3. Terjebak

2226 Words
“Enggak perlu manggil Pak lagi. Berhenti pura-pura. Lebih baik kita jujur aja.” Pak Hanif tiba-tiba duduk di sebelahku. Tepatnya di depan Bu Lulu. Dia mengedarkan pandangan sambil tersenyum. “Awalnya saya merasa, soal pasangan enggak perlu saya umbar. Jadi, selama ini memang saya diam saja. Tapi mumpung calon istri saya ada di sini, saya ternyata tidak tahan kalau hanya diam seolah-olah enggak kenal.” Aku menatap Pak Hanif setengah melongo. Serius, aku masih blank parah. Ini terlalu mendadak. Kalau aku langsung menolak dan bertindak onar di sini, itu juga bukan pilihan yang bagus. Namun, mengiyakan semua ini juga rasanya tidak bisa. Bagaimana mungkin aku tiba-tiba diakui sebagai … apa katanya barusan? Calon istri? Ewh! “Kamu masih kaget, Da? Maaf, Mas ingkar janji.” “W-wah, wah, wahhh!” Bu Ami yang sempat menutup mulut karena terkejut, akhirnya menurunkan tangannya. “Mbak Rizda ini, lho! Jago banget aktingnya! Barusan ikut ngomongin Pak Hanif, ternyata di belakang kalian menjalin hubungan serius. Udah calon istri, katanya. Pantas aja, sejak kalian masuk kok saya merasakan aura yang aneh. Apa Bu Isna sudah tahu tentang ini?” “Belum,” jawab Pak Hanif cepat. “Kami sudah agak lama LDR karena Rizda tinggal di Jakarta. Teman-teman di Semarang rata-rata belum tahu.” “Walah, walah! Pak Hanif ini diam-diam menghanyutkan!” balas dosen yang duduk di depan, entah siapa namanya. “Mbak Rizda masih kaget banget, ya ampun!” “I-itu, Bu—” kalimatku terhenti saat Pak Hanif dengan beraninya meraih tanganku. “Biar Mas aja yang jelasin. Tapi enggak sekarang. Kamu pulang aja. Tugasmu udah selesai.” “Waduh, waduh! Seorang Pak Hanif bisa so sweet juga ternyata!” Bu Lulu meledek. “Ayo, Mas antar pulang. Sekali lagi Mas minta maaf karena udah ingkar janji.” Pak Hanif tiba-tiba berdiri. Dia setengah menarikku, dan akhirnya aku pun ikut berdiri. “Saya minta maaf kalau agak bikin gaduh. Saya antar Rizda pulang dulu, Pak, Bu.” “Iya, Pak. Hati-hati, lho! Nanti calon istrinya lecet.” Pak Hanif mengangguk pada semua dosen lalu mengajakku keluar. Aku yang masih setengah blank, hanya bisa pasrah. Pasrah karena bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Tangan Pak Hanif langsung terlepas begitu kami tiba di pintu keluar utama. Mungkin karena di luar akan banyak mahasiswa. “Saya akan bertanggung jawab atas apa yang barusan saya lakukan. Saya juga akan memberi imbalan apa pun yang kamu mau,” ujarnya pelan yang langsung kuangguki. Anggukan ini juga termasuk dalam reaksiku yang masih blank karena kaget. Dengan kondisi yang linglung, aku mengekori Pak Hanif sampai akhirnya kami tiba di parkiran. Saat ini otakku masih sulit untuk mencerna karena tadi kaget luar biasa. “Saya minta maaf untuk yang barusan.” Dug! “Awh!” Aku menubruk punggung Pak Hanif karena dia berhenti mendadak. Aku mundur, lalu mendongak. “Saya minta maaf untuk yang barusan,” katanya lagi. “Tunggu! Saya atur napas dulu. Saya masih kaget. Kaget banget!” Aku menarik napas berulang kali sampai merasa lebih tenang. Pak Hanif berdiri diam di depanku. Dia menunggu. “Kamu minta imbalan apa? Saya akan kabulkan selagi saya bisa. Tolong mintalah yang masuk akal dan kiranya bisa saya kabulkan.” “Sebelumnya, memangnya kita kenal? Siapa yang menolak berkenalan waktu itu?” aku tidak tahan kalau tak membahas soal bandara. Pasalnya, orang ini benar-benar tak tahu terima kasih. “Saya minta maaf,” balasnya lirih. “Apa? Kurang keras.” “Saya minta maaf. Untuk yang waktu itu, juga untuk yang barusan.” “Sebenarnya—” “Bisa kita ngobrol di mobil saja?” dia memotong kalimatku. Dia juga mengedarkan pandangan. “Di sini agak tidak aman.” “Saya bawa mobil sendiri. Enggak perlu diantar pulang. Lagian emang butuh ngobrol seberapa banyak sampai harus masuk mobil segala? Di sini saja cukup.” Aku ikut mengedarkan pandangan. “Toh sepi.” “Ok. Lalu? Kamu mau minta apa untuk imbalan atas apa yang sudah saya lakukan tadi? Jangan sampai pacarmu tahu. Saya akan bertanggung jawab tanpa melibatkanmu lagi.” “Wait!” mataku menyipit. “Pacar? Sotoy banget kalau saya punya pacar?” “Memangnya enggak?” “Memangnya penting saya jawab?” “Beneran enggak?” Aku diam. Harusnya diamku sudah cukup untuk menjawab pertanyaannya. “Ah, bagus kalau gitu.” Pak Hanif tiba-tiba tersenyum. “Apa senyum-senyum? Mau ngeledek? Sebenarnya, pengakuan Pak Hanif tadi enggak berpengaruh banyak ke saya. Karena apa? Saya bahkan bukan dosen di sini. Saya ke sini karena gantiin Mbak Isna saja. Saya justru mau tanya, memangnya yang tadi itu keputusan yang benar? Hanya demi menghindar dari Bu Lala, Pak Hanif rela berbohong sebesar ini.” “Bu Ami dan Bu Lulu cerita?” Aku mengangguk. “Iya. Kenapa Pak Hanif enggak mau sama Bu Lala? Dia cantik, katanya juga berprestasi. Tinggal mau aja, kenapa?” “Itu bukan poin utamanya. Cepat katakan kamu mau apa? Kamu enggak perlu memikirkan nasib saya di mata dosen lain. Saya akan cari cara.” Aku mencibir pelan. “Siapa juga yang mau mikirin! Oke, kalau nantangin, saya mau minta imbalan yang banyak. Pertama, Pak Hanif sudah bikin saya kaget. Kedua, Pak Hanif berani akuin saya sebagai calon istri. Ketiga, tadi Pak Hanif bikin saya kaya orang bodoh. Jadi, saya mau minta tiga permintaan sekaligus.” “Serakah sekali, kamu!” “Enggak ada yang nyuruh buat ngakuin orang serakah macam saya ini jadi calon istri. Salah sendiri ngaku-ngaku!” “Ya sudah, apa?” “Jujur, saya belum kepikiran. Kapan-kapan saja saya bilangnya.” “Kamu mau menghubungi saya lewat apa?” “Mana hape-nya Pak Hanif?” Kedua alis Pak Hanif menekuk, lalu dia menyerahkan ponselnya padaku. Aku juga menyerahkan ponselku padanya. “Tulis nomor masing-masing.” “Ya.” Setelah selesai, kami mengembalikan ponsel satu sama lain. “Tolong kasih nama Rizda Cantik, Calon Istri Tercinta.” “Kamu gila.” Aku tersenyum. “Siapa yang tadi ngakuin orang gila macam saya ini sebagai calon istri?” “Wah … saya tiba-tiba menyesal.” Tadi aku dibilang serakah, kini aku dibilang gila. Alih-alih jengkel, aku malah puas karena membuatnya agak kesal. “Saya bercanda aja!” ucapku akhirnya. “Saya akan hubungi Pak Hanif kalau sudah kepikiran ingin apa. Pak Hanif juga bisa hubungi saya kalau memang ada perlu. Tapi kalau chat cuma mau godain saya, nomor Pak Hanif saya block!” Pak Hanif geleng-geleng kepala. Tampak tak habis pikir dengan ucapanku. Jujur, aku sengaja melakukan ini. Setidaknya aku harus membalas sedikit saja atas apa yang sudah dia lakukan padaku. Baik itu yang di bandara, ataupun tadi saat di ruang dosen. “Pak …” “Apa?” Aku maju satu langkah, lalu dalam hitungan tiga, kuinjak kakinya sekuat tenaga. Tidak hanya sekali, tetapi tiga kali berturut-turut. “Rizdaaa!” “Itu pelajaran buat orang yang suka seenaknya sendiri! Permisi!” Setelah mengatakan itu, aku berlari menuju mobilku yang parkir di ujung dekat jalan keluar. Sebelum masuk mobil, aku sempat menatap Pak Hanif penuh ledekan. “Syukurin! Emang enak!” *** Nomor yang kuberikan pada Pak Hanif itu palsu, jadi chat dari Pak Hanif tidak pernah datang. Nomor yang dia berikan padaku juga tak kusimpan, jadi aku tidak bisa menghubunginya. Kurasa, pembalasanku saat di parkiran sudah cukup. Toh kebohongannya itu tidak terlalu berpengaruh padaku. Kalau ketahuan bohong, Pak Haniflah yang paling kena imbas. Dia akan dicap pembohong oleh teman-teman dosennya. Kalau aku? Aku bahkan belum tentu akan menginjakkan kaki di ruang dosen itu lagi. Kalau Mbak Isna kembali minta tolong, akan kutolak. Satu minggu sudah berlalu sejak hari itu, dan aku tidak mendapat efek apa-apa dari kebohongan Pak Hanif. Mbak Isna pun sudah berangkat ke kampus dan dia tidak menanyaiku. Mungkin saja Pak Hanif sudah berhasil mengatasi kebohongannya. Entahlah, bagian ini sebenarnya aku juga tidak yakin. Asumsi paling masuk akal, Pak Hanif jujur ke semua dosen fisika dan minta maaf atas semua kebohongannya. Tentu saja, itu dilakukan saat Bu Lala tidak ada. Maka, semua masalah selesai. Toh dosen fisika juga sudah banyak yang menunjukkan kalau mereka tidak menyukai Bu Lala. Tidak hanya Bu Ami dan Bu Lulu yang duduk di dekatku, kulihat dosen yang lain pun seperti sudah sama jengahnya. “Da! Kamu tidur atau enggak?” tiba-tiba, terdengar teriakan Ibu dari luar. “Enggak, Bu. Kenapa?” “Ayah sama Ibu mau makan di luar. Sekali-kali. Mau ikut atau enggak?” “Makan di mana?” “Ibu ikut Ayahmu, sih.” “Ikut, ikut! Tunggu sepuluh menit!” “Tampil yang cantik, kayaknya mau makan di restoran bagus. Biar enggak malu-maluin. Soalnya udah lama enggak makan di tempat kaya gitu.” “Iya, Bu! Kalau gitu lima belas menit, deh.” “Ya. Ayah sama Ibu tunggu di bawah, ya.” “Oke!” Aku melompat turun dari ranjang, lalu bergegas mencari pakaian yang cantik untuk keluar. Tentu aku akan mengenakan pakaian santai, tetapi yang cukup niat. Karena biasanya kalau Ayah dan Ibu sengaja pergi makan di luar— bukan yang sekadar mampir, mereka seringkali memilih resto yang proper sekalian. Jujur, aku juga rindu makan malam di luar dengan mereka. Sudah sangat lama sejak terakhir kali kami melakukannya. Biasanya yang mau ikut juga hanya aku. Kedua adikku lebih memilih main di rumah teman dan pulang malam. “Aku siap, aku siap, aku siap!” ujarku sembari menuruni tangga. Benar saja, Ayah dan Ibu sudah menunggu di ruang tamu. “Pasti yang ikut cuma aku, kan? Albi sama Kavi enggak?” “Mana mau, mereka.” “Ya udah. Enggak papa. Mereka udah sering makan sama Ayah dan Ibu. Aku mau puas-puasin selagi di rumah.” “Kok puas-puasin? Kamu enggak boleh berangkat ke Jakarta lagi setelah ini—” “Lho!” “Kecuali untuk keperluan yang penting. Kalau buat menetap, enggak—” Kalimat Ibu berhenti saat Ayah menyentuh lengan beliau. “Itu bahas nanti aja waktu santai. Sekarang ayo berangkat. Ayah udah laper.” “Ya udah.” Sebenarnya aku tidak kaget dengan kalimat Ibu karena beliau sudah menyinggung beberapa kali sejak aku masih koas di Jakarta. Namun, memang, belum ada obrolan empat mata yang betul-betul serius. Obrolan itu masih sekilas dan baru via telepon. Hal itu tidak membuatku jadi hilang mood karena sebenanrya aku sudah siap. Mungkin sudah saatnya aku menetap di Semarang karena sudah lama sekali aku meninggalkan kota kelahiranku ini. Ya, lihat saja nanti. Untuk masalah ini, akan kucoba untuk kooperatif dengan Ayah dan Ibu. *** “He? Kita makan di resto ini?” Aku cukup kaget ketika Ayah memarkirkan mobilnya di halaman resto bergaya western. Resto mewah yang terkenal salah satu paling mahal di Semarang. Air mineral saja bisa seharga nasi padang pinggir jalan. Terlepas dari itu, jenis restorannya yang lebih membuatku kaget. Pasalnya, setahuku baik Ayah maupun Ibu adalah pecinta masakan-masakan tradisional yang sangat Indonesia. Ibu apalagi. Ibu selalu mengaku dulu beliau orang susah sebelum menikah dengan Ayah. Jadi, lidah beliau sudah ter-setting lidah ndeso. Ayah pun meski anak orang berada juga bukan tipe yang kebarat-baratan. Beliau kuminta mencoba spageti saja hanya kuat makan tiga sendok. Lalu ini? Kenapa tiba-tiba mereka mengajakku makan di restoran bertema western? Apa sejak aku tinggal di Jakarta, perlahan-lahan mereka mulai berubah? Siapa yang mengubah mereka? “Kenapa kok kaget gitu? Ini bukan restoran sembarangan,” ucap Ibu yang menyadari kekagetanku. “Ya justru itu. Sejak kapan Ayah sama Ibu suka makan di restoran western yang menunya aja belibet dibaca? Bukannya Ayah sama Ibu lebih suka makan nasi goreng babat daripada spageti? Bukannya Ayah sama Ibu juga lebih suka ayam geprek dan penyet daripada steak? Terus? Kenapa pilih ini?” “Ya justru karena ini makan malam yang jarang-jarang, makanya kami sengaja pilih menu di luar kebiasaan.” Kedua alisku langsung menekuk. “Perasaan dulu-dulu enggak gini, deh. Makan malam di luar kebiasaan juga kayaknya pilih menunya itu-itu aja. Paling restonya aja pilih yang lebih oke.” “Udah, udah! Ayo, keluar dulu!” “Ya udah, iya. Tapi dihabisin, lho, Bu, Yah! Kalau dimubadzirin, aku marah. Di luar sana banyak orang yang enggak bisa makan.” “Iya. Kamu ini malah nyeramahin Ibu sama Ayah.” “Ya habisnya! Aku masih ingat Ibu lepehin saus spageti karena enggak doyan.” “Kali ini Ibu enggak akan pesan spageti—” “Udah, lho!” Ayah menengahi. “Ayo, turun! Malah berdebat terus.” “Ya habisnya Ayah sama Ibu ini aneh.” Akhirnya, kami bertiga bergegas keluar mobil. Kalau aku jelas tidak masalah sama sekali makan di resto ini karena selama di Jakarta aku sudah sering makan makanan western. Kebetulan, baik aku ataupun Shenna sama-sama menyukainya. “Oh, itu! Kita duduk di sana.” Saat melihat arah yang Ayah dan Ibu tunjuk, mataku seketika mendelik. Bagaimana tidak? Ternyata, aku dijebak! Perjodohan yang kukira tidak jadi, ternyata jadi. Makan malam ini akan menjadi perantaranya. Di sana, sudah ada sepasang suami istri paruh baya dan anak laki-lakinya. Mereka kompak tersenyum pada kami. “Ayah, aku mau pulang—” “Jangan! Kalau berani pulang sekarang, besok ATM-mu semuanya Ayah sita.” “Yaaah … aku enggak mau dijodohin!” “Kenalan dulu. Urusan mau atau enggak, itu belakangan!” Ayah dan Ibu sudah tidak bisa lagi ditawar. Mau kabur tidak mungkin karena aku belum bisa hidup mandiri tanpa uang saku dari Ayah. Aku belum kerja. Jangankan kerja, ujian kompetensi saja belum. Aduh! Bagaimana, ini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD