“Gimana UKMPPD kemarin, Da?” tanya Ibu ketika melihatku hanya merebah sembari menonton TV di ruang tengah. Sejak tadi memang aku betah bermalas-malasan.
“Anggap aja aman, Bu. Aku pasrah.”
“Ya kan ada kira-kiranya. Kamu kesusahan atau enggak?”
“Susah, tapi enggak yang banget-banget. Berusaha optimis. Insyaallah lulus oneshot.”
“Gimana dengan Shenna?”
“Waduh! Dia kasihan, Bu. Waktu CBT dia sakit. Dia pesimis, tapi ya masih ngarep lulus.”
“Ya udah, Ibu doain yang terbaik buat kalian.”
“Aamiin.”
Selepas ujian yang berdarah-darah itu, aku langsung menghibur diri dengan berbagai hal. Mulai dari makan enak, main game, juga nonton drama yang sedang ramai diperbincangkan. Yang jelas, aku memberi apresiasi pada diri sendiri yang sudah belajar mati-matian selama berbulan-bulan.
Aku tidak ingin memusingkan hasil. Jika langsung lulus, bagus. Jika tidak, ya tidak apa-apa. Aku akan mencobanya lagi periode depan. Aku mencoba membentengi diri dari rasa khawatir yang berlebihan karena itu hanya akan merugikanku.
“Kavi masih marah sama kamu, Da?” Ibu kini duduk di dekatku.
“Enggak, kok, Bu. Kami udah ngobrol lagi. Aku sogok dia pakai hape baru.” Aku terkekeh pelan.
“Kok kamu punya uang?”
“Punyalah. Aku kan giat menabung.”
“Heleh!” Ibu mencibir pelan. “Tapi kok bisa, ya, Da, kebetulan gitu? Bisa-biasanya pacar Kavi itu keponakan Hanif?”
“Udah mantan kalau kata Kavi. Mereka udah putus.”
“Ya itulah intinya. Kok bisa kebetulan banget kalian ini.”
Aku mengedikkan bahu pelan. “Entah, Bu. Aku pun enggak nyangka. Aku juga baru tahu kemarin. Soalnya aku belum tahu Mas Hanif punya keponakan berapa dan siapa aja.”
“Ibu dengar dari Isna, Hanif lebih tua dari dia, ya? Mana agak jauh.”
Aku mengangguk. “Iya, memang.”
“Kamu kok suka sama laki-laki yang jauh lebih tua, Da?”
“Apa Ibu enggak suka sama Mas Hanif?” aku menoleh, menatap Ibu dengan ekspresi serius.
“Ibu sukalah sama dia. Anaknya ganteng, sopan, kalem. Ibu cuma kaget aja kalau dia udah tua. Wajahnya agak awet muda, ya? Ya kaya masih seumuran sama Isna.”
“Lumayan. Kalau aku, sih, dari awal nangkep kalau dia udah berumur. Tapi wajahnya itu emang bukan wajah tua, cuma kesan dewasanya dapat.”
“Coba kamu tanya dia. Kapan mau nyeriusin kamu?”
“Ih, Ibu, mah! Masa ngegas banget?”
Ternyata ujung-ujungnya ini. Ibu memang tidak pernah berubah.
“Lho, bukannya kalian udah LDR dari lama? Ngegas dari mana?”
“Santai dululah, Bu.”
“Enggak tahu kenapa, Da. Ibu takut aja kalau kamu cuma buat mainan.”
Mendengar itu, aku langsung bangun. “Mainan gimana?”
“Dia udah berumur, mapan, punya pacar cantik. Nunggu apa lagi?”
Tentu saja aku tersenyum mendengarnya. “Berarti aku cantik, Bu?”
“Iyalah! Kamu cantik! Anak Ibu pasti cantik.”
“Kapan-kapan aku tanya Mamas, deh. Kapan mau seriusin Adek.” Aku terkekeh, geli sendiri.
“Beneran, ya? Kalau bisa secepatnya, jangan kapan-kapan terus. Nanti ujungnya enggak jelas. Solanya kalau enggak jelas juga, Daniel masih menunggumu.”
“Ya ampun, Bu!” aku tidak bisa menyembunyikan rasa kesalku. “Please-lah! Case close soal Mas Daniel. Namanya Ibu enggak sayang aku, juga Ibu enggak bisa ngehargain Mas Hanif sebagai pacarku sekarang.”
“Ya makanya kamu lekas bilang ke Hanif buat kasih kejelasan. Jangan mau dijadiin pajangan doang.”
Duh, Ibu! Andai beliau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sandiwara ini juga tidak akan ada kalau beliau tidak memaksaku menuruti perjodohan yang beliau atur.
“Iya, Bu. Nanti kalau waktunya udah tepat, aku bilang Mas Hanif.”
“Tapi, Da …”
“Apa?”
“Kamu sama dia belum macam-macam, kan?”
Aku langsung mendelik. “Ibu, ih! Pertanyaannya, lho! Macam-macam apa?”
“Ibu yakin kamu pasti paham. Belum, kan?”
“Ya belumlah! Ibu anggap aku apaan? Aku bisa jaga diri baik-baik. Tinggal di Jakarta lama aja aku bisa jaga diri, apalagi sekarang di Semarang?”
“Ya siapa tahu kalian khilaf? Kan sekarang deketan tinggalnya. Kalau mampir hotel bentar juga enggak ketahuan.”
“Oh … atau Ibu berharap kami gitu?”
“Ya jangan! Ibu coret kamu dari KK kalau sampai hamil di luar nikah!”
“Enggak, Bu, enggak. Tenang aja! Prinsipku kuat soal s*x after married.”
“Ya udah, bagus kalau gitu.” Ibu tiba-tiba berdiri. “Ibu mau keluar bentar. Ingat kalimat Ibu tadi. Kalau ada kesempatan, lekas tanyain Hanif kapan akan seriusin kamu. Kalau kamu terlalu malu buat terang-terangan, kasih kode dulu.”
Aku menganguk. “Iya, Bu. Aku usahain.”
Begitu Ibu pergi, aku langsung merebah lagi di sofa. Aku memejamkan mata, lalu menarik napas berulang kali. Aku merasa tidak tahu harus bagaimana setelah ini.
Aku sudah terlanjur nyebur. Mau menyelam, aku tak pandai berenang. Mau naik, bajuku sudah terlanjur basah.
Ya sudahlah. Untuk kesekian kalinya, aku pasrah.
***
Satu bulan kemudian …
“Tiba-tiba banget, Mas Hanif ngajak kencan?” tanyaku ketika malam ini Mas Hanif menjemputku di depan rumah dan mengajakku makan di luar. “Emang di kampus aja enggak cukup?”
“Akan aneh kalau enggak ada dokumentasi sedikit pun kalau kita pergi keluar berdua.”
“Oh, bener juga, sih. Baiklah.”
Tak terasa, sudah dua bulan lebih sejak pertama kali aku dan Mas Hanif memutuskan untuk bersandiwara. Bahkan mungkin hampir tiga bulan. Entahlah, aku tidak menghitung pasti lamanya. Yang jelas, selama itu pula kami terus menjalankan akting sesuai kesepakatan awal.
Aku masih sering datang ke kampus, atau dia yang menjemputku di rumah dan mengajak makan di restoran dekat kampus. Intinya masih sama. Kami terlihat seolah menyembunyikan, padahal sebenarnya sedang menunjukkan.
“Kamu mau makan apa?” tanya Mas Hanif begitu kami masuk mobil.
“Pengennya mie, jujur. Yang pedes. Biar peningnya hilang.”
“Apa korelasi antara pening dan pedas?”
“Sensasinya.” Aku menjawab asal, lalu mengenakan sabuk pengaman.
Sejujurnya, tiap kali aku masuk mobl Mas Hanif, aku selalu merasa aneh. Tidak, mobilnya tidak bau. Wangi sekali malah. Hanya saja, aku seperti pernah mencium wangi ini entah di mana.
Ataukah parfumnya sama dengan seseorang? Ataukan pewangi mobilnya pasaran? Aku juga tidak yakin.
“O-oh iya! Mumpung aku ingat, Mas. Nanti sekalian antar beli sepatu, ya? Biar aku enggak keluar dua kali. Kalau keluar sendiri suka lupa mulu soalnya.”
“Lokasinya di mana?”
“Nanti aku tunjukin.”
“Oke.”
Kisaran lima belas menit kemudian, aku dan Mas Hanif tiba di depan sebuah resto yamie. Aku tidak tahu apakah yamie di sini enak atau tidak, tetapi kami memutuskannya lewat rating google. Empat titik tujuh harusnya cukup baik.
“Wow! Ramainya!”
“Itu ada yang kosong.” Mas Hanif menunjuk salah satu meja yang ada di tengah.
“Oh, iya.”
“Kamu cepat ke sana. Biar Mas yang pesan.”
“Aku mau yang jumbo, Mas. Topping-nya jamur dan daging. Gambarnya yang paling sudut. Apa itu namanya? Enggak begitu kelihatan.”
“Oke. Nanti Mas bilang.”
“Mas Hanif mau yang mana?”
“Ikut kamu saja.”
“Lagi? Kenapa kalau bareng aku hampir selalu sama menunya?”
“Biar Mas tahu seleramu.”
Deg!
“Ehm!” aku berdehem pelan. “Ya udah, terserah.”
Sebelum aku menunjukkan kecanggunganku, aku langsung ngacir menuju meja yang masih kosong. Aku mengusap dadaku yang tiba-tiba berdebar.
“Sadar, Rizda! Enggak banget, gitu doang baper. Iyuuuh!”
Aku menatap ke arah kasir, melihat Mas Hanif yang masih antre. Sejak pertama kali kami makan bersama, memang selalu dia yang bayar. Dia bilang, soal keluar bersama selalu menjadi kepentingannya, jadi dia harus bertanggung jawab.
Kalau dipikir lagi, memang benar. Aku tidak terlalu perlu pembuktian di luar. Aku hanya perlu orang tuaku tahunya aku punya pasangan. Beda dengannya, karena dia butuh membuktikan ke teman-temannya, yang tentu saja bisa ketemu sewaktu-waktu dan di mana pun itu.
Beberapa bulan ini, kami memang jadi lebih dekat. Segala kecanggungan kutepis sebisa mungkin. Aku juga selalu mengingat kalau kami hanyalah kakak dan adik. Kebetulan juga, aku anak sulung dan Mas Hanif anak bungsu.
Ya sudah. Pas sekali, kan?
“Untukmu, Mas pesankan level tiga. Level tertinggi.”
“Oke.”
Begitu pesanan datang, aku langsung mengambil ponsel. Mas Hanif menatapku, dan aku langsung nyengir.
“Sayang banget, dong, enggak dipamerin. Udah effort keluar, nih! Nanti Ayah sama Ibu biar lihat.”
“Ide bagus.” Mas Hanif ikut mengeluarkan ponsel dan memfoto dari sudut pandanganya. “Cukup untuk dokumentasi kalau diperlukan.”
Baru juga satu menit aku pasang story, tiba-tiba sudah ada panggilan datang. Mataku langsung mendelik lebar karena kaget.
“Ya ampun! Aku lupa enggak hide Shenna!”
“Shenna siapa?”
“Nanti aku kasih tahu.”
Aku mengusap dadaku, lalu mengangkat panggilan Shenna.
“Hallo, sayangku?”
“Oh, jadi gitu sekarang. Punya gebetan enggak mau bilang?”
“G-gebetan apa? Enggak, kok. Aku lagi makan sama adikku. Si Albi!”
“Sejak kapan Albi punya tangan sekekar dan berotot gitu? Albi kan kurus. Otot dia belum terbetuk.”
Aku memejamkan mata sejenak. Berpikir.
“Da? Hallo? Ngaku, cepet!”
“Besok kalau kamu lamaran, aku mau datang ke Jakarta. Nanti aku cerita di sana. Hehehehehe.”
“Beneran, ya?”
“Iya, enggak enak kalau cerita di telepon.”
“Ya udah.”
Akhirnya, Shenna menghentikan panggilannya. “Aduh! Hampir, aja!”
“Kamu beneran penyuka sesama jenis, Da?”
“Lah! Kenapa malah tanya itu lagi?”
“Kenapa manggilnya sayang?”
“Ya ampun, Mas! Ini mah panggilan biasa aja.”
“Waktu di bandara itu juga dia?”
“Mas Hanif ingat?”
Dia mengangguk. “Ingat.”
“Iya, dia. Kami berteman sejak SMA. Kuliah satu jurusan, koas satu rumah sakit. Makanya kami ini udah kaya anak kembar beda ayah dan ibu.”
“Oh, jadi begitu.”
“Udah kubilang, Mas, aku ini normal. Aku penyuka lawan jenis.”
“Ya. Ya sudah.”
Akhirnya, kami makan dengan tenang. Tidak banyak yang kami obrolkan karena Mas Hanif masih belum seresponsif itu. Ya, meski kurasa dia sudah jauh berkembang daripada saat awal.
“Kamu jadi beli sepatu, kan?” tanya Mas Hanif begitu makanan kami sama-sama habis.
“Jadi, Mas.”
“Oke. Sekarang kita keluar.”
Saat kami berjalan beriringan menuju mobil yang parkir di ujung, aku merasakan ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari Wika. Wika adalah teman koasku saat di Jakarta. Dia sudah lulus UKMPPD periode kemarin, yakni saat aku memang belum ikut karena suatu alasan.
Wika
Da, pengumuman UKMPPD periodemu udah ada.
Dimajukan sehari.
Langkahku seketika terhenti. Aku membaca pesan itu sekali lagi. “Serius, ini?”
“Kenapa, Da?”
“Mas, buruan ke mobil.”
Aku meraih lengan baju Mas Hanif dan menariknya cepat-cepat menuju mobil. Parkiran resto ini cukup luas dan kami kebagian agak jauh dari pintu masuk.
“Pengumumanku udah ada ternyata. Harusnya besok. Diajukan sehari.”
“Pengumuman apa?”
“UKMPPD.”
“Apa itu?”
“Intinya, uji kompetensi dokter. Kalau ini belum lulus, aku belum bisa ikut sumpah dan belum bisa internship juga. Aduh! Deg-degan banget!” Aku jongkok untuk mengurangi gemetar yang tiba-tiba datang. “Aku belajar berbulan-bulan demi ini. Maaf, kalau agak lebay.”
“Mau Mas bantuin?”
“B-bentar, Mas.” Aku membuka situs pegumuman dan mencari link-nya. Setelah itu, aku menyerahkan ponselku pada Mas Hanif. “Tolong cariin namaku ada atau enggak. Jangan buru-buru. Cari baik-baik. Rizda Diany Ekawira.”
“Rizda Diany Ekawira. Oke, tunggu.”
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan selagi Mas Hanif membukakan pengumuman untukku. Aku tidak peduli jika dikata berlebihan atau apa pun itu. Aku benar-benar deg-degan parah saat ini.
Meski bulan lalu saat Ibu tanya tentang UKMPPD jawabanku terkesan santai, aslinya tidak seperti itu. Sudah kubilang, saat itu aku hanya sedang mecoba mengurangi rasa cemas dan khawatir. Kini aku tidak bisa lagi menahan diriku untuk tetap tenang.
“Gimana, Mas? Lulus atau enggak? CBT dan OSCE harus lulus semua kalau mau dinyatakan lulus. Kalau salah satu enggak, artinya enggak.”
“Kayaknya salah satu enggak—”
“Beneran?” air mataku seketika menetes begitu saja. Aku berdiri dengan badan yang semakin gemetar.
“Kamu menangis?”
“E-enggak, kok.” Aku buru-buru mengusap air mataku.
“Mas bercanda, Da. Dua-duanya lulus. CBT dapat 86.50, OSCE-nya 85.63. Keterangannya lulus.”
“Y-yang bener?”
Mas Hanif menunjukkan layar ponselku. Dia mem-block namaku di sana. “Rizda Diany Ekawira, kan?”
“Aaaak, beneran lulus! Akhirnya aku bisa oneshot!”
Karena terlalu bahagia, aku refleks memeluk Mas Hanif. Awalnya aku tidak sadar, sampai akhirnya aku kaget sendiri dan segera melepaskan diri. Namun, ternyata Mas Hanif malah menahanku.
“M-mas—”
“Selamat, Da,” ujarnya pelan.
Aku tersenyum. “M-makasih. Tapi bisakah Mas Hanif lepasin tangannya?”
***