Chapter 1 : Cahaya Emas

1134 Words
Seratus tahun telah berlalu sejak Kerajaan Siluman berhasil menguasi benua Soar. Wrath, raja siluman yang kala itu berhasil mengalahkan Alvan, raja manusia, kini telah tiada, dan digantikan oleh raja siluman lain yang bernama Evil, anak sulung Wrath. Evil sendiri mewarisi kekuatan luar biasa dari ayahnya, tetapi ia adalah seorang siluman yang sangat benci pada manusia. Ia tak pernah memandang manusia lebih dari seorang b***k, atau hewan peliharaan yang dapat dinikmati sesuka hati. Terlebih, Evil tidak pernah menyukai ayahnya dulu, yang menganggap manusia setara dengan siluman. Kini, pada era pemerintahannya, Evil membuat para manusia semakin tersiksa. Mereka dipaksa untuk bekerja jauh lebih keras dari sebelumnya, dan jika sudah tak mampu bekerja, maka akan dihabisi saat itu juga. Kekejaman dari raja baru ini membuat manusia semakin gentar dan tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah menerima keadaan. Pada siang hari yang cerah ini, bersama dengan beberapa pengawal, Evil melihat-lihat tempat manusia dipekerjakan dengan paksa. Ekspresi wajahnya tetap datar, dan matanya tak henti memerhatikan para manusia yang dipaksa untuk bekerja, mengangkut barang berat. Ada seorang pria malang yang dicambuki oleh salah satu siluman karena menjatuhkan barang bawaan, tetapi Evil hanya diam melihat itu. “Tempat ini sungguh membosankan! Bawa beberapa wanita cantik ke kastilku, agar aku dapat melupakan semua yang aku lihat!” ucap Evil sambil bergegas kembali ke kastil megahnya. “Baik, Raja!” Seorang pengawal menyahut dan pergi mencari wanita-wanita cantik. Sesampainya di kastil, Evil lantas duduk di atas singasana. Tak lama berselang, empat orang gadis muda berparas cantik dari ras manusia diseret ke dalam ruangan oleh siluman berbadan kekar, hitam dan memiliki tanduk pendek. “Silakan, Tuan! Mereka dari ‘kandang’ B-1,” kata siluman tadi sambil memberi hormat. “Keluar! Jangan menggangguku bersenang-senang dengan mereka!” Evil berdiri, membusungkan dadanya yang lebar. “Baik!” Segera siluman tadi keluar dari ruangan. Evil pun mendekati gadis-gadis yang tengah gemetar ketakutan itu. “Kalian tahu apa yang harus dilakukan, kan?” “Ka ... kami mengerti ...,” jawab mereka, gemetar, lalu mulai melepas pembungkus tubuh mereka. Melihat mereka berempat membuat Evil tersenyum tipis. “Lumayan ....” *** Sementara itu, di waktu yang sama, seorang pemuda berlari sekuat tenaga ke dalam hutan. Ini ia lakukan untuk menghindar dari ‘siksaan’ para siluman yang mempekerjakannya dengan paksa. Pemuda dengan pakaian lusuh berwarna kecoklatan ini bernama Kenzie. Ia tinggal di sebuah desa yang dinamai—oleh para siluman—A-21. Pergi dari para siluman ini sudah sering dilakukannya, meski terkadang ia tertangkap dan menerima ‘hukuman’ lebih berat dari biasanya. Namun, sebagai bentuk perlawanan dan pemberontakannya, ia tidak menyerah begitu saja. Kali ini Kenzie berlari ke utara, wilayah hutan belantara yang ia sendiri belum pernah datangi. Kendati begitu, tekadnya yang kuat membuat ia tidak takut menghadapi apa pun. Beberapa langkah kemudian, sebatang pohon yang telah tumbang menghalangi jalannya. Akan tetapi, dengan tubuh kecilnya, Kenzie melewati celah di bawah pohon tumbang itu sehingga dapat melintas. Rambut Kenzie yang cukup panjang terurai oleh angin, terlihat oleh mata emasnya sebuah padang rumput yang cukup luas. Segera ia menghentikan langkah, kemudian berbelok ke arah lain untuk menghindari padang rumput tersebut. Ia tahu, akan sangat berbahaya baginya jika berjalan di tengah-tengah lapangan luas itu. Tak lama, Kenzie berhasil menemukan sebuah gua. Untuk bersembunyi dari para siluman yang mengejar, ia memutuskan bersembunyi di sana. Gua tersebut memang gelap, tetapi mata Kenzie dapat segera beradaptasi dengan kegelapan tersebut. Kakinya kemudian menginjak sesuatu yang hangat, membuat ia mundur, lalu berhenti. Setelah diperiksanya, ternyata itu adalah sumber air panas. Maka tanpa mau menunggu lebih lama lagi, Kenzie pun melepaskan baju dan turun untuk berendam di sana. “Aah ....” Kenzie begitu puas ketika merasakan kehangatan dari kolam air panas itu meresap masuk ke dalam tubuhnya. “Sudah berapa lama aku tidak merasakan kenyamanan ini ...?” Tampa Kenzie sadari, luka-luka yang membekas di tubuhnya perlahan memudar kala dirinya masuk berendam ke dalam kolam air panas itu. “Berapa lama kiranya aku tidak mandi hingga tubuhku terasa sesegar ini?” Kenzie masih saja bergumam tidak jelas karena terlalu menikmati kehangatan yang mengalir di sekujur tubuhnya. Namun, tak lama kemudian, Kenzie mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya. “Secepat inikah mereka menemukanku?” Kenzie pun bergegas keluar dari kolam air panas. Terlambat sudah, dua orang siluman telah berada di depannya dengan lentera di tangan. Keduanya tersenyum lebar, karena telah menemukan mangsa mereka. “Hahaha! Mau lari ke mana lagi kau, bocah nakal?” Siluman di sebelah kiri menarik keluar cambuk dari punggungnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang erat sebuah lentera. “Kau tidak bisa lari lagi dari kami!” “Bagaimana kalian bisa menemukanku?!” Raut wajah kesal tergambar jelas dari wajah Kenzie. Ia tidak punya senjata apa pun untuk melawan sekarang, selain kedua tangannya yang cukup kekar. “Bodohnya dirimu beserta kaummu! Aku hanya menaruh sihir pelacak pada tubuhmu sejak terakhir kali kau tertangkap,” Siluman di sebelah kanan menjawab. “Kali ini kau akan dihajar oleh kami berdua, si kembar A dan B! B, cambuk dia!” “Dengan senang hati, A!” Siluman di sebelah kiri, B, mengayunkan cambuk sepanjang tiga meter sekuat tenaga. Kenzie sempat menghindar, tetapi serangan kedua menghantam kaki kanannya hingga patah. Tidak cukup sampai di sana, B masih mencambuk-cambuk tubuh pemuda tak berdaya tersebut sampai si pemuda kehilangan kesadaran. Dengan tubuh yang hancur terkoyak, Kenzi terjatuh ke dalam kolam air panas. Darahnya pun merubah air yang tadinya jernih, menjadi keruh oleh warna merah darah. Siluman di sebelah kanan, A, merasa bosan melihat B bermain-main. “Baiklah B, dia sudah tewas, lebih baik kita pergi mencari mangsa lainnya!” B menghela napas sejenak, kemudian menggulung kembali cambuknya dan berjalan keluar gua mengikuti A. “Baiklah ... tidak kusangka bocah itu sangat membosankan.” Akan tetapi, sebelum mereka keluar, langkah mereka terhenti karena muncul cahaya keemasan di belakang mereka. Mereka berdua pun berbalik untuk memastikan situasi. Seketika mulut mereka terbuka lebar, melihat tubuh Kenzie melayang di udara. “Apa itu? Siapa dia sebenarnya?” Segera A berlari keluar gua. Namun, naas, jarum emas bercahaya dan besar langsung menusuk jantungnya. “Arg ....” Dengan mulut ternganga dan tubuh mematung, perlahan raga A hancur menjadi serpihan debu, terbang terbawa angin. B masih tidak dapat memahami situasi, tubuhnya mematung kaku karena takut setelah melihat A, saudaranya, hancur menjadi debu. Tanpa pikir panjang, B pun menggila dan menebaskan cambuknya pada Kenzie dengan brutal. “Ha! Mati kau! Berani sekali kau membunuh A!” Sambil bercucuran air mata, B terus berteriak sambil menebaskan cambuknya. Akan tetapi, dia tidak dapat melukai Kenzie sedikit pun, karena pemuda itu terlindung oleh cahaya keemasan di sekitar tubuhnya. Akhirnya B jatuh terbaring di tanah, mulutnya memuntahkan darah segar, dan jantungnya ditembus oleh sebuah jarum emas berkilauan. Dia pun bernasib sama seperti saudaranya, A. Kini, tinggalah Kenzie seorang diri yang melayang di udara, tetapi belum sadarkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD