Chapter 2 : Kehilangan

1133 Words
Kenzie masih melayang-layang di udara, cahaya keemasan masih saja membentuk pelindung di sekitarnya. Pemuda itu belum sadarkan, tetapi semua lukanya sembuh tanpa bekas sedikit pun. Air di kolam air panas tempatnya berendam tadi kini terserap habis ke dalam tubuhnya. Dari dasar kolam tersebut, perlahan muncul sebilah pedang yang memancarkan cahaya terang, menerangi gua yang gelap. Pedang tersebut perlahan memecah, membentuk butiran-butiran cahaya yang kemudian meresap masuk ke d**a Kenzie. Selama proses ini, Kenzie tidak sadarkan diri, sehingga tidak tahu pada apa yang terjadi. Tak lama berselang, jari-jari tangan Kenzie bergerak. Dan, di saat bersamaan, tubuhnya telah selesai menghisap semua butiran cahaya tadi. Raga mungil itu pun perlahan mendarat dengan mulus ke atas tanah tanpa gangguan. Kenzie membuka mata. Ia masih tergulai lemah tanpa daya di dalam gua ini. Mulutnya perlahan bergerak, mengucapkan sesuatu, “Apa aku sudah mati? Tapi kenapa tubuhku masih sulit digerakkan jika aku sudah mati?” Mengabaikan betapa berat tubuhnya digerakkan, pemuda ini bangkit berdiri, kemudian mulai berjalan sambil memegangi lengan kirinya dengan tangan kanan. Ia berjalan terpincang, menuju sumber cahaya yang sudah dekat. Sejenak ia terhenti, merasa ada sesuatu yang aneh. “Apakah tadi aku hanya bermimpi diserang? Ke mana kedua siluman bengis yang menyiksaku itu?” Ia pun berjalan kembali, memastikan kalau tempat ini benar-benar tempat yang didatanginya beberapa waktu lalu. Setelah lama berkeliling, akhirnya Kenzie memutuskan untuk kembali ke desa. Ia masih ingat benar dengan jalan yang dilaluinya ini, tetapi inilah penyebab kenapa ia sangat kebingungan sekarang. Ia berhenti sejenak sambil menengadah, melihat bulan bersinar terang dan langit dihiasi oleh bintang-bintang. “Apakah aku hanya bermimpi diserang oleh dua siluman? Tapi, kenapa hal itu seolah sangat nyata?” Kenzie pun memeriksa sekujur tubuhnya, dan tidak menemukan segores luka ataupun bekas luka. Tubuhnya begitu mulus. Menggelengkan kepala sejenak, ia mengembuskan napas panjang sambil meyakinkan diri kalau tadi siang dirinya hanya sedang bermimpi. Bahkan, untuk semakin memperkuat pemikirannya, Kenzie menemukan kembali sebatang pohon tumbang yang menghalangi jalannya ketika kabur, mencari tempat sembunyi. “Sudah kuduga, aku terlalu khawatir hingga terbawa mimpi. Sebaiknya aku melupakan kejadian mengerikan itu!” Dengan tenang, Kenzie melanjutkan perjalanan. Tubuhnya kini sudah tidak seberat sebelumnya. Ia merasa jauh lebih ringan dan leluasa bergerak sekarang. Bahkan, ia tak perlu lagi bersusah-susah memegangi tangan kirinya. Akan tetapi, setelah cukup jauh berjalan, ia melihat nyala api yang menjilat-jilat di udara, jauh di depannya. “Itukan dari desaku ...?” Segera Kenzie berlari agar dapat memastikan keadaan secepat mungkin. Berlari cukup jauh sampai membuat napasnya terengah, kini Kenzie bersembunyi di semak-semak, dekat dengan desanya. Matanya terbelalak lebar ketika melihat para siluman mengumpulkan penduduk ke lapangan desa. Kenzie pun mengendap-endap mengawasi pergerakan mereka dari dekat. Dengan lihai ia bersembunyi di dinding-dinding rumah, dalam bayang-bayang, tanpa ketahuan oleh para siluman. “Katakan! Kalian apakan A dan B?!” Seorang siluman bersenjatakan cambuk berteriak pada para manusia. “Ka ... kami sungguh tidak tahu ... ampuni nyawa kami ...,” seorang pria bertubuh kekar membungkukkan badan, menjawab dengan gemetar si siluman. “Jangan berbohong!” Si siluman tanpa ampun mencambuk pria tadi hingga terbaring ke tanah. “Kami sudah tak dapat merasakan kehadiran mereka lagi! Kalian pasti menjebak mereka!” “Ampun ..., Tuan Sins, kami sungguh tidak tahu apa-apa tentang mereka ....” Pria lain dari kaum manusia menjawab. “Kalian semua pembohong!” “Argh!” Cambukan keras dari si siluman lantas mematahkan kaki pria tadi. “Argh ....” Tidak tahan melihat hal tersebut, Kenzie mengalihkan perhatian ke tempat lain. Dan, terlihat oleh matanya, seorang perempuan paruh baya yang rambutnya sudah setengah putih, dipaksa berjalan walau terus terjatuh, oleh para siluman. Ia bernama Sisi, ibu Kenzie. “Wanita reyot! Bangun, jangan membuat kami kesal!” ucap seorang siluman sambil menendang Sisi sekuat tenaga. Sisi pun kembali terjerembab ke tanah. Akan tetapi, para siluman itu semakin mendesaknya, “Bangun!” “Biadap!” Kenzie lantas melancarkan pukulan keras pada salah satu siluman itu, tetapi pukulannya terlalu lemah hingga dapat ditangkap begitu mudahnya. “Lepaskan aku, b******k!” Kenzie memberontak. “Berisik!” Siluman itu melemparkan Kenzie sampai menghantam dinding rumah kayu. “Kenzie!” Sisi berteriak, tetapi seorang siluman menendang wajah wanita tersebut sampai beberapa giginya patah. Kenzie merasakan rasa sakit menyebar ke sekujur tubuhnya. Bahkan, mulutnya sempat memuntahkan darah segar. Jika saja Kenzie hanyalah manusia biasa, pastilah sekarang ia mengalami patah tulang. Namun, ia bukan lagi manusia biasa setelah menyerap 'pedang' saat di dalam gua tadi. Setelah beberapa saat, Kenzie akhirnya tersadar. Ia membuka mata, dan melihat semua warga menatapnya dengan gemetar. “Argh ....” Kenzie melihat kaki dan tangannya diikat oleh rantai. Kedua tangannya terangkat ke atas dengan posisi terpisah, dan ada dua buah tiang besi di sebelahnya. “Wah, wah, wah, ternyata kau masih hidup.” Siluman wanita dengan tubuh langsing, memiliki sembilan ekor, dan memakai topi, berdiri di depan Kenzie. Rambut panjangnya terurai, membuatnya terlihat memesona. Namun, ekspresinya begitu datar layaknya dinding. Secepat suara, siluman wanita tersebut menarik pedang dan mengarahkan ujung runcingnya pada leher Kenzie. Leher Kenzie sedikit tergores, sehingga darah mengalir dari sana. “Kenapa kau begitu lancang menentang kami, para siluman, yang dengan baik hati masih mau membiarkan kalian hidup?” “Kenzie! Kenzie!” Dari arah kerumunan, Sisi mencoba mendekati Kenzie, tetapi para siluman mencegahnya. “Anakku!” Walau telah dihentikan, Sisi tetap mengulurkan tangannya ke depan, berharap dapat menjangkau anaknya. “Ibu!” Kenzie mencoba melepaskan diri dari rantai. Kendati demikian, usahanya sia-sia saja, sebab ia tidak dapat berbuat apa pun. “Jauhkan tangan kotor kalian dari ibuku, siluman-siluman b******k!” Siluman wanita di depan Kenzie tersenyum tipis, lalu berbalik. “Lepaskan wanita itu ....” Tanpa bertanya, para siluman langsung saja melepaskan Sisi, dan Sisi pun segera segera mendekati anaknya, hendak memeluk pemuda tersebut. Sebelum itu terjadi, siluman wanita tadi lantas memukul Sisi sampai jatuh telungkup di tanah. “Ibu!” Sekuat tenaga Kenzie memberontak, tetapi rantai yang mengikatnya tidak mau putus. “Ibu ...!” Si siluman wanita kembali tersenyum. “Apakah dia ibumu, bocah nakal?” “Lepaskan ibuku, dasar kau jalang!” “Apa katamu?!” Siluman wanita menggertakkan gigi, lalu menginjak kepala Sisi dengan kaki kanannya. Sepertinya dia menjadi begitu kesal akibat hinaan yang dilontarkan Kenzie. Tanpa ampun, dia langsung mengarahkan mata pedangnya ke leher Sisi. “Akan kuperlihatkan padamu, bagaimana wanita jelek ini mati oleh pedangku!” “Jangan!!!” Kenzie berteriak kencang sambil meronta. Air matanya sudah tak terbendung lagi ketika pedang tajam itu hendak memotong leher ibunya. “Tidak!!!” Meski napasnya sesak, ia memaksakan diri menghancurkan rantai pengikatnya. Kedua bola matanya pun memerah, menandakan kemarahan mendalam. “Terlambat, bocah ....” Pedang panjang milik si siluman wanita kini dipenuhi darah, usai memenggal kepala Sisi. “Tidak!!! Ibu!!! Arg!!! Ibu!!!” Mau bagaimana pun Kenzie berteriak, tetap tidak akan bisa mengembalikan ibunya yang telah tewas, tepat di depan matanya. "Tidak!!! Ibu ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD