"Apa yang Anda lakukan pada putri saya? Apa kesalahannya sampai pantas Anda perlakukan seperti itu?" sulut pria itu lagi.
Ian berlari mendekati TKP, berusaha menengahi keributan atau hal buruk apapun yang mungkin terjadi lagi.
"Pi..."
Pria itu memalingkan wajahnya, menatap Ian. Satu tangannya turun, satu tangan lagi terangkat, menempeleng kepala belakang Ian. Pria yang hampir mendekati paruh baya itu adalah Oemar Dewantara, Ayah seorang Brian Putra Dewantara.
"Papi... Malu!"
"Apa malu?" sulut pria itu lagi.
Oemar memalingkan wajahnya lagi, menatap Dira tajam.
"Kamu belum jawab pertanyaan saya. Apa yang kamu lakukan pada putri saya?" tuntutnya lagi.
"Apa kesalahan putri saya sampai kamu melakukan p*********n terhadapnya?" lanjutnya, geram menunggu jawaban Dira.
Dira menantang tatapan Oemar. Tak terima di persalahkan.
"Pi, udah Pi... Kita cari tempat enak buat ngobrol yuk!"
Ian mencoba membawa sang Ayah pergi dari area yang menjadi pusat perhatian seantero fakultas, mengingat waktu masih menunjukkan jam istirahat siang.
Oemar tetap diam, menunggu jawaban.
Meta hanya menunduk. Sedari tadi. Tak berani berucap satu patah katapun.
"p*****r ini membuat Ian memutuskan saya!" hardik Dira pada Meta, sekaligus menjawab pertanyaan Oemar.
Meta mengangkat wajahnya, keningnya berkerut menatap Dira.
"Mulut lo ga di sekolahin?" sulut Meta.
Dira tertawa sinis. Tak perduli dengan ucapan Meta.
"Jadi selera kamu udah berubah Yan? Sekarang doyan yang lusuh kaya begini? Gila! Sama Bapaknya aja sampe manggil Papi!" sinis Dira lagi.
Oemar menarik nafas panjang, tak habis pikir dengan tingkah perempuan muda di hadapannya.
"Pergilah Nona. Saya tidak perlu lagi jawabanmu." ucap Oemar pada Dira.
Dira tertawa sinis lagi, seolah meremehkan pria yang seumur dengan Ayahnya itu. Saat ia berbalik dan akan meninggalkan mereka, suara Oemar terdengar lagi.
"Saya Ayah kandung Ian."
Dira ternganga. Berputar lagi menghadap Oemar. Membatu menatap Oemar dan Ian bergantian. Ian hanya menggeleng–gelengkan kepalanya. Gita yang sedari tadi masih duduk membatu menyimak drama di hadapannya kini menutup mulutnya, berusaha agar tawanya tak menyembur.
"Aaa... aaa... iiituuu..." Dira gagap.
Oemar memalingkan wajahnya pada Ian.
"Berani kamu pacaran dengan perempuan yang tak bisa menahan mulut dan tangannya, juga tak bisa menghormati orang tua, Papi sunat lagi untuk yang kedua kalinya kamu!"
"Astaghfirullah!" ucap Ian, refleks menutupi kejantanannya dengan kedua tangannya.
Gita terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
"Om..."
"Pergi!"
"Tapi Om..."
"Pergi saya bilang!"
"Maaf Om..."
"Ya, tapi pergilah!"
Dira menunduk. Menahan geram dan malu. Tak tahan, ia segera melangkah pergi.
Oemar mengangkat kursi basah di hadapan Gita, menukarnya dengan kursi dari meja di sampingnya, lalu duduk di hadapan Gita. Meta masih diam di posisinya tadi. Ian pun tak berani bersuara.
"Papiiiii..."
Tara berlari kecil mendekati Oemar, memeluknya sesaat, lalu duduk di sebelahnya.
"Papi dari mana?"
"Dari TKP. Ada penyidikan dekat sini."
"Seru, Pi?"
Oemar menyentil kening Tara.
"Papi..." lirih Tara manja seraya mengusap-usap keningnya yang disentil Oemar tadi.
"Jam berapa kalian kuliah lagi?"
"Jam satu, Pi."
"Kamu, Ta?"
"Jam satu juga, Pi." Jawab Meta lemas.
"Papi kenal Meta?" tanya Tara.
"Makanya jangan malas ke rumah Papi!"
"Ta, lo kenapa?" tanya Tara lagi, baru sadar dengan keadaan Meta yang benar–benar payah.
"Disiram Dira, Kak."
Gita yang menjawab.
"Dasar cewe bar–bar!" maki Tara.
"Kenapa kamu biarin Ian pacaran sama cewe bar–bar?" tanya Oemar.
"Emangnya anak Papi bisa dibilangin? Kalau bukan karena Meta, Ian pasti lagi mutusin cewe lain di sini, Pi. Hobinya dia kan ngoleksi mantan."
Oemar menggelengkan kepalanya. Ian makin terdiam, menunduk. Mau bagaimana lagi, sudah tertangkap basah.
"Ga ada hobi yang bagusan dikit Yan?" tanya Oemar datar. Ian tak menjawab.
"Kamu ada baju ganti, Tar? Itu Meta bajunya basah, bisa tolong bantu bersihkan dia? Setelah itu kalian langsung kuliah saja. Papi mau bicara dengan Ian."
"Ada di sekret Pi." Jawab Tara.
"Gita, lo bawa Meta ke toilet ya. Ntar gue nyusul."
"Iya, Kak." Jawab Gita seraya membereskan kotak makan siangnya dan Meta yang tak tersentuh, memasukkannya ke dalam tas masing–masing, mengulurkan tangan menyalam tangan Oemar takzim, kemudian mendekati Meta dan mengajaknya pergi.
Saat akan melangkah, Oemar bicara lagi.
"Meta, Papi tunggu kamu di rumah ya nak."
Meta mengangkat wajahnya. Matanya berkaca–kaca menatap Oemar.
"Iya, Pi." Jawabnya lirih, menyalam tangan Oemar, lalu pergi meninggalkannya.
"Tara juga duluan ya, Pi."
"Papi ga lihat Fandi, Tar?"
"Habis sholat tadi ke sekret, Pi. Mau disuruh ke sini?"
"Ga usah, malam minggu saja kalian ke rumah. Kita bakar seafood!"
"Beneran Pi?"
"Iya. Ajak Ayah dan Ibumu."
"Okeee! Siap Kapten!"
Tara menyalam tangan Oemar takzim seperti yang tadi dilakukan Gita dan Meta, lalu melangkah pergi.
Ian duduk di samping Oemar. Gelisah dan khawatir melihat Ayahnya yang tiba–tiba muncul di kampus tanpa sepengetahuannya.
"Kalau mau ngoleksi mantan tuh pilih yang kualitasnya bagus Yan!"
"Astaghfirullah. Kalau kualitasnya bagus ya jadi istri, Pi. Bukan jadi mantan!"
"Oh iya betul. Suka bener otakmu!"
"Ck!"
"Jadi kalian pacaran sekarang?"
Ian menggeleng.
"Kenapa? Meta sudah punya pacar?"
Ian menggeleng lagi.
"Kamu ditolak?"
Ian lagi–lagi menggeleng.
Oemar mendengus.
"Mur di lehermu copot?"
"Astaga! Biarin aja begini dulu, Pi. Ian ga mau ambil resiko ga dianggap sama Meta."
"Kenapa begitu?"
"Terakhir Ian bilang Ian cinta dia, dia pergi kan, ga tau kemana. Ibu panti aja ga tau."
"Itu, soal Ibu Panti..." ucap Oemar ragu.
"Kenapa Pi?"
"Kamu bisa ajak Meta ke Rumah Sakit sepulang kuliah?"
"Hah?"
"Bisa tidak?"
"Meta hari ini mulai kerja sambilan Pi. Jam empat sore tadi dia bilang mulainya."
Oemar terdiam.
"Ibu Panti sakit, Pi?"
"Iya."
"Papi ngomong kenapa sepotong–sepotong begini?"
"Tadi Mami nelpon. Ibu panti muntah, perutnya sakit, lalu pingsan. Dibawa Mami ke Rumah Sakit. Hasil biopsinya belum keluar, tapi kalau dari pemeriksaan lain diagnosa sementara kanker pankreas."
Ian menutup mulutnya, bingung harus berkata apa.
"Masih bisa sembuh kan Pi? Belum tentu ganas kan?"
"Dokter bilang belum pernah nemuin kanker pankreas yang ga ganas. Rata–rata diketahui udah menyebar. Sejauh apa penyebarannya harus dibedah, tapi untuk kasus ini dokter ga menyarankan bedah."
Ian mengusap wajahnya kasar. Gusar. Wajah Meta dengan uraian air mata terus terbayang di pikirannya.
"Berapa lama Pi?"
"Pastinya masih menunggu hasil biopsi. Kalau benar, kemungkinan tiga bulan, maksimal enam bulan."
"Ibuuuu..."
Suara isak tangis terdengar dari balik punggung kedua pria itu. Mereka berbalik, menatap Meta yang entah sejak kapan berada di sana.
"Meta..."
"Meta..."