Pak Sudibyo sudah menyelesaikan tugas pertamanya malam itu. Tugas di mana ia harus melayani sang dewi, demi kewajibannya jika ingin mendapatkan kekayaan harta yang melimpah.
Jin yang menyerupai sosok wanita di depan mata Pak Sudibyo, kini sudah kembali memakai pakaiannya. Jangan ditanya bagaimana tadi keduanya bergulat begitu panas. Sang jin ternyata begitu mendominasi permainan malam itu. Membuat lelaki itu sedikit kewalahan.
"Aku suka pelayanannmu malam ini. Aku harap bulan depan, aksi malam ini tidak jauh berbeda. Oh iya, satu lagi, mungkin ruangan ini harus kamu buat agar kedap suara. Sebab putri sulungmu tengah menguping kegiatan kita barusan." Seringai muncul di wajah cantik jin wanita itu. Membuat Pak Sudibyo merasakan keremangan di area sekitar kuduknya.
"Baik, Dewi. Saya mengerti." Ada nada geram di wajahnya ketika tahu sang putri ternyata ada di depan ruangan pribadinya.
"Kamu sudah bisa menikmati uang yang kamu inginkan, besok pagi di tempat yang sudah aku beri tahu padamu."
Setelahnya, jin itu pun pergi dari ruangan pribadi Pak Sudibyo, dan tak lama kemudian, lelaki itu pun menyusul.
Benar saja, sosok sang putri berada tepat di depan pintu. Dengan telinga yang mengarah ke daun pintu berbahan kayu jati, gadis itu tidak menyadari jika sang bapak sudah ada di depannya.
Berusaha menghindar sebab sudah tertangkap basah, gadis itu pun pergi pamit untuk kembali ke kamarnya.
"Sepertinya aku harus memindahkan ruangan pribadiku ke tempat lain," gumam lelaki itu.
Kemudian, ia juga pergi untuk kembali ke kamarnya. Menemui sang istri yang sepertinya sudah tertidur.
Aura kebahagiaan begitu meliputi jiwa dan raga Pak Sudibyo, yang malam itu begitu menikmati semua kegiatannya. Terutama sekali ketika bisa melayani wanita yang tak lain adalah jin yang ia sembah, demi balasan uang yang melimpah.
Wanita yang di matanya sangat cantik dan begitu menggoda. Meski pakaian yang dikenakan bukanlah pakaian terbuka selayaknya para model seksi dengan belahan dad* dan paha yang kekurangan bahan. Namun, melihat penampilannya yang khas seperti putri-putri keraton dengan kain kemben, yang menutupi area tubuh bagian atas dengan kain jarik motif batik di bawah tubuh, membuat kecantikan itu terasa asli dan nyata adanya.
Lelaki itu tidak tahu jika jin itu sebenarnya adalah jelmaan ular yang merubah wujudnya menjadi sosok manusia. Kedua mata dan batinnya tertutup, sebab kekuatan dari sang jin yang melakukan hal itu.
Mungkin baru Vita, putri tertua di rumah itu yang mengetahui ada ular yang keluar dari ruangan tadi, sebelum sang bapak keluar. Meskipun ia tidak tahu apa yang ular itu lakukan di dalam ruangan pribadi bapaknya tadi, yang tak lama akhirnya muncul sang bapak dari dalam kamar, setelah ular itu menuruni tangga dan tak terlihat.
Pak Sudibyo memutar gagang pintu kamarnya, dan mendapati jika pintu kamar itu tidak dikunci oleh sang istri. Di tengah kedua matanya yang menatap keremangan cahaya kamar, lelaki itu berjalan masuk, menuju ranjang tempat tidur di mana sang istri sudah terbaring.
Tak ingin membangunkan sang istri, Pak Sudibyo melakukan semua gerakannya dengan begitu perlahan. Hingga saat tubuh dan kakinya naik ke atas kasur pun, ia sebisa mungkin meminimalisir suara.
"Sudah selesai, Pak?" tanya Bi Ranti tiba-tiba.
Tubuhnya yang membelakangi sang suami, kini berbalik arah dan menatap suaminya yang tengah terkejut.
"E—eh, Ibu belum tidur?" Terbata Pak Sudibyo bertanya.
"Apa Bapak pikir Ibu bisa tidur tenang, mengetahui sang suami tengah bercumb* dengan wanita lain di ruangan lain?" Dengan matanya yang sudah sembab sisa tangisan, Bu Ranti bicara.
"Bu, tolong jangan seperti ini. Bukankah Ibu sudah tahu konsekuensinya?"
"Pak, Ibu tidak pernah menyetujui rencana dan kegiatan ini sejak awal. Jadi, maafkan Ibu yang tidak bisa menerima perbuatan Bapak ini sampai kapan pun juga."
"Terus mau Ibu bagaimana? Sedangkan kita tahu jika perjanjian ini tidak bisa dibatalkan."
"Jangan pernah lagi kita berhubungan badan kalau bau jin itu masih menempel di tubuh Bapak seperti saat ini." Bu Ranti bicara sembari menutup hidungnya. Kemudian membalikkan tubuh, kembali membelakangi.
"Durhaka Ibu pada suami jika bersikap seperti itu!" Pak Sudibyo berkata sedikit emosi.
"Pak, dosa kita sudah banyak. Dengan menyekutukan Tuhan dan menyembah jin sejak setahun yang lalu, Ibu sudah merasa menjadi seorang makhluk yang tidak pantas masuk surga. Jadi, kalau hanya sekedar menghindari suami sendiri sebab alasan yang sangat masuk akal, kenapa Ibu harus takut?"
"Pandai sekali sekarang Ibu bicara!"
"Ibu bukan pandai, Pak. Ini hanya sebuah rasa kesal yang Ibu rasakan sebab memiliki suami yang tidak pernah ada puasnya."
Seolah tak ingin berdebat dan memperpanjang pertengkaran, Bu Ranti menutup telinganya dengan sebuah guling.
Pak Sudibyo yang sudah mulai terpancing, akhirnya memilih beranjak dari atas kasur dan berjalan meninggalkan kamar untuk kembali ke ruangan pribadinya. Bersama dengan sang istri dalam satu ruangan, hanya akan membuatnya meledak marah-marah. Sedangkan lelaki itu cukup tahu diri jika saat itu waktu sudah larut malam.
***
Dalam kamar lain, Vita masih belum bisa memejamkan kedua matanya. Bayangan kejadian tadi di depan ruangan pribadi sang bapak, membuat otak dan pikirannya terus mengarah ke sana.
"Benarkah apa yang sudah aku dengar tadi adalah sebuah kegiatan panas?"
"Argh! Tidak mungkin. Bagaimana bisa telingaku terkontaminasi oleh hal tersebut." Gumaman terus saja keluar dari mulut Vita setelah ia mendengar suara dari arah ruangan pribadi sang bapak.
"Lalu, ular itu. Mengapa ada tiara di atas kepalanya? Pemandangan langka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Mengapa juga bisa keluar dari sana?"
"Ah, Bapak! Mengapa setahun belakangan ini aku seperti tidak mengenal dirimu."
Sosok bersahaja itu, yang meskipun dulunya tidak memiliki uang atau barang apapun, hanya sebuah gubuk reot tempat mereka bernaung dari cahaya panas dan guyuran air hujan, kini berubah menjadi sosok yang tidak ia kenali.
Vita, yang masih curiga dengan kegiatan yang bapak dan ibunya lakukan, mengenai sesembahan dengan imbalan sejumlah uang, semakin ngeri atas kejadian tadi yang membuatnya meringis ketakutan.
"Aku merasa sangat yakin jika bapak dan ibu melakukan hal yang dilarang agama, tetapi mereka tetap saja pura-pura tak peduli."
"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?" Do'a sang gadis pada Tuhan supaya diberi petunjuk.
"Kepada siapa lagi aku harus menceritakan kegalauan hati ini. Kepada Fajar saja, anak itu sudah tidak percaya bahkan menyuruhku untuk tidak memikirkannya. Aneh, apakah ia tidak pernah diperlihatkan hal-hal yang aneh atau janggal sehingga bisa dengan cueknya berkata demikian?"
Vita memang tidak mengerti dengan hal yang satu itu. Ia yang awalnya ingin mengikuti saran sang adik, ternyata tidak bisa sebab selalu ada gangguan yang mengoyakkan pertahanan dirinya. Ada saja kejadian-kejadian aneh di rumah besar itu, yang membuat gadis dua puluh tahun itu kembali berpikir, ada apa sebenarnya?
Tuhan memang tidak tidur, Dia akan menolong hambaNya yang kesulitan. Tapi, semua terasa ironi bagi kehidupan keluarga Vita. Apakah ini semua sebab rasa ketidakpercayaan mereka terhadap pertolongan Tuhan? Atau karena rasa tidak sabarnya mereka dalam menghadapi ujianNya? Entahlah, keduanya bisa jadi alasan bagi Pak Sudibyo dan sang istri melakukan hal demikian, dan sayangnya mereka rela melakukannya dengan menggadaikan putri bungsu mereka sendiri.
"Aku memang harus menceritakan pada seseorang yang tentunya bisa dipercaya!" Sepertinya Vita membutuhkan itu. Tapi, mencari orang yang tidak mudah menceritakan kembali aib keluarganya kepada orang lain, bukanlah perkara mudah.
"Aku akan bercerita pada Yani terlebih dahulu. Mungkin dia akan memberi solusi, kepada siapa sebaiknya aku bercerita."
Didera rasa resah dan kegalauan hati, pada akhirnya Vita pun bisa tertidur di waktu yang hampir mendekati subuh. Sebelumnya menyalakan alarm supaya ia tidak terlambat bangun, untuk melaksanakan salat nanti.
***