4. Sepercik Ide

2018 Words
Namanya Daniel. Dia tampan, tinggi, dan terlihat bersih. Secara fisik, harusnya dia tipeku. Namun, aku tidak mau. Aku benar-benar tidak mau! Terlebih, setelah dia memperkenalkan diri dan langsung menyebutkan pangkatnya. Aku semakin illfeel saja. Maksudku, pangkat tidak perlu dibawa-bawa dulu di perkenalan pertama— ralat, kalimat pertama. “Saya Briptu Daniel. Senang berkenalan denganmu, Rizda.” Begitulah dia memperkenalkan diri padaku. Kenapa belum-belum saja, dia langsung bawa-bawa pangkatnya? Aku bahkan tidak tahu dan tidak hafal bagaimana tingkatan pangkat di kepolisian. Apakah itu sudah tinggi atau masih rendah, aku tidak tahu dan tidak pula ingin mencari tahu. Untuk kesekian kalinya kutekankan, aku tidak ada sentimen dengan profesi polisi. Ini benar-benar hanya preferensi pribadi. Itu saja, andai dia bisa lebih menjaga hasrat ingin pamernya atau dia bisa memikatku dengan pengetahuannya, pandanganku bisa saja berubah. Tapi ini? Belum-belum saja, dia sudah tekesan pamer. Kenapa aku berani menyebunya begitu? Siapa orang di dunia ini yang langsung menyebutkan profesi atau pangkat pekerjannya di kalimat pertama ketika perkenalan dengan lawan jenis? Tidak ada urgensi sama sekali! Dengan sendirinya, pekerjaan pasti akan ketahuan juga kalau sudah ngobrol panjang dan lebar. Iya, kan? Dia juga terkesan terlalu membanggakan diri. Aku benar-benar tidak suka dengan laki-laki yang punya bibit-bibit NPD sepertinya. “Kalau di drama-drama itu, polisi dan dokter terlihat cocok.” Sialan! Dia mulai lagi. Pak Polisi, tolong tangkap anak buah satu ini untuk berhenti pamer! Aku tahu, tidak semua polisi seperti manusia ini. Dia hanya oknum, tetapi bisa membentuk penilaian atau stigma buruk di masyarakat. Terutama masyarakat yang sepertiku. “Iya, memang cocok. Tapi di drama aja. Kalau di real life enggak.” Dia menoleh, tampak agak tersinggung. “Kamu kelihatannya enggak suka saya, Rizda?” “Bukan enggak suka, kok, tapi kan kita masih baru pertama kali ketemu. Saya masih canggung. Hehehe.” Aku sedang berusaha untuk tetap sopan karena bagaimanapun, aku datang bersama kedua orang tuaku. “Kita bisa kenalan lebih dalam. Saya enggak buru-buru ingin menikah. Tapi kalau bisa sebelum tahun ini berakhir. Menurutmu bagaimana? Nanti pernikahan kita akan bertema negeri dongeng, tapi saya akan tetap memakai saragam.” Jujur, aku mulai lelah. Aku tidak kuat menghadapinya yang agak narsistik. Sejak tadi kami datang, dia terlihat sangat percaya diri kalau aku pasti mau dengannya. Sekilas, aku menatap marah pada Ayah dan Ibu yang kini sedang berbicang-bincang mesra dengan orang tua Mas Daniel. Mereka tadi menyuruh kami untuk ngobrol berdua agar lebih kenal secara pribadi. Meski tidak menyukainya, aku masih cukup sopan untuk memanggil Daniel dengan sebutan Mas karena dia sudah berkepala tiga. Umurnya cukup jauh di atasku. “Rizda?” “H-hah?” “Kamu kok melamun? Kamu enggak mendengarkan saya?” “E-enggak, kok.” Aku nyengir. “Saya dengerin.” “Gimana rencana saya tadi?” “Terlalu jauh, Mas. Jangan bahas soal menikah dulu.” “Kamu kelihatannya enggak tertarik. Apa jangan-jangan kamu sudah ada pacar?” Ah! Kenapa aku tidak pura-pura sudah ada pacar saja? Iya! Harusnya begitu. “Hehehe … jujur, iya, Mas. Cuma saya enggak enak nolak ajakan orang tua.” “Tapi orang tuamu bilang kamu single. Kamu enggak pernah punya pacar sebelumnya.” Aduh! Ini pasti ulah Ibu! Ibu si paling detail kalau memberi informasi, bahkan informasi yang kadang tak penting sekalipun. “Enggak pacaran bukan berarti enggak suka sama lawan jenis, kan, Mas? Maaf, ya? Ada orang yang saya sukai.” “Sebentar! Kamu tadi bilang ada pacar, sekarang kesannya enggak. Jadi sebenarnya kamu sedang pacaran atau enggak?” Duh! Saking tidak konsennya, aku sampai tak konsisten. “Terlepas pacaran atau enggak statusnya, intinya ada laki-laki yang saya sukai.” “Dianya suka balik atau enggak? Kalau hanya kamu yang suka, lebih baik mundur. Pemenangnya akan selalu milik orang yang dia sukai, bukan yang menyukainya.” Double sialan! Kenapa aku merasa direndahkan secara tidak langsung? Seolah-olah, aku ini tidak pantas disukai. “Jangan tersinggung, Rizda. Dunia orang dewasa memang begitu. Harus lebih banyak realistis. Pilih yang pasti-pasti saja daripada yang masih abu-abu.” “Iya, Mas. Tapi kita kan masih baru kenal, ya? Itu artinya, kita juga masih abu-abu. Bagian mananya yang udah pasti?” “Kita memang masih abu-abu, makanya disuruh saling mengenal lebih dekat. Jujur, saya enggak ada waktu lebih untuk cari pasangan. Jadi, saya terima saja perjodohan ini. Tinggal kamu. Kalau kamu mau, menikah minggu depan pun saya siap. Saya memang tidak buru-buru, tapi kalau disuruh cepat, saya tetap siap.” Bukan main orang ini! “Pelan-pelan aja, ya, Mas. Beneran terlalu jauh kalau bahas pernikahan di pertemuan pertama. Jujur, saya enggak nyaman.” Mas Daniel mengangguk. “Baiklah. Saya yakin lain kali kamu pasti nyaman. Kamu hanya belum terbiasa saja dengan saya.” Terserah! Karena sudah lelah bicara ngalor ngidul dengan Mas Daniel, akhirnya aku menghampiri Ayah dan Ibu. Keempat orang tua menyambut kami dengan bahagia. Mas Daniel juga tampak bahagia-bahagia saja, padahal tadi aku sudah menolaknya secara halus dan tidak langsung. Itu juga kalau dia peka. Aku yakin sekali, manusia ini sedikit NPD. Dan semua orang juga tahu, memiliki pasangan NPD itu akan makan hati seumur hidup. Dia tidak mau disalahkan dan akan selalu merasa dirinya benar serta unggul dalam segala hal. Oh, sorry! Aku tidak mau menggadaikan sisa hidupku dengan laki-laki semacam itu. *** “Pokoknya aku enggak mau sama Mas Daniel! Titik. Aku balik Jakarta lagi aja kalau Ayah sama Ibu mau maksa!” Aku mengatakan kalimat itu dengan intonasi yang agak berapi-api. Pasalnya, aku sudah kesal maksimal. Aku sudah menolak sejak awal, tetapi Ayah dan Ibu masih saja cari celah. Kalau sudah seperti ini, bukankah jadi rumit? Orang tua Mas Daniel sudah bertemu denganku dan mereka tahunya aku mau. Mas Daniel juga sukanya denial. Sudah jelas aku terkesan menolak, tetapi dia tetap percaya diri seolah-olah aku mau dengannya dan akan menyukainya. Bagaimana kalau penolakanku diabaikan oleh mereka? “Kenapa kok enggak mau? Apa karena Daniel polisi?” “Bu, seengak pengennya aku nikah sama polisi, kalau orangnya masih masuk di aku, aku enggak papa. Aku masih mau mempertimbangkan. Masalahnya, Mas Daniel enggak bisa bikin aku suka. Yang ada malah bikin ilfeel. Orangnya kelewat pede! Sok ganteng!” “Lho! Emang anaknya ganteng! Objektif aja kalau nilai, Da. Jangan pakai sentimen pribadi.” “Ya ganteng, tapi enggak yang banget. Kelihatan bening dikit. Tapi itu aja enggak cukup. Anak ibu, lho, cantik. Aduhai gini!” “Heleh!” Ibu mencibir pelan. “Bu, serius. Aku enggak mau sama Mas Daniel. Bukan hanya karena dia polisi, tapi orangnya juga narsistik. Mana betah aku hidup sama orang begitu.” “Padahal baru ketemu sekali kok udah berani bilang kalau dia narsistik.” “Beneran, Bu. Untuk nilai narsistik atau enggaknya, sekali atau dua kali ketemu aja udah bisa lihat. Dan ini belum-belum aja udah bikin ilfeel. Apaan, baru kenal udah sebut pangkat. Mana aku enggak paham sama tingkatannya.” “Ehm!” Aku dan Ibu kompak menoleh ketika mendengar deheman Ayah. Beliau datang dari arah belakang, lalu ikut duduk bersama kami. “Da …” panggil Ayah kemudian. “Apa, Yah?” jawabku agak ogah-ogahan. “Kamu udah dari remaja ninggalin kami. Apa iya, begitu pulang masih mau membantah?” “Bukan gitu, Yah. Oke, aku emang enggak suka dijodohin. Tapi kalau orang yang mau dijodohin sama aku masih masuk kriteriaku, aku enggak papa. Mas Daniel kejauhan sama kriteriaku!” “Emang kamu maunya yang kaya apa?” “Yang enggak kaya Mas Daniel,” jawabku mantap. Itu membuat Ayah dan Ibu langsung saling pandang dan geleng-geleng kepala. “Kenapa enggak mau sama dia?” “Aku udah bilang ke Ibu semua alasannya. Nanti Ayah tanya sendiri. Lagian bentar, deh. Sebelum itu semua, aku mau tanya sesuatu dulu.” “Tanya apa?” “Ayah sama Ibu kenapa getol banget mau jodohin aku? Aku ini cukup cantik, kan, Yah, Bu? Aku belum punya pasangan karena sibuk kuliah dan lanjut koas. Aku juga masih muda. Kenapa diburu-buru buat nikah? Zaman sekarang, umur dua puluh tujuh lebih belum nikah aja enggak papa. Aku, lho, baru mau dua puluh lima.” “Kamu baru aja nyebutin alasan kenapa kami pengen jodohin kamu.” “H-hah?” aku melongo. Bingung. “Maksudnya?” “Kami tahu, jadi dokter itu sibuk. Kamu enggak ada waktu buat kenalan sama orang baru karena jadwalmu itu. Nah, ini mumpung kamu ada jeda. Selagi nunggu UKMPPD, kamu masih nganggur. Cuma belajar-belajar aja. Nanti habis UKMPPD juga masih nganggur sampai internship. Ada jeda berbulan-bulan sampai kamu kembali sibuk. Nah, sebelum kamu terikat sama pekerjaanmu, ini waktu yang tepat buat cari pasangan. Kalau enggak, nanti bakal ditunda-tunda terus. Ayah sama Ibu sudah lama melepas kamu di Jakarta sendiri, Da. Kali ini kami ingin kamu lekas punya suami biar ada yang jaga. Kami tenang aja kalau kamu udah ada yang ngurus. Terus, kami juga inginnya kamu dapat orang Semarang aja. Kami ingin dekat sama kamu. Enggak papa besok kalau enggak serumah lagi, tapi bisa sering jenguk kami. Kamu enggak tahu, kan, kalau Ibumu pernah dua kali operasi usus buntu saat kamu di Jakarta?” “Hah?” mataku seketika mendelik. “K-kok aku baru tahu?” “Kami enggak mau kamu khawatir. Kami enggak mau ganggu konsentrasimu kuliah.” Kini aku sudah bengong karena saking kagetnya. Serius, aku sama sekali tidak tahu kalau Ibu pernah terkena usus buntu. “Ayah sama Ibu sering banget kepikiran punya anak cewek tinggal jauh di sana. Mau ditarik, sudah terlanjur enggak bisa. Makanya sekarang kami minta kamu tinggal di Semarang. Menikahlah dengan orang Semarang. Kalaupun enggak, intinya yang mau tinggal di Semarang. Terserah Semarangnya mana aja.” Aku menunduk, memijat pangkal hidungku. Sebenarnya, apa yang Ayah katakan ada benarnya juga. Masa transisi dari koas ke internship ini memang waktu yang tepat untuk cari jodoh. Namun masalahnya, aku naksir orang saja tidak. Boro-boro mikir untuk menikah. Dijodohkan, aku memang tidak mau. Dengan polisi, aku semakin tidak mau. Tapi jika dijodohkan dengan polisi dan polisinya bukan seperti Mas Daniel, ada kemungkinan aku buka kesempatan. Karena aku juga sadar, pasangan yang betul-betul ideal itu sampai mati pun tidak akan pernah ada. Namun, hanya karena tidak ada bukan berarti aku akan menerima orang sembarangan. Oke, aku tidak harus menikah dengan orang yang kucintai. Tapi setidaknya, orang itu memiliki bibit-bibit yang bisa membuatku jatuh cinta di kemudian hari. Sedangkan Mas Daniel? Dia terlalu jauh. Sungguh! “Atau sebenarnya ada yang lagi kamu taksir, Da?” tanya Ayah beberapa saat kemudian. “Oh, iya! Apa kamu lagi suka orang? Atau malah pacaran diam-diam?” sambung Ibu. “Kalau iya, kenapa? Kalau enggak, kenapa?” tanyaku cari aman. Mau langsung bilang iya, bisa jadi bumerang. Mau bilang tidak, juga bisa jadi bumerang. Jadi, aku cari aman lebih dulu. Sembari kuikuti arah serta tujuan Ayah dan Ibu bertanya seperti itu. “Kalau memang ada, coba kenalkan ke kami. Kalau memang dia mau tinggal di Semarang, lalu bibit, bebet, dan bobotnya baik, kami akan mempertimbangkan. Syukur-syukur dia orang asli Semarang. Itu nilai plus. Tapi misal enggak ada sama sekali, ya kamu harus sama Daniel. Atau kami carikan lagi calon lain.” Oh, ya ampun! Sungguh sulit! “Seengaknya, kalau Ayah sama Ibu nanti enggak ada, kamu udah ada yang jagain, Da.” “Mulai, deh!” aku cemberut. “Kenapa semua orang tua andalannya ngancem lewat kematian?” “Ya karena kematian enggak ada yang tahu. Ibu enggak ada besok juga bisa aja—” “Ibu, ih! Jangan gitu, kenapa?” Ayah tiba-tiba saja berdiri. “Benar kata Ibumu. Kalau ada, kenalkan ke kami secepatnya. Kalau bisa sebelum kamu UKMPPD. Kalau enggak ada, kamu harus mau sama Daniel atau tunggu kami kenalkan calon baru untukmu.” Setelah mengatakan itu, Ayah pergi masuk kamar. Ibu pun ikut berdiri dan menyusul ayah. Kini, tinggal aku sendirian duduk di ruang tengah. Aku menjatuhkan badanku ke sofa, lalu meraup wajahku kasar. Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri setelah dibombardir kanan dan kiri. “Capek banget, sumpah!” Saat aku masih memejamkan mata, tiba-tiba saja ada satu nama yang mendadak muncul di kepalaku. Itu membuatku langsung bangun dan kaget sediri. Nama itu adalah Pak Hanif. Iya, PAK HANIF. Kenapa malah dia yang muncul? Eh … tapi bukankah ini ide bagus? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD