Bagi Bara dan Andara, memulai hubungan cinta perlu keberanian yang luar biasa. Membuka hati pada seseorang yang belum sepenuhnya dikenal, membutuhkan sebuah usaha besar.
Seiring waktu, ada usaha yang menemui keberhasilan, namun ada juga yang akhirnya gagal. Inilah yang kemudian melahirkan dinamika dalam hubungan cinta sepasang anak manusia.
Jika Bara dan Andara bisa memilih, tentu saja mereka ingin berhasil melewati halang rintang dalam hubungan ini.
Tidak perduli seberapa besar rasa sakit itu datang dan menancap pada setiap bagian sendi di seluruh tubuh keduanya.
Tahun pertama dalam cobaan jarak dan waktu, telah berhasil keduanya lewati dengan baik. Tadi siang, Bara kembali ke tanah air dan malam nanti, mereka berjanji untuk berkencan di tempat yang paling mereka sukai. Yaitu daerah perbukitan yang cukup jauh dari keramaian kota.
Bara mengetuk pintu rumah Andara dengan lembut. Saat itu, jantungnya sudah tidak menentu.
Padahal ia baru melihat atap rumah dan menyentuh pintu utamanya saja. Lalu bagaimana jika dia menatap dan memeluk Andara? Entahlah.
'Apa yang harus saya lakukan pertama kali? Mencium? Memeluk? Menyapa? Atau hanya tersenyum saja?' Bara terus bertanya di dalam hati, hingga seseorang tampaknya mendekat ke arah pintu dan membukanya.
"Siapa?" tanya nenek yang tampak sudah sangat tua dan semakin rabun, lalu beliau membuka pintu rumah.
"Bara, Nek. Masih ingat, kan?"
"Baraaa." Nenek menyebut nama itu sangat jelas, lalu disambut senyum tulus dari bibirnya yang sudah tampak keriput. "Andara! Andara. Ada Bara," teriak nenek yang terdengar sangat bersemangat.
"Ini buat Nenek."
Bara menyerahkan buah tangan spesial untuk wanita renta yang sudah mengurus dan menjaga Andara sejak kecil dengan penuh kasih sayang.
"Apa ini? Kenapa repot sekali?"
"Sama sekali tidak repot, Nek. Bara malah sangat senang bisa membawakan sesuatu untuk Nenek. Semoga Nenek suka."
"Makasih ya, Bara."
"Sama-sama, Nek."
"Nenek lihat Andara dulu ya?"
"Silahkan, Nek." Bara pun duduk di atas kursi sofa yang sudah tua dan terlihat robek dibeberapa bagian.
Tak lama, Andara keluar dari kamar dengan memakai pakaian yang pernah Bara beli dan kirimkan untuknya dari Amerika.
Baju dan celana tersebut terlihat cocok serta serasi di tubuh Andara yang jauh lebih molek dan montok daripada tahun sebelumnya.
Lekuk tubuh bagian atas dan bawah milik Andara terlihat sangat jelas. Kulitnya lebih bersih dan terawat, tubuhnya pun semakin tinggi dan rambutnya yang panjang tergerai tampak lurus serta rapi.
Tidak ada lagi poni yang menutupi mata indah milik Andara yang masih saja sama. Bahkan Bara dapat menikmati cahaya bulan di dalamnya.
Bara berdiri menyambut Andara yang terlihat sempurna di matanya. Mereka saling menatap dan tersenyum, tanpa menyentuh. Sepertinya kerinduan telah membawa keduanya ke dalam situasi yang penuh keinginan.
"Nenek tidur dulu ya, Andara. Bawa saja anak kuncinya dan ingat! Jangan pulang larut malam!?"
"Iya, Nek. Andara mengerti," sahut Andara.
Saat itu, Bara sangat berterima kasih di dalam hati kepada nenek. Semua itu karena beliau terlihat sangat mengerti akan kerinduan antara dirinya dan Andara.
"Kamu terlihat sangat cantik, Andara," puji Bara yang memulai sapaannya. "Kita pergi sekarang?"
"A, iya. Tapi ... ." Andara terlihat gugup karena rindu dan Bara memutuskan untuk mendekati gadisnya.
"Jangan menolak!" pinta Bara sambil mengangkat wajah Andara dan memiringkan wajahnya.
Kemudian Bara memberanikan diri untuk menempelkan bibirnya pada bibir Andara yang tampak merah alami, tanpa lipgloss ataupun pewarna bibir lainnya.
Ciuman hangat terjadi bersama desahan napas lembut yang semakin lama, semakin cepat.
Seperti tengah melakukan olahraga dimalam hari yang menyenangkan. Sangat menyiksa, tapi mereka berdua suka dengan sensasinya.
Andara seperti kehabisan napas dan ia berniat untuk melepaskan bibirnya dari lumatan beruntun yang Bara berikan.
Namun saat Andara memundurkan wajah untuk melepaskan bibirnya, Bara menghentikannya dengan mendorong punggung Andara untuk semakin dekat dengan dadanya.
"Saya sangat merindukan kamu, apa tidak boleh?" tanya Bara sambil menantang mata Andara yang sangat indah baginya.
"Bara, saya hanya ingin menarik oksigen dari udara," sahut Andara yang semakin terengah-engah akibat tatapan tajam dari Bara.
"Kalau begitu, ambil saja oksigen dari dalam mulut saya!"
"Sayang," ucap Andara yang semakin terbakar.
"Katakan lagi!"
"Bara."
"Bukan itu."
"Sayang. Eeemh," rintih Andara yang sudah tidak lagi dapat ia sembunyikan.
Ciuman kerinduan kembali diulang. Kali ini Bara juga melakukan lumatan kecil yang menggoda. Dadda Andara naik turun, membuat pikiran Bara melayang tidak berujung.
Kurang lebih 20 menit menghabiskan waktu dengan menempelkan bibir, terdengar suara pintu kamar yang dibuka. Bara pun terpaksa melepaskan Andara.
"Kalian masih di sini?" tanya nenek sambil menatap heran ke arah keduanya.
"Nenek mau kemana?"
"Kamar mandi."
"Andara bantuin ya, Nek?!"
"Iya. Terima kasih, Dara."
"Setelah ini, Andara keluar sebentar."
"Iya, pergilah! Kamu butuh waktu untuk bersenang-senang. Kamu terlalu lelah mengurus Nenek, kuliah, dan bekerja."
"Kalau mengurus Nenek, Andara sangat bahagia melakukannya. Jadi, Nenek jangan sering mengatakan hal seperti itu!" pinta Andara yang tiba-tiba menangis.
"Kenapa bersedih?"
"Makanya, Nenek jangan ngomong seperti itu lagi!" pinta Andara dan nenek menghapus rintik air mata cucu satu-satunya tersebut.
"Kamu memang anak yang baik," puji nenek sambil membelai rambut Andara. Kemudian Andara mengurus nenek di kamar mandi, hingga kembali ke dalam kamarnya.
"Apa nenek bisa di tinggalin?"
"Bisa kok. Asal jangan terlalu lama."
"Ya sudah, kalau begitu kita perginya sekarang saja!
"Iya."
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit, Bara dan Andara tiba di lokasi favorit mereka.
Bara membuka pintu untuk Andara dan ia langsung mengajak gadisnya untuk duduk di atas kap mobil bersama.
Mereka berbaring sembari menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit gelap. Banyak senyum dalam pertemuan pertama ini. Bara terus berusaha untuk membahagiakan Andara.
"Andara, apa kamu tahu perbedaan antara rindu dengan luka?"
"Heeemh, tentu saja itu dua hal yang sangat berbeda, Bara. Rindu itu seperti cabang pohon yang semakin dipotong, semakin tumbuh. Kalau luka itu kesakitan dan harus segera diobati. Bagaimana menurutmu?"
"Menurut saya, luka itu jika diobati bisa sembuh. Sedangkan rindu, setelah diobati malah semakin kambuh."
"Ha?" Andara terkejut dan ia langsung menatap Bara.
"Iya. Seperti saat ini, harusnya rindu itu berkurang. Tapi pada kenyataannya, rasa itu muncul lagi hanya karena saya tidak menatapmu sebentar saja." Bara berkata sambil menatap langit yang luas berbantalkan kedua tangannya.
"Kamu penggombal yang ulung. Bagaimana otakmu bisa merencanakannya?"
"Itu tidak sulit. Saya hanya butuh membayangkan dirimu, Andara," jawab Bara sambil melihat ke arah Andara yang sejak tadi sudah terlebih dahulu menatap dirinya.
"Kamu berhasil membuat saya berbunga-bunga, Bara." Andara tersenyum lebar dengan matanya yang berbinar-binar.
Bara dan Andara kembali saling menatap. Ketika mata mereka bertemu, ada cahaya cinta yang terlihat kuat dan besar di dalamnya.
"Apa saya boleh melakukan sesuatu yang lebih?" Andara menganggukkan kepala karena ia juga menginginkan hal yang sama.
Bara menegangkan pundak hingga perutnya. Kemudian ia mendaratkan ciumannya yang hangat pada bibir Andara dengan lembut.
Posisi Andara memancing hasrat lebih di dalam hati Bara dan ia mulai menjelajah bagian dadda Andara yang selama ini sangat ia inginkan, namun selalu ia jaga.
"Bara ... ."
"Sabar ya! Please!" Bara memuaskan bibirnya dengan mengeksplorasi gunung kembar milik Andara.
Bersambung.