We Meet Again

2014 Words
Langkah Damian terasa berat, seolah ada batu di ujung sepatu hitamnya yang kilat, ia tak sadar jika saat ini tatapannya terlihat berbeda, membuat sebagian orang yang ingin menyapa jadi urung karenanya. Adrian bukannya tidak sadar akan hal itu, hanya saja waktunya tak tepat untuk bertanya. Berpamitan dengan kepala sekolah, Damian hanya menampilkan senyum tipis, dan setelahnya ia berbalik masuk ke dalam mobil, pandangannya juga tak mengedar, ia terlihat kaku. "Hati-hati," ujar kepala sekolah sembari memberi senyuman terbaiknya. Adrian hanya mengangguk sebagai jawaban sebelum berlari kecil memutari mobil dan masuk ke bangku kemudi. ***  Dasha masih berdiri di tempatnya ketika mobil hitam itu berlalu dari sana, ia menghiraukan beberapa pasang mata yang melirik penasaran ke arahnya karena jangankan orang lain, ia sendiri tidak tahu mengapa Damian bersikap seperti tadi kepadanya. "Dasha." "Ya?" Dasha menatap kepala sekolah yang berjalan ke arahnya. Namun, beberapa langkah kemudian, kepala sekolah menghentikan langkahnya. "Oh aku lupa sesuatu, astaga ...," gumamnya memejamkan matanya sesaat sembari memukul dahinya pelan, ia lalu menatap Dasha. "Tidak jadi, Dasha, lupakan saja," sambungnya sembari berlari kecil berlawan arah dengan para siswa yang hendak pulang. Kepala sekolah memang sering begitu, jadi sama sekali tidak heran. "Dasha." Mendengar suara itu, Dasha menghela nafas pelan sebelum berbalik menghadap ke arah perempuan yang tadi memanggilnya, Yuna. Perempuan itu sendirian, tidak bersama teman-temannya yang sikapnya ... cukup menyebalkan. Yuna melipat tangannya di d**a, bibirnya terlipat, lidahnya membasahi bibirnya, menarik nafas pelan dari mulut kemudian berbicara, "sebenarnya, apa yang kau lakukan?" tanyanya pelan diiringi dengan bibirnya yang menipis. "Apa?" tanya Dasha balik, ia kurang paham dengan pertanyaan itu. "Kau ... kau pasti melakukan sesuatu, 'kan? Semua pria yang pertama kali bertemu denganmu, pasti bersikap seperti Damian tadi," ujarnya menatap Dasha dengan tatapan sengit. "Kau lihat sendiri aku tidak melakukan apa-apa." Dasha berkata sesuai fakta. "Ck." Yuna berdecak lalu terkekeh pelan. "Pembohong," sambungnya mengurai lipatan tangannya di d**a. Beberapa siswa yang melalui mereka hanya melirik tanpa mau mengikut campuri, konflik antara Yuna dan Dasha sudah biasa, jadi mereka tidak kaget. Ya walaupun pertengkaran itu selalu dimulai oleh Yuna, para siswa yang lain enggan memihak kepada Dasha. Tapi, Dasha tidak merasakan apapun, hatinya sudah mati rasa terhadap semua yang ada di dalam sekolah ini.  Dasha kemudian berbalik, hendak pergi meninggalkan Yuna, namun perempuan itu buru-buru menyusul Dasha dan sengaja menabrakkan tubuh bagian samping kirinya ke tubuh Dasha bagian kanan belakang. "Ups, maaf ... jal*ng," ejek Yuna melangkah ringan seolah tak melakukan kesalahan apapun. Dasha berhenti sesaat, tangannya mengepal, tapi tak lama kemudian tangan itu terurai, ia hanya sadar ia takkan bisa melakukannya. Dasha menoleh ke samping kanannya melihat bahunya, namun tak sengaja pandangannya berpapasan dengan seorang siswa perempuan yang langsung membuang wajahnya dan buru-buru berjalan pergi dari sana. Selain Dasha, ada banyak penerima beasiswa, termasuk perempuan tadi. Dasha paham jika ada sebagian siswa yang tak suka dengan siswa beasiswa, mereka menganggap siswa beasiswa adalah sampah sekolah. Yuna adalah salah satu dari beberapa siswa itu, memperlakukan siswa beasiswa dengan sama rata, hanya saja Dasha adalah yang istimewa, makanya Yuna lebih sering menganggu Dasha dan tidak ke siswa beasiswa lain, ia tak berminat. Alasannya hanya satu, Yuna merasa Dasha mencoba menyainginya dan Dasha tidak pantas karena perempuan itu harusnya berada di bawah, bukan di atas. Sebuah pemikiran kolot yang Dasha tidak habis pikir ketika Yuna mengutarakan alasannya waktu itu. *** Mobil berjalan dengan kecepatan sedang membelah jalanan, Adrian melirik kaca spion tengah melihat Damian yang tampak memejamkan mata dengan tangan terlipat di d**a. "Aku tak percaya menemukan perempuan seperti dia," gumam Damian sebelum membuka matanya. Adrian diam sesaat, mencoba mencerna kalimat itu, namun ia tetap tak paham. "Ada yang aneh ...." "Aku tidak paham," ujar Adrian akhirnya. "Aneh ... apanya?" Damian menegakkan tubuhnya, matanya menatap lurus ke depan namun jelas terlihat jika pandangannya kosong, entah apa yang ia pikirkan. "Tapi, sepertinya aku paham apa yang kau rasakan, Damian," celetuk Adrian kemudian. "Itu bagus, berarti kau sudah mulai bisa melupakannya." "Siapa yang kau maksud?" Damian menatap Adrian dengan mata menajam dari belakang. "Annie." Adrian menjawab mantap. "Aku tidak akan berpura-pura, Damian, dia memang pantas di lupakan." "Aku memang sudah melupakannya," jawab Damian kembali menyandarkan tubuhnya. "Itu sudah lama sekali, bodoh jika aku masih mengingatnya sampai saat ini." Adrian terkekeh, ia senang mendengarnya. "Aku pegang ucapanmu," ujarnya masih terkekeh, namun ia serius dengan ucapannya. Damian hanya tersenyum tipis mendengarnya, sejujurnya ia juga tak begitu yakin dengan ucapannya barusan. Annie adalah cinta pertama yang seperti kebanyakan kisah cinta pertama, tentu sulit di lupakan. "Jadi, langsung ke kantormu?"  Damian menarik nafas panjang lalu memejamkan matanya kembali.  "Hmm." Damian bisa merasakan mobil yang berjalan mulus, di dalam kegelapan matanya, ia bisa membayangkan tatapan Dasha tadi, mata itu entah kenapa menariknya begitu saja, membuat sesuatu yang mendebarkan terasa di dadanya. Bahkan hanya membayangkan, Damian bisa merasakan keringat di telapak tangannya, ia juga bisa merasakan keinginan yang kuat memberontak dari dalam dirinya untuk bertemu Dasha lagi. "Sh*t." "Kau menyumpah?"  Damian membuka matanya, tidak menyahut ucapan Adrian dan hanya menatap ke luar jendela dengan rasa frustasi yang tiba-tiba mencuat. ***    Dasha berjalan pelan di trotoar, ia kemudian berhenti disebuah toko yang menjual beraneka ragam bunga, sangat cantik dan tampak cerah ceria karena warnanya yang beragam.     Dasha dan Laura sama-sama menyukai aroma bunga, mereka selalu bergantian membeli bunga sekali dalam tujuh hari, dan saat ini adalah giliran Dasha, jadi ia memutuskan untuk membeli.   Dasha tidak tahu jika ada beberapa orang sedang melihat intens ke arahnya, beberapa orang di dalam mobil hitam dengan kaca yang gelap yang terparkir cukup dekat dengan toko bunga itu. "Ayolah Yuna, kenapa kita harus menguntit dia? Tidak penting sama sekali," protes teman Yuna yang duduk di sampingnya, Gritte. Rahang Yuna tampak mengeras. "Kau tidak tahu 'kan bagaimana Damian mendekatinya tadi? Aku mungkin akan biasa saja jika pria lain, tapi ini Damian!" serunya memukul setir cukup keras. Gritte mengangguk lambat dengan ekspresi yang mengatakan-ya aku tahu bagaimana kau mengagumi pengusaha itu dan ternyata ia malah tertarik kepada orang yang satu tahun terakhir berdiri menempati list nomor satu orang yang paling kau benci. "Jadi, kita akan terus mengikutinya sampai ke apartemen dia?" Gritte melirik Yuna sebelum menatap ke arah Dasha yang tampak sedang memegang buket bunganya.  "Tentu saja tidak, aku ... entahlah aku ingin sekali menyingkirkan perempuan itu,"  geram Yuna dengan dahi mengerut dalam. Gritte mengangkat kaki kanannya dan bertumpu di kaki kiri, ia kemudian tersenyum miring. "Nanti malam kau ada acara?" Yuna mengangguk. "Ya, dan jangan menggangguku," ujarnya menatap Gritte sengit. Sementara Yuna dan Gritte masih berdebat, Dasha sudah melangkah pergi lalu masuk ke dalam sebuah taksi dan menghilang dari pandangan dua perempuan itu. "Sudahlah, ayo pulang, aku lelah," ujar Gritte memutuskan perdebatan mereka. Yuna sendiri hanya mendengus lalu kembali menatap ke depan dan memutar bola matanya. "Lihat, dia sudah menghilang," ujarnya lebih ke menuduh Gritte. "Lagipula kita tidak berencana mengikutinya, 'kan?" Gritte menurunkan kaca mata hitam yang tadi bertengger di atas kepalanya ke depan matanya. Yuna melirik sengit, Gritte memang terkadang cukup menyebalkan. ***      "Okey, kita sudah sampai," seru Adrian dan diangguki Damian yang duduk di belakang.      Mereka berdua lalu keluar dari mobil, Damian berjalan lebih dulu dan Adrian selangkah dibelakangnya, posisi dimana asisten seharusnya berada. Kedatangan Damian dan Adrian disambut antusias oleh CEO yang Damian tunjuk sebagai pemimpin tertinggi dari cabang perusahaannya yang berdiri di kota tersebut.       Walaupun jabatan Adrian hanya sebatas asisten sekaligus tangan kanan Damian, ia juga dihormati selayaknya mereka menghormati Damian, namun itu hanya berlaku di depan Damian, jika tidak bersama Damian, Adrian memang tetap di hormati, tapi tidak sehormat saat ini.  Saverio, pria berdarah Italia itu mensejajarkan langkahnya dengan langkah Damian, ia terus berbicara dengan Damian tentang laba perusahaan yang meningkat. "Benarkah? Bagus," sahut Damian ketika Saverio sudah selesai dengan ucapannya. "Ya, ini peningkatan yang fantastis!" Damian tersenyum kecil lalu masuk ke dalam sebuah ruangan rapat yang sudah di penuhi oleh orang-orang yang menempati posisi tinggi di perusahaan. Mereka semua berdiri ketika Damian masuk dan duduk kembali ketika Damian menyuruh mereka duduk. "Bagaimana kabar kalian?" tanya Damian berbasa-basi dan orang-orang itu menjawab jika keadaan mereka hanya baik-baik saja.  "Baik, kita tidak akan lama, langsung saja presentasinya," ujar Damian melirik satu-persatu orang-orang sukses di depannya. Seseorang di samping Saverio hendak berdiri, dan Damian buru-buru menyela. "Tunggu, aku ingin Saverio yang mempresentasikannya," ujar Damian menatap ke arah Saverio. "Kau sudah membaca laporan keuangannya, 'kan?" Saverio awalnya tampak kelabakan, namun ia berhasil menutupinya dengan anggukan mantap yang tampak percaya diri. Saverio lalu menghadap ke arah papan putih yang sudah menunjukkan tabel-tabel yang tidak di mengerti sebagian orang. Saverio awalnya tampak lancar, namun saat di pertengahan, ia berhenti berbicara dan tampak kebingungan. "Ada apa, Saverio? Kau lupa dengan pengeluaran perusahaanmu sendiri?" Damian menatap Saverio dengan pandangan tanpa ekspresi. "Duduklah kalau begitu." Saverio menyatakan maaf dan ia mengatakan jika ia lupa tentang transaksi itu. "Sebelumnya, aku akan minta maaf padamu," ujar Damian. "Tapi aku sudah memutuskan jika aku akan menggantimu dengan Mr. Zima, Saverio." Pernyataan itu jelas membuat suasana di sana menjadi sedikit kacau dan berisik, namun memang ini lah tujuan Damian jauh-jauh datang dari Moskow, permasalahan satu ini, harus ia sendiri yang tangani dan turun langsung. Mr. Zima menempati posisi direktur keuangan sebelumnya, dialah orang yang banyak membantu Saverio dalam menjalankan tugasnya, hanya saja kata 'membantu' lama-kelamaan tidak bisa di semat karena Valerio semakin melunjak. "Aku memang tidak berada di perusahaan ini, tapi aku tetap mengawasi, jangan pikir aku tidak tahu semua yang terjadi di sini, hati-hati karena ada beberapa orang sebagai mata-mata yang melaporkan semua tindakan kalian ke aku," ujar Damian memperingatkan. Namun, tampaknya Saverio tak puas dengan ucapan Damian. "Ja-jadi, bagaimana denganku?" tanya Valerio menunjuk dirinya sendiri, cukup terlihat panik, sebenarnya ekspresinya itu di tampilkan di waktu yang salah, karena dari ekspresinya itu, Damian semakin berpikir kenapa ia dulu bisa menempatkan Saverio ke posisi tertinggi di perusahaannya? "Mr. Zima saat ini adalah CEO perusahaan ini, dan untuk direktur keuangan, aku serahkan ke Mr. Zima sepenuhnya," ujar Damian menatap ke Mr. Zima yang tampak kaku. "Aku tahu dia bertanggung jawab." Saverio sendiri masih terlihat seperti ia tak percaya hal ini terjadi. "Maaf, Saverio, tapi kau harus segera keluar dari perusahaan ini." Saverio menatap Damian, ia masih ingat sekali kejadian waktu itu dimana ia menolong Damian dan dari sana Damian yakin padanya lalu membawanya ke posisi ini, Damian juga pasti paham bagaimana keadaan ekonominya ketika ia keluar dari jabatan ini, tapi pria itu tetap yakin dengan keputusannya? Entah kenapa Saverio merasa sakit hati sekarang.   "Sifat, sikap dan kejujuran pemimpin adalah hal lain selain kepintaran dan skill yang dibutuhkan perusahaan ini," tutur Damian lebih ke mengingatkan Saverio tentang kelalaiannya. "Ingat itu baik-baik didalam kepala kalian semua."       "Tapi-"       "Baik. Sampai di sini saja pertemuan ini, tolong jangan membuat aku datang lagi ke sini hanya harus memperbaiki masalah yang kalian timbulkan," ujar Damian kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan ruangan rapat.     Sedangkan di sana, Saverio masih duduk dengan wajah merah, antara malu dan marah.  "Damian, bukankah harusnya kau menjelaskan padanya apa alasan kau memecatnya?" tanya Adrian berjalan di belakang Damian.       "Bukankah aku sudah menjelaskan?" sahut Damian melonggarkan sedikit ikatan dasinya. "Dia memimpin perusahaan ini tidak dengan hasil pemikirannya sendiri, jelas ia tidak tepat, mungkin dulu aku sedang mabuk saat memilihnya," sambungnya datar.      Adrian mengangguk-angguk walaupun sebenarnya ia kurang paham.      Sedangkan di lobi, sedikit keributan terjadi di meja resepsionis. Disana ada seorang perempuan, Laura, berdiri sembari membawa satu map berisi berkas-berkas tentang dirinya, ia hendak melamar kerja disana, karena sebenarnya, ia telah dipecat dari pekerjaan lamanya, hal yang dirahasiakan dari Dasha.       "Maaf, tapi tidak ada lowongan kerja apapun disini," ujar si resepsionis. "Lagipula, jika ada, biasanya akan ada beberapa iklan," terangnya lembut.       "Tapi kemarin, aku baca jika pelamar harus datang kesini menemui pihak humaniora untuk melakukan sesi wawancara," kata Laura, ia yakin yang ia baca tidaklah salah.       "Ada apa ini?" Damian melangkah mendekat, ia kemudian berhenti tepat dua meter dari posisi Laura berdiri.      "Maaf, sir, tetapi dia bersikeras ingin melakukan sesi wawancara-"       Belum sempat resepsionis menyelesaikan ucapannya, Laura buru-buru berbalik dan berjalan cepat meninggalkan gedung, ia seperti menggumankan sesuatu, namun tidak terdengar oleh siapapun. Namun, aksinya itu ternyata membuat sebagian orang yang sudah memperhatikannya sedari tadi jadi mencaci karena ketidak-sopanannya.      Sedangkan Damian hanya menatap Laura yang menjauh dengan mata yang mengerjap pelan.   ****   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD