8. Bertemu Camer

2030 Words
Soal adegan sinetron, sepertinya aku kualat dengan Shenna. Dulu aku meledeknya karena saat awal dia bertemu dengan Mas Rifqi, dia beberapa kali mengalami adegan mainstream itu. Seperti tak sengaja tabrakan, misalnya. Benar-benar klise! Siapa yang sangka kalau aku akan mengalaminya sendiri? Ya, meski bentuknya berbeda. Semakin diingat, semakin aku geli sendiri. Sudah begitu, aku pakai berdebar pula. Aku tidak mungkin jatuh cinta, kan? Tidaklah! Murah sekali hati ini kalau sampai iya. Namun, di sisi lain, sekilas Mas Hanif memenuhi kriteria suami idamanku. Ini terlepas perasaanku padanya yang belum ada— atau mungkin belum. Bagaimana tidak aku menyebutnya begitu? Pertama, dia sudah mapan. Pekerjaannya bagus dan menjanjikan. Terlebih, jabatan strukturalnya sudah lumayan tinggi. Kedua, fisiknya tidak bisa diremehkan. Serius, dia tampan! Ketiga, kelihatannya dia tidak neko-neko dan bertanggung jawab. Sudah kubilang sebelumnya, aku mulai berpikir menikah tanpa cinta tak masalah asal yang menikahiku memiliki potensi untuk kucintai. Hal itu bisa dilihat dari beberapa aspek yang masuk dalam kriteriaku. Dan kurasa, Mas Hanif memenuhi itu. Masalahnya, memangnya dia mau denganku? Kelihatannya dia belum tertarik menikah. Atau bisa jadi tidak pernah tertarik. Sudah kepala tiga, punya kerjaan tetap, tampang oke, kenapa tak kunjung punya pacar? Kenapa pula dia membiarkan diganggu oleh perempuan yang terobsesi dengannya? Sejujurnya, bagian ini agak tak masuk akal. Jangan-jangan, dia betulan gay? Wah! Kalau sampai iya, aku ingin putus dengannya. Sekalipun hanya pura-pura, aku hanya tidak bisa dekat-dekat dengan kaum pelangi. “Mbak … mikirin apa, sih, dari tadi ngelamun terus?” Kavi tiba-tiba datang memberiku satu gelas jus alpukat. “Tumben, baik. Mau apa?” Kavi mencibir pelan. “Suudzon banget. Ya udah, kalau enggak mau!” “Ya maulah!” aku langsung duduk tegak dan segera menyeruput jus yang Kavi berikan. Kavi adalah adik bungsuku. Dia masih SMA. Kalau Albi, dia sudah kuliah. Meski kampusnya tidak terlalu jauh, tapi dia juga ngekos. Kalau kuliah sedang full, anak itu kadang jarang pulang. Andai setiap hari PP, memang cukup menguras tenaga. “Mbak Da ini udah jadi dokter belum, sih?” tanya Kavi beberapa saat kemudian. “Belum. Aku harus ujian kompetensi dulu sebelum nanti sumpah dokter dan internship.” “Lama banget prosesnya, ya, Mbak?” “Ya memang. Makanya jadi dokter itu wajib kuat fisik dan mental.” “Aku enggak mau jadi dokter, sih.” “Enggak nanya.” Kavi kembali mencibir. “Mbak Da pasti jomblo, ya?” “Kenapa tiba-tiba bawa itu?” mataku nyipit. “Dateng-dateng ngatain!” “Aku kemarin denger Ibu mau jodohin Mbak sama polisi. Siapa namanya? Mas Daniel?” “Aku enggak mau! Aku udah nolak. Aku juga udah punya pacar.” “Masa? Siapa?” “Kapan-kapan aku bawa pulang. Kamu nanti kenalan, ya?” Aku tersenyum. “Oke. Tapi Mbak Da udah pengen menikah belum, sih?” “Sejujurnya, belum, Vi. Tapi Ayah sama Ibu pengennya Mbak cepet nikah. Kamu bantu bilang mereka, deh. Menikah itu jangan buru-buru.” “Tapi kan Mbak punya pacar. Kalau orang punya pacar biasanya pengen cepet diseriusin pacarnya. Daripada main-main terus? Mbak malah enggak mau. Aneh!” Bagian ini Kavi ada benarnya. Masalanya, pacar yang kupunya hanya sandiwara. “Bukan gitu, Vi. Aku cuma pengen nikmatin waktu muda dulu. Tapi di sisi lain, alasan Ibu dan Ayah nyuruh aku cepet menikah itu masuk akal. Karena memang, sebelum aku ujian dan sambil nunggu lulus, aku bener-bener nganggur. Kegiatanku cuma belajar. Jadi misal nikah di masa-masa ini sebenarnya pas-pas aja. Kan masa depanku secara profesi udah jelas. Jadi ya biar udah menetap aja. Enggak pencarian lagi.” “Ya udah. Tinggal nunggu apa lagi? Suruhlah pacar Mbak Da itu datang ngelamar.” “Kamu sejak kapan jadi cerewet begini? Kayaknya terakhir aku pulang, kamu enggak kaya gini. Diam mulu bawaannya.” Kavi malah tersenyum, dan senyumnya itu agak aneh. “Oh, aku tahu! Kamu punya pacar, ya? Kamu pasti ketularan pacarmu! Ngaku!” “E-enggak!” Kavi menggeleng keras. “Kok gagap? Aku laporin Ibu, ah! Ibu, Kavi—” kalimatku terputus saat Kavi membekap mulutku. “B-bu, Kavi pacar—” “Mbak, diem! Jangan bilang Ibu!” “Berarti bener?” Akhirnya, Kavi melepas bekapannya. “Iya, bener. Tapi kami enggak aneh-aneh, kok, Mbak.” “Putus! Anak SMA enggak boleh pacaran. Masa depan masih panjang. Nanti waktu kuliah, sukur-sukur bisa sampai s2 atau s3, kamu akan bertemu cewek yang lebih dari pacarmu sekarang. Kalau enggak, kalian sama-sama upgrade diri dulu dan bertemu di waktu yang lebih pas.” “Enggak mau! Enggak mau putus, maksudnya.” “Oh, gitu?” “Lah! Kenapa Mbak Da ngatur? Mbak pacaran aja aku enggak ngelarang!” “Masalahnya aku udah selesai kuliahnya, Kavi! Koas juga udah, tinggal ujian. Sedangkan kamu masih SMA.” “Ya enggak papalah. Asal aku enggak macam-macam aja. Nilaiku malah naik, tuh, bukannya anjlok.” “Awas aja kamu aneh-aneh. Sekali kamu bikin kesalahan fatal, Mbak enggak segan laporan ke Ayah dan ngomporin biar beliau coret namamu dari KK.” “Iya, iya. Orang cuma buat penyemangat sekolah aja.” “Heleh!” Aku mencebik pelan, lalu Kavi pun menyingkir. Selepas Kavi pergi, aku bukannya merasa damai, malah mulai overthinking. Aku juga merasa miris untuk yang kesekian kalinya. Adikku yang masih SMA saja punya pasangan, kenapa kakaknya susah sekali dapat? Sekalinya dapat, malah pura-pura. Sungguh ironi! *** Hari ini gantian Mas Hanif yang mulai menjalankan bagiannya. Dia akan datang ke rumah dan berakting menjadi pacarku sungguhan. Tidak, aku tidak memintanya datang begitu saja. Pura-puranya, kami baru saja keluar bersama dan dia mengantarku pulang. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah aku baru saja belajar di café dan dia datang menjemput. Dia tampil rapi, tetapi tidak seformal saat mengajar. “Rumahku yang pagar putih itu, Mas.” “Yang perpaduan hijau?” “Yes.” Aku mengangguk. “Sampingnya rumah pagar kuning.” “Oke.” “Parkir di depan gerbang enggak papa soalnya jalannya lebar. Selagi enggak sampai menginap, enggak ada yang larang.” “Menginap?” “Maksudnya, siapa pun kalau parkir di sini sejenak sementara bertamu, enggak masalah. Tapi misal orangnya mau sampai menginap, baru harus masuk halaman. Bukan maksud gimana-gimana.” “Ya.” Mulai lagi! Kata itu sepertinya menjadi salah satu kata favoritnya. Begitu turun, aku langsung membuka gerbang. Mas Hanif datang belakangan. Dia membawa buah tangan untuk basa-basi. Sebenarnya, sandiwara kami memang cukup ekstrem. Belum-belum saja sudah melibatkan orang tua. Namun, karena kasusku agak lain, jadi mau tak mau harus dilakukan. Toh aku bisa mengaku putus jika pada akhirnya kami tidak menikah. “Mas, bentar, bentar …” “Kenapa?” “Maaf kalau aku ulang-ulang bagian ini. Tolong jangan terlalu irit, ya, bicaranya? Mas Hanif juga tolong perlakukan aku sebaik dan senatural mungkin. Soalnya orang tuaku masih ragu. Enggak perlu canggung. Pokoknya akting sebaik mungkin dan aku pun akan berusaha gitu.” “Ya.” “Oh, ya ampun! Ya mulu jawabnya.” “Iya, Da. Mas akan berusaha.” Aku tersenyum. “Nah, gitu, dong! Lebih enak didenger daripada cuma jawab satu kata doang.” Akhirnya, aku membawa Mas Hanif masuk rumah. Karena Ayah dan Ibu sudah tahu, mereka sudah menunggu. Ibu tampak kaget saat pertama kali melihat Mas Hanif. Untuk kaget karena apa, aku kurang tahu. Yang jelas, kekagetan Ibu tertangkap manik mataku. Seperti biasa, awal-awal masih basa-basi. Tidak ada obrolan yang spesial. Aku juga bersyukur karena Mas Hanif cukup responsif dan tidak bicara seirit itu. “Jadi, Nak Hanif sudah lama jadi dosennya?” “Sudah, Tante. Sejak saya lulus S2, langsung ngajar. Tapi kemudian pindah kampus di tengah-tengah ambil S3.” “Udah berapa tahun kalau yang univ sekarang?” “Empat tahunan, Tante.” “Oh, ya udah lumayan, ya?” “Iya.” Mas Hanif mengangguk, lalu tersenyum seperlunya. “Bu, yogurt yang di rak atas ini di mana, ya?” tiba-tiba terdengar suara Kavi dari arah dapur. “Ya mana Ibu tahu. Kamu yang naruh, kok, tanya Ibu?” “Dimakan Mbak Da, pasti!” “Emang!” sahutku santai. “Masih ada, lho, satu. Kan tadinya ada dua.” Dalam hitungan detik, Kavi menampakkan dirinya. Kupikir dia akan marah-marah, tetapi ternyata dia malah membelalakkan mata kaget. “Om Hanif?” Hah? Kavi kenal Mas Hanif? Kenapa sampai memanggilnya Om? “Jadi, pacarnya Mbak Da itu Om Hanif?” “Kamu kenal Mas Hanif dari mana?” aku juga ikut kaget dengan reaksi Kavi. “Kavi pacarnya keponakan Mas, Da.” “Pacar?!” kini, Ibu yang membelalakkan mata. “Kavi, kamu berani pacaran di belakang Ibu?” “E-enggak! Aku sama ponakan Om Hanif berteman aja, kok.” “Sejak kapan cuma berteman, tapi gandengan tangan dan saling menyimpan kontak dengan emoticon love?” Kavi memejamkan mata. “Om Hanif ini—” “Aku memang sengaja bilang, Vi. Kamu sama Zara sama-sama bebalnya. Anak sekolah jangan pacaran dulu. Dibilangin sama-sama ngeyel.” “Vi, urusanmu sama Ibu nanti. Sana masuk kamar lagi.” “Ya!” Kavi cemberut, tetapi dia tetap patuh dengan perintah ibu. “Terima kasih, Nak Hanif. Untung Nak Hanif bilang. Kami memang melarang keras kalau masih sekolah, kok, pacaran.” “Sama-sama, Tante.” “Nanti Kavi dendam, Mas,” balasku pelan, tetapi sedikit dikeraskan. “Biarin. Mas enggak takut. Orang udah lama Mas peringatin mereka. Sama-sama bebalnya. Zara juga udah Mas laporin ke Mamanya.” “Ah, gitu.” Aku sadar kalau Ibu memperhatikan cara bicaraku dan Mas Hanif. Justru memang ini yang kuinginkan. Apalagi, Mas Hanif cukup bagus dalam menjawab pertanyaanku barusan. Kuharap, setelah ini Ibu tidak lagi menaruh curiga berlebihan. “Sekali lagi terima kasih Nak Hanif. Nanti Tante biar tegur dia.” “Iya, Tante. Sama-sama.” Karena ini pertemuan pertama, tidak banyak yang kami bicarakan. Hanya basa-basi dan beberapa pembahasan yang kiranya diperlukan. Aneh juga kalau belum-balum langsung bahas terlalu jauh. Ayah pun banyak diam. Beliau hanya bertanya beberapa pertanyaan saja. Mungkin beliau masih dalam tahap mengamati. Kalau Ibu, sejak awal memang cenderung lebih aktif. Akhirnya, Mas Hanif pamit pulang saat jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Aku ikut keluar dan mengantarnya menuju mobil. “Akhirnya, lega juga. Ibu sama Ayah kayaknya enggak curiga.” “Sepertinya memang enggak.” “Ya sudah. Mas Hanif hati-hati pulangnya. Terima kasih untuk malam ini.” Aku tersenyum. “Ya. Sama-sama.” Aku tetap berdiri di tempat menunggu Mas Hanif masuk mobil dan pergi. Namun, ternyata dia malah berhenti tepat di depanku. “Kenapa, Mas?” tanyaku dengan mata menyipit. “Ada yang ketinggalan?” “Kamu maju bentar.” Aku menatapnya bingung, tetapi patuh. “Kenapa?” “Lain kali gantian kamu yang datang ke rumah orang tua Mas, Da.” “H-hah? Buat apa? Kan kalau tugasku yang penting di depan Bu Lala.” Aku memelankan suara di ujung kalimat. “Kenapa jadi bawa-bawa orang tua Mas Hanif segala?” “Mas hanya merasa kita belum impas.” Sejujurnya, masih ada titik-titik aku belum terbiasa tiap kali Mas Hanif menyebut dirinya Mas. Ini terlalu nyata untuk jadi pura-pura. Aku juga tidak tahu kenapa harus merasa seperti itu. “Belum impasnya kenapa?” “Kapan-kapan Mas jelasin. Mas pulang dulu.” “E-eh, tapi—” Terlambat. Mas Hanif sudah kembali menjalankan mobilnya dan menghilang di belokan ujung jalan. Alih-alih langsung masuk, aku terdiam cukup lama di luar. “Belum impas, katanya? Kenapa dia tiba-tiba bilang gitu? Apa dia butuh alasan lagi untuk memanfaatkanku? Atau jangan-jangan orang tuanya juga akan menjodohkannya? Ah, bodoamat-lah!” Akhirnya, aku masuk rumah dan bergegas menuju kamar. Aku lekas ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Setelah ini aku ingin langsung tidur. Hari ini aku sudah banyak belajar, jadi aku ingin meredam otak agar besok kembali fresh. Baru saja aku merebah setelah aktivitas malamku selesai, aku sudah melihat story w******p Mas Hanif yang dibuat satu menit yang lalu. Ini adalah pertama kalinya aku melihat dia membuat story sejak aku menyimpan nomornya. “Apa, ini?” Dia memotret sebuah bangku taman. Bangku itu kosong, tetapi terlihat banyak orang yang sedang jalan di sekeliling. Foto itu seperti sengaja di-blur dan hanya dipusatkan pada bangku. Tidak hanya foto, dia juga membubuhkan caption: ‘The second chance has come’. Mataku seketika menyipit. “Kesempatan kedua telah tiba? Apa maksudnya?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD