarang, pasti pria itu ingin bertemu Dasha, lagi. Damian menghela nafas, ia tertarik pada Dasha, gadis itu seolah punya magnet kuat di tubuhnya. Kalau ia lebih lama di kota ini hanya karena rasa penasarannya itu, dan ada kemungkinan nantinya akan terjawab, bisa saja hatinya jatuh seperti pada Annie dulu. Kalau sudah begitu, Damian jelas mengikuti hatinya, hanya saja ia sedikit trauma karena masa lalunya. Tidak. Damian memutuskan untuk tidak tinggal lebih lama, apa-apa yang ia harus urus langsung di cabang perusahaannya juga telah selesai, ia kemari hanya untuk itu. "Ya, kita pulang besok." ***** Yuna menggerutu sembari membanting pintu rumahnya, ia masih kesal pada Dasha. Perempuan itu mengapa selalu saja menyebalkan?! Bahkan melihat Dasha berjalan saja sudah membuatnya kesal! "s****n," umpatnya melangkah ke arah tangga sembari menghentak-hentakkan kakinya pada setiap anak tangga persis seperti anak kecil yang merajuk. "Hey, Yuna!" Yuna menoleh ketika seseorang memanggilnya, kemudian matanya melebar. "Rein?! A--kau berangkat sekarang?" serunya kaget menuruni anak tangga mendekati pria manis yang tadi memanggil Yuna. "Yeah," jawab Rein sembari memakai ranselnya di punggungnya. "Lalu kenapa kau disini?" Tanya Yuna saat dirinya sudah di hadapan Rein. "Ibuku ada menitipkan sesuatu ke ibumu, jadi harus kuantar dulu," jawabnya. Rein adalah sepupu Yuna, mereka seumuran, hanya saja mereka berada di sekolah yang berbeda, Yuna di sekolah elit yang dipenuhi dengan para siswa yang tentunya elit juga, sedangkan Rein berada di sekolah biasa. "Mm okey." Yuna manggut-manggut. "Sebenarnya, apa alasanmu pindah sekolah? Kenapa juga harus jauh sampai ke Moscow?" Tanyanya mendongak menatap Rein dengan tangan terlipat di d**a. Rein tersenyum kecil. "Aku ingin melihat dunia yang baru, dan juga ... ingin mandiri," sahutnya mengangkat kedua bahunya pelan. Yuna terpesona. Ya, terpesona dengan wajah manis dan tampak teduh itu. Rein memang terkadang terlihat tenang, dan kadang juga terlihat kacau. Ia memiliki waktunya sendiri untuk bersikap. Karena itulah Yuna suka melihatnya. Andai Rein bukan sepupunya, mungkin pria itu sudah ia kencani. "Ah tidak, aku lebih tertarik pada pria dewasa," gumam Yuna yang hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri.Jelas ia tidak bisa menyukai sepupunya sendiri. "Oh ya, bagaimana dengan seminarmu? Katamu akan ada pria tampan, hm? Damian Declavroix, ya?" tanya Rein bersiap akan melangkah. Yuna membuang nafas kasar, ia jadi kesal kembali. "Hm, seharusnya! Tapi ada yang menyebalkan! Kau tahu, murid mis--" "Yuna." Rein memotong pembicaraan Yuna. Ia tahu, pasti Yuna akan membicarakan murid miskin yang ia anggap sebagai musuh sejatinya itu. "Sampai kapan kau akan memusuhinya seperti itu? Kau harus mengakui kalau dia memang lebih cantik darimu, itu kenyataannya." Yuna mengeram kesal. "Kau bahkan belum pernah bertemu dengannya, Rein!" Ya, Rein memang belum pernah bertemu dengan Dasha, mengetahui namanya saja tidak. "Bukannya kau sendiri yang bilang kalau dia itu pura-pura cantik? Jelas saja dari perkataanmu itu sebenarnya dia adalah perempuan yang cantik, bukan?" Itu memang realitanya. "Tidak perlu bersikap buruk ke orang lain, Yuna. Kalau kau kalah dalam satu hal, mungkin kau kuat dalam hal yang lain." "Kalau begitu apa, Rein? Dia cantik, dia pintar!" "Bagaimana dengan kekayaan?" Ucapan itu membuat Yuna yang sudah tegang urat menjadi lemas. "Bersyukurlah terhadap apa yang kau punya, kalau kau merasa kalah pada orang lain, kejar! Bukan malah mencemburui dan menjelekkannya. Bagiku, malah kau yang terlihat buruk, Yuna." Yuna ternganga, dahinya mengernyit, ia tak suka dengan kalimat Rein barusan. "Diamlah! Kau tak perlu ikut campur urusanku, tuan sok benar!" Teriaknya kemudian berbalik dan berlari menaiki tangga. Rein hanya terkekeh mendengarnya. Ia yakin suatu saat Yuna akan paham dan menyesal pernah seperti tadi di masa yang akan datang. Dan bila saat itu tiba, Rein sudah menyiapkan segala bentuk tawa untuk menertawakan kekanakan Yuna saat dulu. *** Dasha baru saja keluar dari kamarnya ketika Laura masuk ke dalam apartemen dengan wajah lesu dan pakaian yang tampak kusut.Terlihat tidak punya semangat sama sekali. "Ada apa denganmu?" tanya Dasha berjalan mendekat ke Laura lalu memegang sebelah bahunya dengan mata memperhatikan dari atas sampai bawah. Laura melirik Dasha sebentar sebelum menarik nafasnya dalam, ia harus terlihat tidak mencurigakan di hadapan Dasha. "Tidak apa-apa, aku hanya lelah, begitu banyak pengeluaran perusahaan, jadi pekerjaanku menumpuk." Laura berdiri tegak kembali, seolah perkataannya tadi benar. "Kau tidak lembur?" Laura tersadar! Ia salah bicara! Astaga, kenapa dia tak memikirkan sampai kesitu?! "Bukannya kalau kau memiliki banyak pekerjaan, kau akan lembur dan pulang tengah malam?" Dasha memiringkan kepalanya. Laura tertawa hambar. "Haha, iya benar. Tapi, aku memutuskan mengerjakannya besok saja, hari ini kepalaku sedikit pusing, itu kenapa tadi aku terlihat lesu," alasannya dengan mimik yang dibuat-buat lelah, ekspresi kuatnya tadi lenyap. "Ya sudah, kau harus istirahat." Dasha melirik ke arah jam dinding. "Dan aku harus pergi bekerja sekarang," lanjutnya sembari mengikat rambutnya menjadi ponytail. Laura memperhatikan Dasha dengan cermat. "Dengan kau berpenampilan seperti itu, tidak ada lelaki yang menggodamu, kan?" tanyanya serius. "Berpenampilan seperti apa? Aku biasa saja," ujar Dasha melirik penampilannya yang memang biasa saja, tidak ada yang istimewa dari celana jeans dan kaos yang dipakainya. Pakaian Dasha memang sederhana, namun Laura bisa melihat jelas aura yang terpancar dari perempuan itu. Aura yang mampu mengikat beberapa pria hanya dengan sekali pandang. Dia seharusnya iri pada Dasha perihal kecantikan, tapi kenyataannya tidak, ia malah bangga pada perempuan yang sudah ia anggap adiknya itu. "Kau terlalu bodoh untuk menyadarinya, ya," ujar Laura terkekeh sembari mengacak rambut Dasha. "Pergilah, aku memang harus istirahat untuk menyegarkan otak." Lebih tepatnya, memikirkan apa langkah selanjutnya yang harus ia tempuh. Dasha melirik Laura yang berjalan lesu ke kamarnya, ada yang aneh dengan perempuan itu. Namin, Dasha tak terlalu memikirkan karena seperti yang dikatakan Laura, ia hanya sedang pusing. Ya, semoga saja memang benar. *** Dasha berjalan di trotoar sembari melihat sekitarnya dimana banyak orang berlalu lalang bersamanya. Dasha adalah tipe perempuan yang suka menerka berdasarkan pengalamannya, ia memiliki jiwa yang besar. Maka dari itu, ia penasaran hal apa yang akan terjadi nanti karena akhir-akhir ini hidupnya tentram dan cukup damai. Dasha meyakini satu hal, setelah kebahagian, akan ada kesedihan yang menanti, begitupun sebaliknya. Jadi, ketika Dasha merasa senang atau damai, ia tetap berwaspada, karena setelah kedamaian, ia akan menghadapi penderitaan. Mau dibantah seperti apapun, tapi hal itu memang benar adanya, menurut dirinya. Dasha mendorong pintu kaca dari sebuah cafe dimana ia bekerja, suara bel berdenting dan ia melangkah masuk ke dalam ruangan khusus waitress, ia mengganti pakaiannya dengan pakaian pelayan. "Dasha, antar ini ke meja nomor sepuluh." Dasha menoleh dan mengangguki perintah itu. "Baik." Dasha terus berjalan kesana-kesini seiring bertambahnya pembeli, dan akan semakin sibuk ketika malam tiba. Ini melelahkan, bohong kalau Dasha bilang hal ini menyenangkan, namun kalau tidak bekerja, ia akan jadi apa? Membeli sesuatu dengan uang yang ada saja terbatas apalagi sama sekali tidak punya uang. "Yuhu ... primadona kita sedang bekerja mengais uang, yah," suara ledekan itu berasal dari beberapa perempuan yang baru datang dan duduk mengelilingi satu meja bernomor tujuh. Dasha diam tak menggubris, ia tak peduli. Berbanding terbalik dengan teman-teman kerjanya yang terlihat kesal. Pasalnya, beberapa perempuan itu cukup sering ke cafe ini, bukan hanya untuk bersantai, tapi juga untuk menertawakan Dasha. "Apa-apaan mereka? Dasar orang kaya, suka sekali merendahkan orang lain," rutuk seorang perempuan yang berpakaian sama dengan yang Dasha kenakan sekarang, ia Joy. "Hey Joy, kau malah mendoakan mereka," celetuk seorang pria dengan janggut di wajahnya. "Benar! Lagipula, tidak semua orang kaya seperti itu," timpal yang lainnya. Sebelah alis Joy terangkat. "Memang, karena mendoakan mereka sama saja mendoakan diriku sendiri," ujarnya mendongakkan dagunya, begitu sombong seolah ucapannya barusan adalah ucapan dewa. "Kalau begitu, kau memuji mereka, ya kan?" "Tidak, aku mengejek," sahut Joy santai. "Hah? Mana yang benar, Joy?" Mereka tertawa terbahak karena ini. "Sudah-sudah, bagaimanapun mereka tetap harus dilayani," ujar seseorang yang mengambil alih melayani para gadis itu. Dasha melirik ke arah mereka, tiga perempuan itu adalah teman dekatnya Yuna. Terkadang mereka mampir ke cafe itu hanya untuk meledek Dasha. Ia kadang heran, apa gunanya mengganggunya? Toh Dasha sama sekali tidak terpengaruh, ia malah merasa apa yang mereka lakukan hanya membuang-buang waktu dan tenaga. "Dasha," panggil Joy. "Ya?" Sahut Dasha dan berbalik. Joy tersenyum. "Tidak perlu dipedulikan orang-orang yang seperti itu, suatu saat kau akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan apa yang kau alami sekarang, dan saat itu tiba, jangan lupakan aku loh ya, haha!" Tuturnya diakhiri tawa membahana. Dasha mengernyit sebentar sebelum tersenyum kecil. "Yah, semoga." Puluhan menit kemudian, ketika malam mulai tiba, para perempuan tadi mulai beranjak meninggalkan tempat saat teriakan pelan dari Joy terdengar. Dasha yang duduk disamping Joy mendongakkan kepalanya untuk melihat apa yang membuat perempuan itu berteriak. "Tampannya!" Seru Joy menangkup kedua pipinya, ia berdiri dan terus melihat ke arah dua pria yang baru masuk ke dalam cafe mereka. Dasha mengerjap mengikuti arah pandang Joy, ia mengenali dua pria itu! Itu adalah Damian dan asistennya Adrian. Jadi tak heran Joy berteriak seperti itu karena memang dua pria itu begitu tampan dan mampu menyita perhatian, bahkan beberapa perempuan kini melirik ke arah mereka. Sedangkan tiga perempuan tadi duduk kembali ketika menyadari siapa yang barusan datang, pandangan mereka lurus menatap Damian dan Adrian. "My God, itu Damian Declavroix, kan? Dia, di sini?" gumam Gritte, seseorang dari mereka. "Yuna akan heboh kalau tahu hal ini," sambungnya sembari mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. "Tapi, kau bilang setelah ini kau punya urusan lain, Gritte?" Celetuk temannya yang lain. Gritte terdiam, kemudian menghela nafas. "Oh iya, aku lupa," lirihnya pelan, ia melirik Damian lagi. "Ya sudahlah, lupakan, tidak usah mengabari Yuna, kita pulang saja," lanjutnya karena sadar urusannya yang lain itu penting. Dua teman Gritte mengangguk setuju, mereka juga memiliki urusan lain dan itu penting, tak sempat mengurusi hal-hal yang sebenarnya lebih menguntungkan teman mereka, alias Yuna. Kembali ke Joy. Perempuan itu masih terkagum-kagum, terutama pada lengan kekar Damian yang terlihat karena kemeja yang digulung sampai siku, itu terlihat seksi di matanya. Sedangkan Dasha hanya menghela nafas melihatnya sebelum masuk ke dapur. "Joy, berikan buku menu pada mereka!" Tiba-tiba seseorang memerintah Joy sekaligus mengagetkan perempuan itu. "Kau bercanda?!" serunya tak terima, bisa-bisa ia gemetaran disana. "Aku saja." Seorang pria dengan sebuah buku menu di tangannya melangkah lebih dulu, membuat Joy menghela nafas lega. Joy kemudian berbalik, hendak mengajak bicara pada Dasha, namun ternyata Dasha sudah tidak ada. "Kemana dia?" gumamnya melihat ke kanan dan kiri sebelum berjalan ke arah dapur. Setelah belasan menit. Ketika pesanan Damian dan Adrian sudah selesai, kini tugas waitress yang mengantarnya. Hanya Joy dan Dasha yang sedang free. Joy yang lebih dulu menyadari kalau antara ia dan Dasha akan ada yang dipanggil, langsung buru-buru mengerjakan hal lain yang sebenarnya tak perlu agar bukan ia yang disuruh. "Dasha, meja nomor sembilan, please." Dasha melirik lalu berdiri, tampak tenang namun di dalam hatinya ia gelisah, kenapa harus dirinya? Tapi memang hanya ia yang sedang bebas, yang lain sibuk bekerja, termasuk Joy yang ... mengelap peralatan makan yang sebenarnya sudah mengkilap? Baik Damian maupun Adrian, sama-sama menoleh ke arah Dasha ketika perempuan itu berjalan mendekat, keduanya terkejut namun sayangnya Dasha tidak memperhatikan karena ia fokus menata makanan di atas meja. Adrian melirik ke arah Damian yang fokus menatap wajah Dasha, ia hendak mengkode Damian dengan pertanyaan Dasha bekerja? tapi ternyata teman sekaligus bosnya itu tak mampu memalingkan mata dari Dasha. "Silahkan di nikmati," ujar Dasha terdengar ramah dengan senyum di bibirnya. Ketika Dasha menarik diri, mata Damian masih tak berpaling, ia mengikuti semua pergerakan Dasha hingga perempuan itu hilang dibalik pintu. "Sampai kapan kau mau menatap pintu itu, hmm?" celetuk Adrian sembari mengangkat garpunya. Damian mengedipkan matanya sekali sebelum menunduk lalu mendongak menatap Adrian, ia ingin berbicara sesuatu. Namun, kalimat itu seolah tertahan di tenggorokannya. "Kenapa?" tanya Adrian mengernyit. "Kau merasa jantungmu berpacu?" Tebaknya. Damian menjawab dengan suara berat. "Yah, kenapa aku merasakan hal ini lagi," gumamnya dengan tangan mencengkram meja. Adrian tersenyum kecil. "Sederhananya, hatimu yang memilihnya," ujar Adrian ringan. "Anyway, aku baru tahu jika ia bekerja," tambahnya dengan jemari memegang dagunya. Damian mengangguk samar, ia juga baru tahu, cukup terkejut sebenarnya. Muncul juga dibenaknya tentang pertanyaan untuk apa dia bekerja? Namun, itu pertanyaan bodoh, jelas ia bekerja untuk mendapatkan uang, tapi kenapa? Apa ia kekurangan? Tiba-tiba seorang pria masuk ke dalam cafe dengan langkah lebar, tergesa-gesa menuju ruangan para pekerja. Damian menoleh melihat ada sedikit kehebohan disana, dan tak lama kemudian pria tadi keluar dari sana dengan Dasha dibelakangnya. "Kenapa mereka?" Pertanyaan Adrian tak digubris Damian. Lelaki itu terus mengikuti arah langkah Dasha yang tampak panik sampai ia keluar dari cafe dan menghilang di kegelapan bersama pria asing itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD