Perasaan Juna Tidak Salah

1719 Words
Baru kali ini Juna kenalan sama orangtua teman tapi tanggapannya dingin cenderung ada penolakan, padahal awalnya baik - baik dan ramah. Juna curiga soal dari mana dia berasal yang membuat bibi Lyn langsung berubah. Sophia bilang Bibinya itu memang tidak selalu ramah, tergantung mood-nya dan kecurigaan Juna itu tidak beralasan. Walau Sophi bercerita dengan nada yang ringan, tetap saja Juna tidak langsung menerima, apalagi secara random Sophi bercerita kalau bibinya itu bukan tidak mau menikah karena tidak tertarik sama laki - laki, tapi dia pernah patah hati sampai hasrat ingin menikah itu pun hilang. Juna jadi berpikir, apakah seseorang di masa lalu bibi Lyn yang membuat bibi-nya Sophi itu seperti tidak suka dengan dirinya? Entah lah. Tidak seperti di Indonesia, ketika ada teman anak mau pamit pulang dan kebetulan orang tuanya sedang ada di rumah, ada sedikit basa basi meladeninya ketika mereka akan pamit pulang. Mamanya saja yang bisa dikategorikan sebagai sosok yang sangat sibuk, kalau memang sedang ada di rumah dan tahu ada teman - teman anaknya sedang main di rumah, pasti ikut menyapa atau berbasa - basi dua tiga menit saat mereka pamit pulang. Tapi tadi Bibi Lyn benar - benar tidak keluar dari kamar lagi, Sophi pun biasa saja seperti itu bukan big deal dengan sikap bibinya itu. "Kampret!" "Lah kenapa lo Jun." "Nggak kenapa - kenapa, cuma pengen ngomong kampret dan ada yang dengerin." Doni tentu saja kaget, tidak ada angin tidak ada hujan tiba - tiba Juna menelponnya dan langsung bilang kampret. "Ya udah gue udah denger, trus maksudnya apa?" "Ya nggak ada." "Mulai gila ya lo di sana? Nggak enak ya hidup susah?" ejek Doni sambil terkekeh. Hari minggu nya diisi dengan gerutuan Juna, indah kan? "Lagi ngapain lo?" tanya Juna, dia tidak menjawab pertanyaan Doni tadi. "Ya abis makan siang, ngerokok, ngopi, masih koloran, mandi juga belum, menurut lo? Menyenangkan kan hidup gue?" "Ya jadi serangga penghisap harta orang tua lo." Doni terkekeh. "Yaelah Jun, orangtua kita nyari duit buat apa sih? Ya buat meringankan hidup anaknya lah. Kalo gue nyari duit ya buat gue senang - senang. Gue nggak mau ribet kayak lo." Juna mendengus. "Yaudah deh, gue mau naik bis nih, bye." Juna langsung mematikan sambungan teleponnya dan membuat Doni bingung,"Njiir ... kenapa nih bocah?" ucapnya sambil melihat layar ponselnya yang sudah kembali ke beranda. Juna memang langsung naik bis yang memang sudah datang, tadi dia menelpon Doni saat di halte. Juna naik bis memang menuju tempat tinggal Anton dan Rudi, teman - temannya itu juga libur hari ini. Mereka akan bertemu beberapa teman whv yang sudah lebih dulu dari mereka datang ke Australia, biasalah, para senior pejuang cuan itu hendak berbagi info ke para juniornya. Mereka itu sekarang banyak yang kerja di perkebunan. Juna, Anton dan Rudi belum banyak dapat info soal itu, dan ketika ada tawaran untuk berbincang, tentu saja mereka menyambutnya. Sementara itu di rumah Sophia... Setelah Juna pulang, Sophi mencuci gelas yang dipakainya tadi, saat itu bibi Lyn keluar dari kamarnya dan langsung menegurnya. "Teman kamu tadi sudah pulang?" "Juna? Ya sudah, dia akan bertemu teman - teman Indonesianya disini." "Kamu kenal dimana sama dia? Sudah seberapa dekat?" "Kan tadi sudah aku bilang bahwa dia pelanggan The Bean, kami waktu itu berbincang cukup lama dan ternyata jadi berteman, tadi teman - temanku ingin berkenalan juga dengannya, lalu meminta Ervin untuk mengajaknya, uhm maksudku Ashley dan Deina yang ingin berkenalan. Mereka tertarik karena Juna orang Indonesia, kata Deina seksi," jawab Sophi sambil tersenyum, sementara bibi Lyn wajahnya tetap serius. "Jangan bilang kamu juga tertarik dengannya." "Tertarik? Aku tidak tertarik padanya ... bibi kan tahu aku sudah punya pacar. Kenapa bibi berpikir begitu? Aneh." "Ya bibi hanya khawatir, dia seperti tidak punya apa - apa dan akan membuatmu sengsara.Orang seperti ini bisa saja ingin memanfaatkan kamu untuk menumpang hidup lalu dan ujung - ujungnya hanya memanfaatkan kamu untuk batu loncatan jadi permanent resident disini." Tentu saja Sophi jadi terkekeh mendengar ucapan bibinya. "Aku heran bibi sangat peduli dengan hidupnya Juna. Aku tahu dia kesini untuk bekerja, tapi karena dia ingin punya mobil, bukan mau mendapatkan status permanent resident yang seperti bibi tuduhkan itu, bibi jangan berlebihan ... apa bibi punya pengalaman dimanfaatkan seseorang dimasa lalu makanya punya kekhawatiran yang tinggi pada Juna?" selidik Sophi. "Aku tidak akan memberi kesempatan kepada lelaki yang berniat seperti itu." "Ya tapi bibi tidak usah merendahkan dia juga, apalagi sampai menuduhnya seperti itu. Juna tidak melakukan apa -apa kepadaku dan kami benar - benar hanya berteman." "Tapi bibi tetap berharap kamu menjaga jarak dengannya." "Kenapa? Bisa bibi jelaskan sesuatu supaya aku tidak berpikir macam - macam soal ini, tapi Please, jangan pakai alasan konyol tadi, itu sangat menggelikan walau tidak lucu." Bibi lyn bersedekap melihat ke arah Sophi, sementara Sophi bersandar di tempat cucian piring, tangannya ditopang kan disana. "Bibi tidak bisa menjelaskan padamu sekarang, tapi ini demi kebaikanmu. Jangan bawa dia kesini lagi dan mulailah menjaga jarak dengan dia." Bibi Lyn serupa meng-ultimatum Sophia. Sophi hanya tersenyum sinis, dia tidak mendapat jawaban yang membuatnya bisa menerima larangan ini, benar - benar tanpa alasan yang masuk akal. "Apa bibi pernah patah hati dengan pria Indonesia dan menganggap Juna akan melakukan hal yang sama?" Mata bibi Lyn membesar, dia melotot mendengar pertanyaan Sophia yang benar - benar tidak dia sangka. "Bibi sudah cukup senang kalau kamu sama David bisa berlanjut sampai pernikahan, tidak usah menambah teman laki - laki lagi, apalagi sampai membawanya ke rumah." Tetap saja bibi Lyn tidak menjawab pertanyaan Sophi yang seperti menuduh itu. "Ini tidak ada hubungannya dengan David, hubungan kami baik - baik saja dan aku tidak berpikir menukar posisi David dengan Juna. Aku hanya tidak suka bibi membenci Juna dengan alasan yang mengada -ada. Aku pikir tadi Juna yang berlebihan karena dia merasa bibi tidak menyukainya, tapi ternyata perasaannya itu benar, bibi tidak menyukainya dan aku masih heran, kenapa?" Bibi Lyn diam, tapi matanya masih menatap Sophia dengan tatapan tidak senang dengan jawaban keponakannya itu, Sophia pun membalas tatapan itu, mereka meributkan sesuatu yang tidak jelas ujung pangkalnya. Tapi baru kali ini Sophia melawan bibinya. "Aku tidak akan berdebat soal ini lagi, tapi kamu tahu apa yang bibi mau dan ikuti saja," jawab bibi Lyn lalu membalikkan badan untuk masuk ke kamarnya lagi. Sophi terus menatap ke arah pintu kamar bibinya, pikirannya berkecamuk, dia tidak mengerti kenapa harus ribut soal Juna yang bukan siapa - siapanya itu, kenapa ini menjadi issue yang menarik untuk dibahas oleh bibinya? Sophi masuk ke kamar, beberapa menit kemudian dia mendengar pintu kamar yang terbuka, setelah itu pintu depan pun ditutup, tidak lama setelahnya dia mendengar deru kendaraan yang meninggalkan rumah, ya bibinya pergi tanpa pamit, ini tidak seperti biasa. *** Sudah satu minggu sejak acara piknik itu, Juna belum bertemu Sophia lagi. Tapi Deina sudah pernah datang ke Burger's kitchen dan menunggunya selesai bekerja untuk mengajaknya hangout. Juna tidak menolak. Dheina mengaku tadi dia ada di sekitar tempat Juna bekerja, dan karena itu dia mampir lalu ujung - ujungnya mengajak hangout di salah satu cafe tidak jauh dari resto Nelayan, tempat dia dan Sophi makan siang hari minggu lalu. Modus seperti ini Juna sudah khatam, banyak wanita seluruh dunia melakukan ini, tapi dia ikuti saja. "Kalau hari libur kamu kemana saja Jun?" tanya Deina membuka pembicaraan ketika mereka baru saja duduk. "Hmm, kumpul sama teman." "Kamu sudah punya banyak teman di sini?" "Bukan orang sini, sama sepertiku, dari Indonesia juga. Aku belum banyak mengenal orang sini, hanya teman kerja dan kalian." "Owh. Kamu betah disini?" "Ya, aku suka." "Walau udara lagi panas ya.." "Kamu kan pernah ke Bali, panasnya sama saja kan?" "Ya, tapi disini anginnya juga panas, tapi aku sangat menyukai Bali, aku menyukai banyak hal dari Indonesia, orang- orangnya ramah dan mudah menjadi akrab," Deina memuji habis - habisan soal Indonesia. Juna tersenyum. Tapi senyumnya itu membuat Deina si bule pirang makin tertarik padanya. "Indonesia memang terkenal soal keramahannya, tapi orang sini yang aku kenal pun sangat ramah, seperti kamu, Ervin, Ashley dan Sophia, owh Jack juga, teman kerja Sophi di The Bean." "O iya, aku juga mengenal Jack." "Hmm .." "Tempat tinggalmu jauh dari Bali?" "Satu setengah jam kalau naik pesawat." "Lumayan jauh." "Ya .. tapi aku cukup sering ke Bali bersama teman - teman, sesekali saat weekend kami menghabiskan waktu disana." "Tiketnya mahal." "Seratus lima puluh dollar pulang pergi menurut kamu mahal?" "Murah, eh apa semurah itu?" "Iya kalau dari rumahku ke Bali ongkosnya segitu, jangan kamu bandingkan kalau dari sini." "Ah iya aku lupa, dari sini jauh ya.." Juna mengangguk sambil tersenyum, dan itu meracuni pikiran Deina. "Apakah saat kamu senggang mau berkencan dengan ku, Jun?" Astaga ... sudah jauh - jauh ke Australi dan jadi orang kere gini masih aja ada yang mau ngajak kencan? tanya Juna dalam hati. "Hmm ... kalau berkencan aku perlu modal, sepertinya aku harus menunggu gajian dulu Dein .." "Aku tidak tahu bagaimana di negaramu, kalau berkencan disini kamu cukup mengeluarkan biaya untuk dirimu sendiri, kita bisa berkencan ke tempat yang asik misalnya? Aku punya mobil yang bisa dipakai, kami bisa menyetir?" "Ya bisa." "Bagus, bagaimana kita ke pantai weekend ini?" "Aku kurang suka pantai," Juna mencoba mengelak. "Lho, katanya tadi kamu suka ke Bali, bukan kah disana terkenal dengan pantainya?" "O aku tidak menginap dekat pantai, tapi ke area yang lebih tinggi, tempatnya dingin." "Hmm ... pilihan yang bagus, apa kita mau ke dataran tinggi? Kita bisa menginap disana satu malam kalau kamu mau." Mati gue! umpat Juna dalam hati. Juna jadi kalang kabut sendiri dicecar teman Sophi ini. Salahnya juga memberi celah dan akhirnya membuatnya panik. "Boleh aku kabari kamu nanti? Aku harus memastikan ke teman - temanku dulu soal rencana yang sempat kami rancang untuk weekend ini, kalau mereka mau membatalkan, usul kamu tadi akan aku pertimbangkan," jawab Juna sambil tersenyum walau hatinya jedak - jeduk karena takut tidak berhasil menghindari ajakan Deina. Semoga saja alasan yang dia berikan barusan diterima Deina tanpa debat. "Hmm baiklah, boleh aku minta nomor telepon kamu? Maksudnya supaya mudah kalau ingin menghubungi karena tidak bisa setiap saat aku bisa lewat tempat kamu bekerja." "O ya .. tentu saja boleh." Juna mengeluarkan ponselnya, karena dia tidak ingat nomor teleponnya sendiri. Juna menyebutkan deret angka yang langsung di save oleh Deina, lalu dia mengirimkan pesan singkat ke Juna untuk menunjukkan kalau itu nomornya. "Simpan nomor ku ya." "Oke."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD