Raisa Mahendra, putri dari pasangan Darma Mahendra dan Lina Marlina, kini sedang duduk termenung menatap lurus pada layar laptopnya.
Usianya sudah 27 tahun sejak dia bercerai dua tahun lalu. Ya, sudah dua tahun, tapi hidup Raisa masih begitu- begitu saja. Tapi seperti dunia yang tak berhenti berputar, hingga kini orang tuanya masih berusaha menjodohkannya dengan para pria, yang Raisa kira orang tuanya bahkan tak tahu seperti apa kepribadian pria yang akan mereka jodohkan dengannya, saking seringnya mereka menawarkan perjodohan, Raisa pikir mereka mengambilnya secara acak entah dari mana lalu menawarkannya pada Raisa. Dan jawaban Raisa tetap sama. Tidak!
Tapi semalam saat lagi- lagi sang Papa menawarkan perjodohan pria itu berkata: "Sudah dua tahun, Sa. Sebenarnya apa yang terjadi, sampai kamu gak mau menikah lagi, apa Papa perlu datangi Si Kemal itu untuk tahu alasannya, kenapa kamu sampai trauma untuk menikah!" serunya dengan kesal. Meski hidup Raisa sudah memiliki kemajuan, setidak nya anaknya itu sudah bisa kembali tersenyum, seperti biasanya, namun tetap saja dia yang masih tak mau menikah membuatnya khawatir.
Dan Raisa tak bisa berkata- kata saat ingatannya kembali ke masa lalu, bagaimana pun dia takut akan ancaman Kemal, dia takut orang tuanya kecewa, lalu merasa malu karena pergaulannya dulu membuatnya terjerumus. Meski sebenarnya mereka juga menanggung malu akibat Raisa di ceraikan di hari pertama, tapi Kemal menepati janjinya saat menutup mulutnya asal Raisa tak melaporkan perbuatannya, memperkosa Raisa semalaman tanpa perasaan. Jadi, orang- orang hanya bisa menerka- nerka saja alasan mengapa Kemal menceraikannya di hari pertama pernikahan.
"Sudah dua tahun, kamu gak boleh terus menghindar!" seru papa Raisa lagi.
Jadi saat ini, Raisa tengah memikirkan bagaimana caranya dia bisa menghindari perjodohan tersebut, hingga sebuah email masuk ke laptopnya.
Raisa membelalakan matanya, sudah sejak satu bulan lalu dia menunggu email tersebut, hingga saat dia menerima email tersebut, dia langsung berteriak "Aaaa, akhirnya!" sontak saja teriakan itu membuat Papa dan Mamanya terkejut dan langsung menghampiri.
"Apa Sa? Ada apa?" tanya keduanya panik.
"Aku di terima kerja Ma, Pa." Raisa tersenyum senang, Darma dan Lina sampai tertegun, sepertinya ini adalah untuk pertama kalinya anak mereka tersenyum senang.
Ya, Raisa memang sudah kembali tersenyum sejak kejadian dua tahun lalu, tapi mereka selalu melihat senyum itu terlihat hampa.
"Kerja?" tanya sang Papa.
"Iya Pa, di Jakarta," kata Raisa.
Sontak saja perkataan itu membuat Lina membelalakan matanya "Itu terlalu jauh, Isa."
"Cuma tiga jam dari sini, Ma." Raisa masih tersenyum.
"Iya, tapi itu berarti kamu gak bisa pulang pergi dari rumah."
"Aku bisa ngontrak rumah, atau ngekos."
"Raisa-" Lina hendak kembali bicara tapi Darma menghentikannya.
"Ayo duduk, bicara dengan benar!" Akhirnya ketiganya duduk di sofa ruang keluarga, tentu saja untuk membicarakan apa yang baru saja menjadi perdebatan.
"Coba, Isa bilang sama kami, sejak kapan Isa melamar disana?"
Raisa menghela nafasnya "Satu bulan lalu, sebenarnya selama dua tahun ini Isa selalu berusaha mencari pekerjaan, dan baru sekarang Isa menerima panggilan."
Dulu sebelum menikahi Kemal, Raisa juga bekerja di sebuah perusahaan, namun, karena Kemal ingin Raisa tidak bekerja setelah menikah, jadi Raisa mengundurkan diri. Tapi, siapa sangka pernikahan itu berakhir secepat kilat.
Lalu setelah bercerai Raisa ingin kembali bekerja, tapi tak pernah ada kesempatan yang datang.
"Lalu kenapa memilih yang jauh seperti Jakarta?"
"Karena setiap lamaran kerja yang Isa kirim gak pernah mendapat tanggapan, terus satu bulan lalu Isa lihat ada lowongan di sana, sebenarnya Isa cuma iseng masukin cv Isa, dan ternyata Isa di terima." lalu alasan lainnya agar Raisa terhindar dari perjodohan yang selalu Papanya tawarkan.
"Tapi Isa gak bisa pulang setiap hari kalau begitu."
"Isa tahu, tapi Isa bisa ngekos atau ngontrak seperti yang Isa bilang tadi."
"Ini akan jadi pertama kalinya Isa jauh dari rumah, Mama cuma khawatir." Lina tak tahu bahkan Raisa tidak selugu yang mereka kira.
Isa tersenyum "Isa udah gede Ma, bahkan bisa di sebut tua, jadi Isa harus bisa mandiri kan."
"Tapi, Isa-" lagi ucapan Lina terhenti karena sang suami.
"Isa benar Ma, dia harus belajar, lagi pula kita masih bisa mengunjungi Isa disana."
Raisa mengangguk setuju dengan apa yang di katakan sang Papa.
Darma tersenyum "Hanya satu pesan Papa, jaga diri kamu, jangan sampai kamu terpengaruh sama hal buruk yang ada di sana, kamu tahu kan Jakarta itu memiliki sisi gelap, yang harus kamu hindari."
Raisa tersenyum kecut, dimana pun itu, pasti ada sisi gelap, begitupun di tempat mereka tinggal saat ini, karena Raisa justru sudah merasakan sisi gelap itu tanpa orang tuanya ketahui, dan Raisa menyesal karena itu, sebab kini hidupnya benar- benar gelap.
"Papa?" sepertinya Lina masih khawatir, apalagi untuk pertama kalinya dia akan melepas putrinya.
Darma mengelus bahu sang istri "Mama lihat, untuk pertama kalinya Raisa tersenyum seperti itu, Papa rasa sudah lama sekali sejak terakhir Raisa tersenyum ceria."
Raisa tertegun.
Lina menatap Raisa dengan sendu, "Ya, sudah," katanya dengan pasrah.
"Dan satu lagi, Papa harap ini menjadikan kamu motivasi agar kembali seperti dulu, Raisa kami yang ceria."
Raisa tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya. Sudah terlalu lama dia membuat kedua orang tuanya khawatir, sudah saatnya dia kembali membangun kepercayaan dirinya, bukan untuk menikah lagi, tapi untuk orang tuannya. Sebab pernikahan masih akan dia hindari, jika bisa untuk selamanya.
Hari berikutnya, Raisa di antar Darma dan Lina untuk pergi ke Jakarta sekaligus melihat tempat tinggal untuk putrinya selama dia tinggal disana.
"Disini lumayan nyaman, cukup dekat dengan tetangga, jadi kita bisa titipkan kamu ke tetangga sekitar, kalau- kalau ada sesuatu terjadi." Darma mengangguk setuju, dengan ucapan Lina.
Raisa juga setuju, terlebih tempat ini juga dekat dengan kantor tempatnya akan bekerja, hanya dua puluh menit menggunakan bis.
Setelah memastikan keadaan Raisa, kedua orang tuanya pulang kembali, dan kini tinggal Raisa yang tengah membaringkan dirinya di atas ranjang kecil di kontrakannya.
Di pagi hari Raisa bersiap untuk mulai bekerja, karena tes yang sudah di lakukan secara online, hari ini Raisa bisa datang dan langsung bekerja.
Raisa mendongak menatap gedung tinggi dimana dia akan bekerja, senyum tersungging di bibirnya lalu kaki jenjangnya melangkah untuk segera masuk.
Pertama- tama Raisa menghampiri resepsionis, lalu di arahkan untuk naik ke lantai 7 dimana divisi HRD berada.
"Mbak bisa lansung naik ke lantai 7, untuk menemui Bu Siska." setelah memastikan nama Raisa termasuk pekerja baru yang datang hari ini, resepsionis mempersilahkan Raisa untuk segera naik.
"Iya, terimakasih Mbak." Raisa pun pergi ke arah lift lalu menekan tombol 7 yang tertera di sebelah kanan pintu lift.
Lift berdenting dan pintu terbuka, namun saat ini Raisa justru bingung kenama di harus mencari ruangan Bu Siska ini.
Raisa melihat orang- orang sibuk bekerja bahkan ada beberapa dari mereka yang berlarian membawa tumpukan berkas, kepada siapa dia harus bertanya.
"Permisi?" tapi orang- orang acuh masih terus sibuk bekerja, jam berapa ini? Pikir Raisa. Lalu melihat jam di pergelangan tangannya, masih pagi tapi semua orang sudah sibuk.
Raisa melihat seorang pria yang mendorong troli berisi alat kebersihan, lalu dengan langkah jenjangnya Raisa berjalan ke arahnya "Permisi." Raisa menepuk pundak pria tersebut.
Hingga saat pria itu menoleh Raisa di buat tertegun dengan wajah dari pria berprofesi OB tersebut.
****