Apa-Apaan Ini?!

1546 Words
Baru saja Ye Xuan masih belum pulih dari rasa keterkejutannya, dia sudah dikagetkan dengan adanya gerakan di pintu yang dibuka secara kasar. Refleks kepala Ye Xuan menengok, kaget. Muncul seorang wanita berusia 40-an.   "Bagus, yah! Enak-enakan di kamar!" pekik wanita itu pada Ye Xuan yang berada di tubuh Fei.   Belum juga Ye Xuan mencerna apa yang dikatakan, wanita itu sudah maju ke arahnya dan mencekal kasar pergelangan tangan gadis malang itu. "Kau pikir kau ada di mana, heh? Ini sudah hampir makan malam! Sana cepat sediakan makanan untuk kami!"   Ye Xuan masih bingung, namun kesadaran Fei berucap lirih, "Itu Tante. Dia adik dari ibuku. Namanya Tante Ruwina. Ruwina Sanjaya Purnomo. Biasa dipanggil Tante Ru."   "Masih saja bengong, heh?! Minta kupukul seperti kemarin?!" Wanita itu mendelik seraya menyeret paksa keponakannya.   Mau tak mau Ye Xuan patuh. Ia ingin tau apa yang diinginkan wanita jelek yang seenaknya memperlakukan dia.   Kini setelah keduanya ada di dapur, Bibi Ru menghentakkan pegangannya pada ponakannya ke arah meja. "Cepat masak! Suami dan anakku sebentar lagi pulang! Awas saja kalau mereka pulang tapi kau belum selesai masak!" Setelah berujar demikian, Bibi Ru pergi berlalu entah ke mana disertai omelan sambil lalu.   Ye Xuan menggaruk belakang kepalanya yang sedikit gatal sambil memandang sekeliling. Ternyata ini dapur di jaman setelah jamannya? Dia hilang arah, tak tahu musti berbuat apa.   "Tuan Ye Xuan, jangan diam saja, lekas memasak." Suara Fei samar terdengar.   Ye Xuan membalas suara di dalam jiwanya, "Apa yang harus aku lakukan? Aku tak paham apapun yang ada di sini."   Terdengar desahan dari kesadaran Fei. "Yang di depan Tuan sana dinamakan kompor."   "Kompor? Benda seperti itu?" Tangan Ye Xuan menunjuk ke sebuah kompor gas yang ada di depan dirinya. "Kenapa tak ada tempat untuk menaruh kayu bakar? Bagaimana aku bisa memasak jika tak ada kayu bakar?"   "Tuan, jamanku ini sudah tidak menggunakan kayu bakar."   "Lalu memakai apa?"   "Nanti saja aku terangkan, Tuan. Sekarang yang terpenting, Tuan harus memasak. Sebentar lagi jam makan malam. Tuan akan celaka jika tidak segera menunaikan tugas dari Bibi."   "Nona Fei, aku bisa dikatakan tidak jelek dalam olah makanan, namun kalau alat-alatnya tidak kupahami, bagaimana aku bisa melakukan sesuai yang dimau bibimu?" Ye Xuan berkacak pinggang sambil memutar pandangan saking bingungnya.   Terpaksa Fei menerangkan cara-cara menyalakan kompor gas, lalu juga menerangkan bahan-bahan yang ada di kulkas.   Semua langkah dijelaskan secara telaten oleh Fei. Untungnya saja Ye Xuan bukan lelaki bodoh. Ia dengan cepat menangkap pelajaran dari Fei mengenai memasak dengan peralatan modern.   Walaupun susah payah, namun akhirnya Ye Xuan berhasil membuat 3 hidangan. Sop ikan, pangsit goreng, dan udang masak asam manis. Itu semua ia siapkan dalam waktu satu jam lebih. Tentu peluh meleleh di sana-sini karena dapur keluarga itu tergolong kecil.   Dengan sekali pikir, Ye Xuan bisa paham bahwa bibinya Fei selalu membebankan tugas rumah tangga pada keponakannya.   Kejam sekali.   Kalau semua pekerjaan rumah dilakukan Fei, lantas apa gunanya si Bibi di rumah? Hanya bersantai? Perempuan tak berguna, umpat Ye Xuan dalam hati.   Tepat hampir seperempat jam Ye Xuan menghidangkan semua masakan di meja makan, paman dan sepupu Fei pulang nyaris bersamaan.   Bibi Ru menghalau keponakannya, "Sana, sana! Mandi! Baumu busuk sekali! Dasar gadis gembel! Jangan makan kalau kami belum selesai makan!"   Ye Xuan tak mau mendebat apalagi memprotes tindakan tak adil tersebut. Ia memilih benar-benar menyingkir. Toh dia juga tak berencana untuk berkumpul makan bersama mereka.   Dengan sekali pandang saja, Ye Xuan sudah muak melihat mereka sekeluarga. Memang lebih baik dia mengurung diri di kamar ketimbang bersama makhluk-makhluk menjijikkan.   Setelah tiba di kamar, Ye Xuan bertanya, "Bagaimana cara mengunci pintu ini?"   "Unh..." Terdengar gumam lirih Fei di dalam sana.   "Ada apa, Nona?"   "Itu... nhh... tak ada kuncinya," lirih Fei suram.   "Apa?! Kenapa begitu? Bukankah semua pintu harusnya memiliki kunci?" Ye Xuan terpekik heran.   "Paman... Paman mengambilnya... dengan alasan agar Tante bisa dengan mudah mencariku kapanpun Tante butuh tenagaku." Suara Fei terdengar pelan dan kelam, seolah ada beban berat di dadanya menghimpit dia ketika mengatakan itu.   "Omong kosong! Bagaimana bisa mereka bahkan tega merenggut hak privasimu?" Nada Ye Xuan terdengar geram. Dia tak menyangka, selain Fei diperlakukan macam pelayan, dilecehkan, dia juga tak punya kebebasan di rumah ini.   Sebagai pendekar sekaligus alkemis berhati baik dan berjiwa lurus, Ye Xuan tak bisa menerima perlakuan sekeji itu pada seorang wanita, terlebih seperti Fei yang lemah dan sudah yatim piatu. Ia mengepalkan tangan kananya kuat-kuat hingga buku jarinya memutih menahan amarah.   Dari penjelasan singkat Fei sudah dapat diprediksi oleh Ye Xuan bahwa pamannya Fei berdalih macam-macam agar bisa mengambil kunci kamar Fei, tapi sebenarnya itu hanya untuk satu tujuan. Memudahkan sang paman dan anaknya melecehkan Fei kapanpun ada kesempatan.   Ye Xuan seketika muak hingga ingin memuntahkan darah. Keluarga ini sungguh menjijikkan.   Karena itu, Ye Xuan tak sudi keluar kamar untuk makan malam. Biarlah perut lapar daripada ia bertemu dengan orang-orang menjijikkan tak tahu kemanusiaan.   Lebih baik Ye Xuan menahan lapar dan bermeditasi saja. Dengan kekuatannya pasti ia bisa membuat tubuh barunya tidak merasa lapar.   Di kehidupan sebelumnya, Ye Xuan sanggup bertahan seminggu tidak makan. Semua itu karena tingkat kultivasinya sudah cukup tinggi. Bahkan para kultivator tingkat Emperor tidak membutuhkan makanan fisik, mereka hanya butuh menyerap energi alam saja sebagai pengganti makan dan minum.   Maka, kini Ye Xuan sudah duduk bersila di atas kasur dan mulai bermeditasi. Ia mencoba mencari energi alam untuk ia serap.   Bagaimanapun, ia ingin tubuh barunya tidak selemah ini. Meski sisa kekuatan Ye Xuan masih ada. namun tidak penuh seperti sebelumnya. Ia butuh menempa kembali tubuh barunya.   Walaupun energi Qi alam terbatas di sekitar rumah itu, Ye Xuan tak menyerah dan terus berupaya fokus pada kultivasinya.   Sementara itu, Fei di ruang jiwa hanya terdiam tanpa kata karena tau pasti bahwa Yexuan sedang berkonsentrasi melakukan sesuatu.   Sebenarnya, mereka tidak bisa saling menatap satu sama lain. Mereka hanya terhubung oleh suara jiwa saja tanpa visual.   Itu dikarenakan tenaga kultivasi Ye Xuan masih rendah. Dia harus meraih tingkat kultivasi tinggi terlebih dahulu untuk bisa berkomunikasi dan melihat Fei di ruang jiwa.   Setelah beberapa jam berlalu, Ye Xuan memutuskan mengakhiri meditasinya. Meski berhasil mendapatkan energi Qi alam, namun itu hanya segelintir.   Apakah lingkungan tempat tinggal Fei ini termasuk buruk dan penuh polusi?   Saat ia melirik ke jarinya, ia terbelalak. Ternyata cincin ruangnya masih ada di sana, di jari tengah kirinya! Benar-benar tidak menyangka cincin andalannya itu masih berada di jarinya meski dia sudah berpindah dimensi dan jaman.   Ye Xuan pun lekas memeriksa cincin ruang itu dan ternyata isinya tak berkurang atau berubah satupun. Sungguh sebuah kebaikan langit.   Ini patut disyukuri.   Semua kerja keras Ye Xuan dalam mengolah ramuan pil ia simpan di cincin ruangnya, dan ternyata masih ada di sana, tak tersentuh kekejaman jaman.   Yexuan tersenyum hangat memandangi cincinnya. Benda sederhana yang terbuat dari giok berwarna biru gelap tanpa ornamen apapun itu adalah nyawa kedua bagi Ye Xuan. Tak heran jika dia rela mati daripada menyerahkan cincin ruangnya pada siapapun.   Bagi seorang yang mampu berkultivasi, sebuah cincin ruang miliknya adalah nyawa kedua bagi orang itu. Hanya yang bisa berkultivasi yang bisa mempunyai cincin ruang, karena untuk membukanya dibutuhkan tetesan darah yang dialiri energi Qi sebagai tanda kepemilikan.   Cincin ruang adalah benda penting bagi kultivator, karena bisa menyimpan segala sesuatu benda (bukan makhluk hidup) sampai batas tertentu tergantung besarnya ruang dalam cincin.   Semakin luas ruang, semakin mahal harga cincin tersebut. Maka tak semua kultivator bisa memiliki cincin ruang. Meski juga bisa didapatkan dengan cara merebut milik orang lain dan meneteskan darah beraliran energi Qi-nya untuk menghapus kepemilikan sebelumnya. Biasanya ini terjadi usai pertarungan kultivator dan salah satu mati.   Mendesah ringan, Ye Xuan kembali mengingat dunianya yang dulu. Dunia yang penuh kekerasan dan pertempuran tiada akhir. Dunia yang menganut hukum besi, yang kuat yang menang, yang kuat yang berkuasa.   Ia bertanya-tanya, apakah dunia yang ia tempati sekarang sama dengan dunia dia sebelumnya? Memakai hukum besi juga?   Seketika dia pun teringat akan satu lagi benda paling penting dalam hidupnya selain cincin ruang. Ye Xuan lekas berkonsentrasi penuh, mengalirkan Qi ke pusat Dantiannya di perut dan memunculkan sebuah benda dari sana.   Pagoda Jiwa.   Ye Xuan menghela napas lega. Ternyata Pagoda Jiwa dia pun masih turut ikut dengannya berpindah jaman seperti Cincin Ruang.   Pagoda Jiwa itu berbentuk seperti pagoda dalam bentuk mini setinggi 10 sentimeter berwarna merah dan kuning emas bersusun sembilan. Meski hanya sekecil itu, namun jika dimasuki, bagai sedang masuk ke sebuah dunia tersendiri yang sangat luas dengan barisan bukit dan gunung mengelilingi sebuah pagoda besar setinggi 100 meter.   Itulah Pagoda Jiwa milik Ye Xuan, tempat rahasia dia untuk menumbuhkan banyak sekali tanaman-tanaman herbal di sepanjang bukit, lereng, dan banyak lahan luas lainnya di sekitar pagoda raksasa di sana.   Benda seperti Pagoda Jiwa adalah benda yang tergolong istimewa yang dimiliki para kultivator di jaman Ye Xuan, karena benda seperti itu bisa menyimpan sesuatu yang bernyawa, seperti hewan atau tumbuhan, dan bahkan manusia!   Pria dari jaman kuno itu sangat puas karena Cincin Ruang dan Pagoda Jiwa-nya masih ada di dirinya. Rasanya dia tidak perlu mengkhawatirkan apapun dengan adanya dua benda tersebut.   Ye Xuan pun turun dari kasur, berjalan ke depan cermin untuk menatap bayangan tubuh barunya. Sungguh tak menyangka bahwa ia akan mendiami tubuh perempuan muda. Elok pula.   Selesai mengagumi tampilannya sendiri, ia pun berbalik dan melangkah ke tempat tidur. Lebih baik ia beristirahat karena ia masih teringat kata Fei barusan bahwa besok dia harus bangun pagi atau sang bibi bisa ribut.   Lebih dari satu jam Ye Xuan telah memejamkan mata ketika ia merasakan ada sentuhan aneh pada pinggulnya.   Karena ia terbiasa peka, Ye Xuan langsung membuka matanya dan secara refleks mencekal tangan yang menyentuhnya, lalu bangkit dan membantingnya di lantai.   Meski itu tergolong cepat, tapi sebenarnya lambat. Jika Ye Xuan masih memiliki kekuatan penuh seperti dulu, penyelinap membuka pintu pun dia pasti sudah terbangun.   "Auwh! Auwh! Auwwgh!" Terdengar jerit dari penyelinap yang berhasil dirobohkan di lantai oleh Ye Xuan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD