EMPAT

1035 Words
Esok paginya, tepat pukul enam pagi kurang sepuluh menit, Ian sudah duduk diam di atas motornya menunggu Meta. Ian bisa melihat Meta yang baru saja keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ke arahnya. Meta mendekati Ian yang menyilangkan kedua tangan di depan d**a dan menatapnya datar. "Nih, ganti dulu sepatu kamu." Ian menyodorkan canvas bag berisi sepasang running shoes pada Meta. Meta ragu–ragu menerimanya. "Ganti dulu, Ta. Itu sepatu kak Ria. Kayanya sih nomornya sama dengan kamu." Meta mengangguk, tak ingin membuat Ian murka di pagi hari. Ia melepas sepatunya, memakai sepatu yang Ian berikan, lalu memasukkan sepatu lusuhnya ke dalam canvas bag untuk disimpan di ranselnya. "Ga mau taruh di kamar dulu?" "Ga usah, Yan. Kubawa aja, paha Meta sakit naik turun tangga." Ian mendesah nafas berat. Memandang lekat perempuan yang sangat dikasihinya itu. "Sini, Ta." pinta Ian agar Meta mendekatinya. Meta melangkah maju. Ian mengeluarkan sebuah scrunchie berbahan lembut berpola kotak–kotak dengan warna hitam, abu muda dan hijau toska. Ian mengangkat kedua tangannya, menata rambut Meta dengan lembut, menyatukannya, lalu menguncirnya dan merapihkan poninya. Entah apakah Ian menyadari jantung Meta yang berdetak menggila, di saat yang sama marine notes yang bersatu dengan wangi maskulin Ian begitu menenangkan indera Meta. Ian membuka jok motornya, mengambil helm yang ia sangkutkan di dalamnya, juga sebuah sweater berbahan rajut lembut berwarna hitam. Ian lalu memakaikan helm itu ke kepala Meta, disusul memasangkan sweater–nya di tubuh Meta. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Meta, susah payah ia menahan diri agar tak memeluk pria di hadapannya itu. Jangan tanyakan juga pandangan orang–orang yang melihat mereka, tak ada satupun yang menampik, betapa pria berlesung pipi itu begitu menyayangi perempuan di depannya. "Ayo naik, Ta. Kok malah bengong?" "Oh, iya." Ian diam saja. Tak segera menjalankan motornya. "Aku udah siap, Yan." "Mana tangan kamu?" Meta ragu mengulurkan tangannya, tetapi Ian menggenggamnya, melingkarkan kedua tangan Meta di pinggangnya. "Kita berangkat ya?" tanya Ian, masih menggenggam kedua tangan Meta. "Iya." Jawab Meta singkat. Sepanjang jalan mereka diam saja. Ian melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Tak terlalu cepat, tak pula terlalu lambat. Meta menghindu aroma Ian yang begitu menenangkan, berkali–kali. Menguncinya di ingatannya. Hingga sekitar setengah jam kemudian mereka sudah sampai di parkiran motor yang terdekat dengan fakultas mereka. Mahasiswa–mahasiswi yang mengenal Ian memandang dan melirik mereka berdua. Meta bisa mendengar samar bisik–bisik beberapa di antara mereka. "Gila banget si Ian. Maba udah diembat aja!" "Itu maba yang dibikin nangis sama si Ian kan?" "Denger–denger mantannya Ian? Soalnya katanya kemarin di kantin si Ian minta balikan gitu." "Ah mabanya aja yang gatel. Lo liat dong lusuh begitu! Down grade banget selera si Ian!" "Bukannya Ian baru putus sama si Dira? Apa selingkuh sama itu cewe?" Meta menggeleng–gelengkan kepalanya, pusing sendiri mendengar bisikan–bisikan halus itu. "Mana tadi canvas bag–nya, Ta?" "Oh, kenapa Yan?" "Taruh di bagasi aja." Meta membuka ranselnya, mengambil canvas bag tadi dan menyerahkannya ke Ian. Menunggu Ian meletakkan benda itu di dalam bagasinya. Ian mengambil canvas bag lain yang ia sangkutkan di motornya. Menyodorkannya pada Meta. "Nih!" "Ini apa, Yan?" "Dari Mami. Ada roti dan s**u buat kamu sarapan. Makan dulu sebelum MPF dimulai. Yang di kotak itu makan siang. Aku yang masak. Awas aja ga di makan!" Meta tertawa. Ian terpana melihatnya. "Yuk." Ajak Ian. Mereka berjalan beriringan. Tak memperdulikan omongan–omongan dan pandangan orang–orang yang mereka lewati. "Aku udah bilang kan kalau aku maskotnya badboy fakultas?" Meta terkekeh. "Kalau kamu ga nyaman, kamu bisa jauhin aku. Cukup pergi dan pulang aja kita tegur sapa dan barengan. Jangan harap aku ngijinin kamu jalan kaki sejauh itu, Ta." "Iya. Apa aja yang Ian bilang, Meta nurut." Ian menghentikan langkahnya. Begitu pun Meta. "Kamu takut sama aku?" tanya Ian. Meta menggeleng. "Mau nebus yang dulu?" tanya Ian lagi. Ragu. Meta menggeleng lagi. "Ga ada gunanya juga, Yan. Ian masih mau ngomong sama Meta aja Meta udah bersyukur banget. Bahkan Meta ga bisa maafin diri Meta sendiri yang udah segitu jahatnya sama Ian. And now, it's just too perfect." Ian tertegun. "Yan, Meta lari ya. Mau makan dulu. Udah mepet. Bye, Ian." ucap Meta. Ia segera berlari menjauh meninggalkan Ian yang masih terpana memandangnya. "Lo bakalan masuk majalah gosip, nyet!" Fandi, salah satu teman sekelasnya mendekati dan merangkul pundak Ian. "Asal ga masuk bui atau liang lahat gue ga masalah, nyet!" "Jelasin!" "Karena bakal ga liat dia." "Beneran kena infeksi virus lo, Yan?" Tara ikut muncul di sisi kiri Ian. "Virus merah muda!" jawab Ian dengan cengirannya. "Gue kira virus abu–abu. Abu–abu monyet!" Fandi tertawa. Ian menggeleng. "Lo kasih makan apa sih cewe lo, nyet? Congornya isi mercon!" "Masih Babenye yang ngasih makan, nyet!" "Lo ngawinin doang? Ngasih makan kagak?" Fandi menabok kepala belakang Ian. Ian nyengir kembali. "Diem–diem aja lo!" sulut Fandi. Tara menghela nafas berat. "Tenang, Tar. Reputasi lo terjaga sama gue!" ucap Ian. Tara melirik sinis. "Gue ga nyangka lo punya six sense!" komentar Tara. "Lah aku pikir kamu cerita ke Ian." Ujar Fandi. "b**o banget emang cowo gue! Ya kali aku ngomongin itu ke Ian!" Fandi menelan ludahnya sendiri. Ian terkekeh. "Udah ga usah berantem!" Ian menghentikan langkahnya, menarik keduanya menjauh dari keramaian. "Gue cuma mau bilang... Tara, jangan sampe lo hamil di luar nikah. Biarpun lo cinta sama Fandi. Lo ga akan bisa bayangin gimana sakitnya kalau itu sampai terjadi. Terlalu banyak yang harus lo korbanin, Tar. Elo juga Fan, jaga cewe lo. Dia yang punya rahim, dia yang bakal hancur kalo sampe kejadian yang tadi gue bilang terjadi. Dan cowo lebih butuh waktu untuk selesai dengan dirinya sendiri dulu sebelum bertanggung jawab untuk orang lain. Supaya lo berdua tau, gue udah lihat sendiri gimana menderitanya perempuan yang ngalamin itu. Nakal boleh, b**o jangan! No offense, ok?" Tara dan Fandi saling memandang. Tak menjawab perkataan Ian. "Yuk, udah mau mulai tuh! Maba udah pada baris." ajak Ian, mencairkan pasangan yang saling membeku di hadapannya. Ian baru akan melangkah mendahului mereka, hingga cengkraman dan suara Tara mengurungkan langkahnya. "Dia?" Ian mengangguk. "Dia korban, Tar. She was r***d! And she lost her baby. Can you imagine that?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD