Kamu Orang Indonesia?

1969 Words
Setelah dua kali naik kendaraan umum dengan jarak tidak terlalu jauh, mereka tiba di pemukiman yang tertata apik. Rumah - rumah tanpa pagar dan jaraknya tidak rapat seperti di Jakarta memberi pemandangan yang indah buat mata. Rumput - rumput memang banyak yang mulai kecoklatan, tapi tidak disemua rumah, mungkin karena kurang air, tapi pohon - pohon peneduh ada di di setiap rumah. Ini bukan komplek perumahan yang model rumahnya sama semua, disini modelnya berbeda, dan tidak semuanya berlantai dua, hanya beberapa saja karena memang lahan di sini cukup luas, satu rumah rata - rata berdiri diatas lahan sekitar lima ratus atau bahkan sampai seribu meter persegi. Dari tempat pemberhentian bis tadi kata Sophi mereka harus jalan kaki tiga ratus meter lagi. "Tempatnya enak ya." "Iya enak dan sepi. Tempat tinggal kamu di Indonesia apakah seperti ini?" Tidak juga, rumah orangtuaku berada di perumahan padat, kami harus memakai pagar tinggi kalau mau aman." "Kenapa terdengar mengerikan?" tanya Sophia heran. Juna terkekeh. "Hmm, tidak terlalu mengerikan sih, tapi memang semua tetangga kami juga memakai pagar tinggi. jadi privasi juga tinggi. Tapi menurutku disini lebih enak. Eh tapi ada juga cluster tertentu yang memang perumahannya tidak berpagar seperti disini." jelas Juna. "Owh." "Kamu sudah lama ya tinggal disini?" "Ya, sudah sangat lama, ini rumah peninggalan kakek ku dulu. Anaknya kan cuma dua, mamaku dan bibi Lyn, jadi sekarang kami yang menempati. " Owh. Bibi Lyn itu sudah tua?" "Belum terlalu, umurnya masih empat puluh lima tahun, seusia persis mamaku kalau masih ada." "Hmm. apa dia punya anak?" "Tidak punya, bibi Lyn tidak pernah menikah. Hanya mamaku yang menikah. O ya, waktu itu kamu bilang punya saudara kembar kan? Aku lupa berapa jumlah saudara kamu." "Kami tiga bersaudara, aku punya dua adik perempuan, yang terkecil masih smp." "Pasti seru ya ada banyak saudara." "Banyak? Cuma dua." "Di banding aku? Aku hanya punya teman di sekolah, itu pun tidak terlalu akrab soalnya sepulang sekolah ya pulang, karena kalau bibi bekerja aku hanya boleh tinggal di rumah. Sekarang setelah aku besar, tepatnya dari sma aku boleh bekerja di The Bean, lumayan menambah uang jajanku yang tidak terlalu banyak itu. Sejak kuliah ini lebih bebas lagi, aku bisa piknik sama teman - teman seperti hari ini, atau sesekali pergi sama David." "Hmm .. .aku kira budaya kalian bebas memilih apa yang kalian mau, mau pergi main, mau tinggal sendiri atau menentukan apa yang kalian mau sendiri." "Deina dan Ashley begitu, tapi aku tidak. Well.. setiap keluarga punya rules masing - masing kan?" "Tapi kamu tidak memberontak?" Sophia tertawa. "Aku hanya punya bibi Lyn, apa alasan aku memberontak? David pernah mengajakku tinggal di apartemen, tapi aku tidak mau, bukan dilarang bibi Lyn, tapi selain aku tidak mau meninggalkan bibi Lyn sendiri, aku juga tidak akan tinggal dengan pasangan kalau belum menikah " "Itu pilihan yang bagus." Sophia menoleh ke arah Juna yang berjalan disisinya, "Benar kah?" "Ya...kenapa?" "Baru ini ada yang bilang prinsip yang aku pilih bagus." "Memangnya siapa yang menentang?" tanya Juna. "Bukan menentang, tapi mereka bilang aku kuno." Juna tertawa. "Bukankah barang vintage suka diburu kolektor dengan harga tinggi?" "Ya...aku menanti penawaran tertinggi kalo gitu," jawab Sophi sambil tertawa. "Nah itu tempat tinggal ku, sepertinya Bibi Lyn ada di rumah." Juna dan Sophi tiba di depan rumah keluarga Sophi. Sebuah bangunan satu lantai yang berdiri anggun di tengah area perumahan yang tenang. Rumah ini milik kakek Sophi, dan gayanya yang klasik segera terlihat dari luar. Dengan arsitektur bergaya mengadopsi gaya Victoria klasik tapi tidak pure victorian, sepertinya hanya terinspirasi saja, rumah ini memiliki keindahan yang menawan dan pesona yang tak lekang oleh waktu. Taman depan yang tidak berpagar itu tampak tertata rapi dengan satu atau dua macam bunga mekar sepanjang tahun memberikan sambutan hangat. Jalan setapak dari batu bata merah mengarahkan ke pintu depan yang besar. Dinding - dinding rumah mengandalkan bata ekpose yang memberi kesan hommy. Beranda depan yang luas dan agak tinggi menjadi ciri khas utama dari rumah bergaya Victoria ini dengan tiang - tiang penyangga sekaligus pemanis. Beranda ini merupakan tempat favorit keluarga untuk duduk dan menikmati sore hari sambil menikmati pemandangan taman. Sophi tidak menekan bel tapi dia membawa kunci cadangan. "Ayo masuk," ajaknya. Juna meihat Sophi masuk dengan tetap menggunakan sepatu, Juna pun melakukan hal yang sama. Masuk ke dalam rumah, Juna disambut oleh ruang tamu dengan langit - langit yang cukup tinggi dan memberi kesan luas. Sebagian dindingnya dihiasi dengan wallpaper bermotif bunga klasik dan karya seni yang berupa lukisan menggambarkan pemandangan alam. Lantai kayu asli yang dipoles mengkilap melapisi seluruh ruangan, memberikan kesan hangat dan mewah. Ruang tamu, dikelilingi oleh sofa dan kursi berlengan yang nyaman, ideal untuk berkumpul bersama keluarga atau menjamu tamu. Jendela - jendela besar dengan gorden berat memungkinkan cahaya alami masuk, memberikan pencahayaan alami yang lembut ke dalam ruangan. Ada beberapa foto di dinding ruangan tempat Juna duduk, tapi Juna merasa tidak sopan kalau melihat tanpa permisi. "Sebentar ya, aku ke kamar dulu mau ganti baju, agak keringatan, kamu duduk dulu di sana." "Oke," Juna nurut, dia memilih sofa single yang ada di ruang tamu rumah Sophi. Dari tempatnya duduk, Juna bisa melihat dapur di rumah ini yang merupakan perpaduan antara elemen klasik dan kenyamanan modern, terlihat dari permukaan table island yang memakai alas marmer, dan peralatan dapur canggih, tidak heran sih kalau rumahnya klasik tapi dapurnya modern, bukankah bibi Lyn yang memiliki The Bean? Wajar dia suka memasak dan melengkapi dapurnya dengan peralatan modern. Sophi keluar dari kamarnya dengan memakai celana pendek dan baju kaos, Juna sampai bengong sesaat melihatnya. "Baby, kamu pulang?" Terdengar teriakan dari dalam kamar, sudah pasti itu suara bibi Lyn dan pertanyaan itu ditujukan pada Sophi yang di panggil baby tadi, itu yang mendistraksi Juna. "Ya aku sudah pulang dan ada teman bersamaku," jawab Sophia sambil menatap Juna. "Who, Ashley?" "No ... Juna." Tidak terdengar lagi sahutan dari dalam. "Sini Jun," panggil Sophi mengajak Juna ke meja tinggi serupa meja resto, tidak jauh dari kulkas. Ternyata Sophi ingin menawarkan minuman ke Juna. "Kamu mau mineral water, soda, atau jus?" tanya Sophi sambil membuka kulkasnya. "Mineral water saja." Sophi mengambil teko dari dalam kulkas dan dua gelas kosong untuk minum air putih. Kalau di rumah Juna ada dispenser, lebih simple tapi di rumah Sophi tidak terlihat dispenser, hanya mengandalkan kulkas. Juna sekarang bisa melihat area halaman belakang rumah yang cukup luas dari kaca jendela dan pintu kaca yang tidak memakai gorden, di belakang terdapat taman dengan satu pohonan yang cukup rindang dan area duduk yang nyaman, ideal untuk bersantai atau mengadakan pesta barbekyu. "Baru ini aku masuk ke rumah orang lokal sini, beda dengan tempat penginapan ternyata." Sophia tersenyum dan kini dia sudah duduk di depan Juna sambil menuang air minum ke gelas. "Kamu jangan membandingkan dengan penginapan, ini hanya rumah kecil, hanya ada tiga kamar di sini, itu kamar kakekku tapi sekarang kami fungsikan sebagai tempat penyimpanan baju dan sepatu, itu kamar bibi Lyn dan kamar yang aku tempati adalah kamar mamaku. Ini rumah simple dimana kamu bisa melihat semua ada disini, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan dan dapur." "Tapi ini desainnya simple, tapi semua aktivitas mendapat tempat yang cukup besar, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan dan dapur, walau tidak ada sekat dan hanya los saja tapi setiap tempat memiliki tugas masing - masing, ini bagus." "Terimakasih." Sophia tidak menyadari kalau dia sedang bicara dengan seorang arsitek. "Aku banyak melihat foto di ruang tadi, itu semua keluargamu?" "Ah iya, sebentar .. aku bisa kasih lihat foto mereka." Sophi berjalan menuju satu lemari lalu membukanya dan mengambil satu pigura yang tidak terlalu besar. "Kamu lihat ini," Sophi menyodorkan pigura itu ke Juna. "Ini kakek dan nenekku .." "Ini pasti kamu dan ibumu dan ini bibi Lyn," tebak Juna memotong pembicaraan Sophia. Di dalam foto tersebut terlihat satu orang laki - laki yang wajahnya menyenangkan dan seperti seorang family man diantara wanita - wanita di sekelilingnya, "Kenapa tidak ada papa kamu disini?" "O papaku sudah meninggal waktu aku umur dua tahun, katanya karena kecelakaan .. aku tidak punya fotonya karena katanya papaku tidak suka di foto, bahkan foto pernikahan mereka pun tidak ada, dan foto ini dibuat enam bulan sebelum mamaku meninggal karena sakit yang mewabah disini waktu itu. Kakek dan nenek ku juga meninggal beberapa tahun kemudian, semua terjadi saat aku kecil, makanya aku hanya tinggal berdua bibi Lyn saja." "Mamamu mirip sekali dengan bibi Lyn." "Ya jelas saja, mereka kan kembar," jawab Sophi lalu tertawa. "Tapi kenapa rambut kamu disini masih blonde dan sekarang sedikit gelap?" "O kalau itu aku tidak tahu pasti penyebabnya, aku bahkan tidak pernah mewarnai rambutku di salon ... kata bibi lyn pigmenku lebih banyak dari pigmennya, makanya kami berbeda. kulitku putih tapi tidak berbintik seperti bibi Lyn, rambut kami juga sekarang sedikit berbeda warnanya. Kata bibi Lyn kulitku lebih baik dari pada kulitnya dan kulit mamaku." "Tapi dengan wanita - wanita yang ada di foto ini, wajah kamu terlihat mirip." "Iya, banyak yang bilang begitu." Juna menyerahkan kembali pigura itu dan segera dikembalikan Sophi ke tempatnya tadi. Cuma percakapan singkat saja Juna sudah tahu seluruh keluarga Sophi, sesingkat itu karena jumlahnya cuma lima orang, di foto saja tidak perlu bertumpuk - tumpuk seperti keluarga besarnya sedang berfoto, sampai perlu disusun ada yang duduk di bawah, ada yang di kursi dan ada yang berdiri supaya masuk dalam satu frame, dahsyat kan? Belum lagi kalau di ceritakan satu persatu, mana bisa cuma lima menit seperti Sophi tadi, mungkin perlu satu minggu menjelaskan data diri hingga kelakuan keluarganya mulai dari Yangpa sampai keponakannya terkecil. "So ... bagaimana keluarga kamu?" Juna tersenyum, baru saja itu hadir dalam pikirannya dan sekarang Sophi menanyakannya. "Kamu akan pusing mendengarnya karena jumlahnya terlalu banyak kalau aku ceritakan mulai dari kakekku, jadi lebih baik kamu skip saja." Sophia terkekeh, "Memangnya berapa banyak, sepuluh, lima belas orang?" "What ... sepuluh? Keluargaku saja tanpa kakek, nenek, om, tante sepupu dan keponakan saja sudah lima orang, kamu percaya kalau aku bilang keluargaku totalnya mungkin sekitar tiga puluh orang? Tapi aku lupa pastinya berapa." "Kamu serius?" tanya Sophi dengan mata melotot dan wajah kagetnya. "Ya aku serius, memang sebanyak itu." "Owh oke, itu terlalu panjang," ucap Sophi menyerah. Juna terkekeh," Kan sudah aku bilang." 'Ceklek' Suara pintu kamar terbuka membuat Juna menoleh. "Itu bibi Lyn," ucap Sophi. Mata Juna mengerjap, Busset, bibinya bule abis banget nih, ucap Juna dalam hati. Bibi Lyn mendekat ke arah mereka. "Hallo, aku bibi Lyn," sapanya ramah. "Hallo bi, saya Juna, teman Sophi." Mereka bersalaman, lalu bibi Lyn berlalu menuju kulkas, sepertinya dia juga hendak mengambil sesuatu disana. "Aku baru tahu kalau kamu punya teman baru," ucap bibi Lyn ke Sophi. Cara bicara bibi Lyn sangat kental logat Australianya, agak beda dengan Sophi yang masih lebih ringan. "Ya, aku baru mengenalnya minggu lalu, dia pelanggan The Bean," jawab Sophi. "O, Aku kira dia teman di kampusmu." "Bukan, Juna sudah selesai kuliah, dia sekarang kerja di Burger's Kitchen tempat Ervin, baru mulai beberapa hari ini." "O ya? Tapi sepertinya kamu bukan orang sini ya?" tanya bibi Lyn yang menatap Juna. "Iya bukan, saya dari Jakarta, Indonesia," jawab Juna. Bibi Lyn kini berdiri di dekat table Island, satu tangannya memegang kaleng minuman soda dan satu tangan lagi di pinggangnya. "Kamu orang Indonesia?" Menurut pengamatan Juna, seketika wajah ramah bibi Lyn tadi mendadak hilang ketika tahu dia dari Indonesia. "Iya." "Owh oke." Bibi Lyn kembali berjalan menuju ke kamarnya tanpa bicara. Tentu saja itu membuat Juna heran. "Jangan kaget, dia biasa begitu dengan teman - teman ku yang lain," ucap Sophi setengah berbisik. "Uhm ... apa menurut perasaanku saja ya, tadi waktu baru keluar kamar dia terlihat ramah, tapi ketika tahu aku dari Indonesia dia berubah." "Kamu terlalu sensitif, dia tidak masalah soal itu, orang dari planet lain saja bisa menjadi temannya apalagi kita sama - sama tinggal di bumi," ucap Sophia menepis anggapan negatif Juna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD