Vita terbangun saat jam di rumah berdentang sebanyak satu kali. Sudah lewat tengah malam. Gadis itu merasa haus dan ingin mengambil air minum di dapur. Ia lupa sebelum tidur tadi tidak sempat membawa botol minum air mineral, tidak seperti biasanya.
Keadaan rumah terasa sunyi. Wajar saja, di waktu itu semua orang sudah berkelana di alam mimpi masing-masing. Andai bukan karena kerongkongannya yang terasa kering, mungkin gadis itu pun enggan keluar kamar dan melangkahkan kakinya turun ke lantai bawah.
Detik jam di dinding mewarnai suasana yang sunyi. Gadis itu sudah berada di ambang pintu dapur, begitu melihat sesosok orang berdiri di dekat rak makan.
"Siapa itu?" suara Vita pelan, memberanikan diri berjalan maju dan menyapa.
Tak mendapatkan jawaban mungkin karena volume suaranya kurang tinggi, Vita akhirnya berjalan mendekat ke arah dinding. Tanpa basa basi, gadis itu memencet saklar, dan ternyata,
"Ibu!" seru Vita yang melihat sosok asing tadi ternyata adalah sang ibu.
"Vita!" seru Bu Ranti, yang sama terkejutnya.
"Ibu lagi ngapain tengah malam di dapur?" tanya Vita sambil berjalan mendekati ibunya itu.
"Kamu sendiri lagi ngapain?" Bukan menjawab, wanita empat puluh tahun itu malah balik bertanya.
"Aku haus. Pingin minum. Ibu sendiri?"
"S—sama." Bu Ranti mengangkat gelas yang sudah kosong.
"Oh!" Vita mengambil gelas yang ada di atas meja dapur. Kemudian mengisi gelas kosong itu dengan air mineral dingin yang ada di dalam kulkas.
"Malam-malam minum air dingin sih, Vit?"
"Hehe, haus banget, Bu!" seru Vita sembari terkekeh. Air yang baru ia isi ke dalam gelas, kini sudah kosong tak bersisa.
"Ngomong-ngomong, Ibu dari mana dua hari ini? Kirain aku belum pulang." Vita bertanya sembari menaruh gelas di atas meja, dan menatap sang ibu yang masih berdiri di dekatnya.
"E—eh, itu. Ibu sama bapak abis dari luar kota. Ada proyek baru yang temannya bapak tawarin. Jadi, kita survei dulu ke sana."
"Oh." Entah kenapa, Vita merasa jika jawaban yang ibunya berikan ada nada kebohongan di setiap ucapannya.
Merasa jika sang putri tidak mempercayainya, Bu Ranti memilih untuk segera meninggalkan area dapur. Khawatir akan ada pertanyaan lain yang akan sulit ia jawab.
"Kalau gitu Ibu balik ke kamar duluan yah, Vit?" sahut Bu Ranti.
"Iya, Bu."
Wanita itu pun meninggalkan sang putri yang masih terus mengawasi hingga langkah kakinya menuju tangga.
"Semoga saja Vita tidak curiga," gumam Bu Ranti, yang langsung mempercepat langkah kakinya menuju kamar.
Malam ini ia akan tidur sendiri, sebab sang suami sudah mulai dengan kegiatan barunya. Kegiatan yang sejujurnya tidak ia setujui.
Bagaimana ia akan setuju jika harus menerima kenyataan pahit, di mana lelaki yang ia cintai itu, akan 'melayani' naf*u jin perempuan demi harta.
Pintu kamar dibuka. Sosok lelaki yang sudah menemani selama setengah usia hidupnya itu, sudah tak tampak di ruang kamar yang cukup luas tersebut.
"Sepertinya bapak sudah bersiap-siap," lirih Bu Ranti.
Dengan langkah gontai, wanita itu naik ke atas ranjang tempat tidur yang kini terasa sangat luas. Tanpa ada sosok lelaki yang setiap malam selalu menemaninya.
Tak terasa, air mata mengalir di pipinya. Bu Ranti menangis. Tangisan yang meluapkan suasana dalam hati dan pikirannya. Seolah tak rela jika sang suami berada di dalam kamar berbeda, tengah asik bergulat dengan sosok lain selain dengannya.
***
"Ada apa dengan Ibu? Mengapa aku melihat ada gurat kesedihan yang tampak di wajahnya itu!" ucap Vita pelan, mengingat kembali perubahan raut wajah sang ibu ketika mereka tadi bersitatap.
Memilih untuk melupakan apa yang tadi ia lihat, Vita meninggalkan area dapur. Tak lupa membawa sebotol air mineral di tangannya, jaga-jaga jika ia nanti haus.
Lampu dapur yang tadi Vita nyalakan, kembali ia matikan. Gadis itu kemudian berjalan menuju arah tangga sembari mengawasi langkah kakinya, khawatir akan tersandung atau akan menginjak sesuatu.
Berjalan di lantai dua, sebetulnya lebih menakutkan di banding lantai bawah. Itu yang Vita rasakan. Melihat ruangan yang lengang dengan hanya terdapat empat buat kamar besar dengan penghuni yang berbeda.
Rumah memang selalu gelap di saat malam. Itu karena semua penghuni tidak terlalu suka lampu yang terlalu terang saat tidur, maka para asisten rumah tangga akan mematikan seluruh lampu yang ada sebelum mereka beristirahat tidur.
Namun, entah mengapa suasana di lantai dua saat ini, teramat Vita benci. Gadis itu mendadak tidak suka penerangan yang gelap. Hawa ketakutan tiba-tiba menjalar di seluruh tubuhnya. Dingin dan sunyi, menambah kesan angker di tengah malam itu.
Botol air yang Vita pegang terasa bergetar karena gemetar tubuhnya, atas reaksi menghadapi suasana yang tiba-tiba menegangkan.
Kamarnya yang berada di pojok ruangan, membuat langkah kakinya semakin berat. Ia benar-benar tidak tahu, mengapa ia yang biasanya berani kini bisa berubah jadi seorang pengecut, yang belum apa-apa sudah takut duluan.
Langkah kaki gadis itu kini sudah berhenti di depan pintu kamarnya sendiri. Tapi, saat ia hendak memutar kenop pintu kamar, terdengar suara desahan dari seorang lelaki, yang samar di telinga.
"Suara apa itu?" gumamnya.
Vita memasang telinganya supaya lebih fokus mendengar. Di suasana sunyi seperti saat itu, suara apapun bisa terdengar di telinga. Masih mendominasi suara detik jam dinding, membuat Vita seolah merasa ditemani di sana.
Sebab rasa penasaran yang tinggi, gadis itu terus menyusuri ruangan lantai dua, berharap dapat menangkap suara yang membuat perutnya terasa mual.
Entah bagaimana bisa, suara itu bisa membuat Vita terserang rasa yang tak mengenakan dari dalam tubuhnya. Suara yang ia yakin sekali adalah respon dari sebuah aksi yang sepertinya tengah dilakukan oleh seseorang dari salah satu kamar di lantai dua tersebut.
Suara itu semakin jelas terdengar ketika ia sudah mendekati ruang kerja sang bapak. Desahan dan lenguhan jelas sekali terdengar. Membuat rasa mual itu semakin terasa.
"Apakah aku telah berlaku kurang ajar dengan mengendap seperti ini?" lirihnya bersuara.
Hati dan pikirannya beradu, antara ingin memilih kembali ke kamarnya atau ingin tahu berasal dari mana serta suara apa yang ia dengar.
Pikiran Vita sepertinya masih waras. Pada akhirnya ia memilih untuk kembali ke kamarnya saja. Namun, belum juga ia membalikkan langkah, sebuah suara yang ia sangat yakini adalah suara desisan ular, mulai terdengar mendominasi, dan itu nyata terdengar berasal dari dalam ruang kerja bapaknya, Pak Subagyo.
Di tengah rasa takut yang sudah mulai membuat bulu kuduk merinding, gadis itu malah mendekatkan telinganya di daun pintu kamar. Menajamkan kekuatan fungsi telinganya, Vita kini mendengar lenguhan seorang pria dan wanita yang begitu panjang.
"Itu seperti suara bapak!" gumam gadis itu.
"Apakah bapak sedang eh— dengan ibu?" Antara ingin tersenyum karena membayangkan. Tapi, sedetik kemudian ia ingat.
"Bukankah ibu tadi bilang mau kembali ke kamar? Ibu juga bilang bapak sejak tadi di ruangan kerja ini. Lantas benarkah yang di dalam saat ini dengan bapak adalah ibu?"
Vita sangat kenal suara ibunya. Walaupun suara lenguhan wanita dari dalam itu begitu samar, tetapi gadis itu yakin itu bukan suara sang ibu.
Masih berkutat dengan pemikiranna, tiba-tiba Vita dikejutkan oleh kedatangan sesosok ular hitam keluar dari dalam kamar.
Ular itu memang hanya melewatinya saja, tetapi kepala dan mata merahnya yang menyala terus menatap ke arah si gadis. Membuat ia dilanda perasaan takut dan ngeri, yang mendadak memenuhi rongga tubuhnya.
Ada yang aneh saat Vita mengamati ular itu dengan seksama, yaitu ada sebuah mahkota kecil yang menempel di atas kepala ular tersebut. Membuat sosok ular yang menghilang ke bawah tangga itu, terasa lain dan berbeda.
Seolah terhipnotis atas apa yang baru dilihatnya, tiba-tiba Vita dikejutkan dengan pintu di depannya yang terbuka.
"Vita?" ucap Pak Sudibyo, yang terkejut melihat putri sulungnya ada di depan ruangan pribadi miliknya.
"Bapak?"
"Kamu sedang apa malam-malam di sini?" tanya lelaki paruh baya itu heran.
"E—eh itu, tadi Vita abis dari dapur ambil minum." Gadis itu mengangkat botol air minum yang tadi ia bawa.
"Terus, kenapa kamu ke sini? Bukankah kamar kamu itu di sana!" Pak Sudibyo menatap sang putri curiga.
"Eh—m, itu tadi Vita denger su—! Eh, tidak ada, Pak. Vita kayanya terlalu ngantuk sampai lupa kamar sendiri." Gadis itu urung mengatakan yang sebenarnya dan malah berbohong menjawab pertanyaan sang bapak.
"Bagaimana bisa cuma karena terlalu mengantuk kamu lupa kamar sendiri?" selidik sang bapak masih menatap curiga.
Menghindari tatapan curiga bapaknya, Vita memilih untuk segera pergi ke kamar.
"E—eh, iya. Pak, aku balik ke kamar aku dulu yah."
Tak menunggu jawaban sang bapak, gadis itu segera berlalu. Meninggalkan lelaki paruh baya yang masih terus mengawasinya hingga ia masuk ke dalam kamar.
***