Hari pertama bekerja dilalui Juna dengan banyak pelajaran yang diserapnya dari Ervin. Ya, Ervin menjadi mentornya, bukan hanya untuk satu hari ini saja, tapi satu minggu ini dia akan banyak mendapat ilmu baru yang akan diajarkan Ervin. Juna akan belajar preparation atau persiapan bahan makanan, menggulung sandwich wrap dengan cepat, menyiapkan burger hingga membungkus dan menyajikan ke pembeli hingga membersihkan perangkat bekas menaruh bahan makanan. Katanya besok dia akan diajarkan membersihkan lantai, toilet, mengelap nampan yang sudah dipakai dan buang sampah. Minggu depan baru akan diajarkan Opening dan Closing. Jadi mereka semua yang bekerja disini harus bisa melakukan segalanya tergantung jadwal mereka. Pekerja disini cuma delapan orang, jadi mereka sudah dibagi berdasarkan tugas masing - masing. Cabang Burger's Kitchen di city ini memang paling sibuk saat jam istirahat kantor karena banyak sekali orang yang datang mengantri, belum lagi yang pesan antar, tapi setelah lewat jam dua siang, tempat ini mulai sepi.
Dunia pekerjaan bukan hal baru buat Juna. Dia pernah magang di biro Arsitek, dia juga sudah ikut rapat pemegang saham di rumah sakit milik Yangpa, sementara itu di T.Pra, biro arsitek milik papanya dia pun sudah mulai terlibat. Jadi dia sudah biasa dengan sistem yang ada dalam satu pekerjaan, walaupun pekerjaan ini sangat berbeda tapi karena sudah ada sistem kerjanya tentu saja Juna sangat mudah mengikutinya. Hanya betis dan pinggang lumayang cenut - cenut karena lebih sering berdiri.
"So ... bagaimana kesan di hari pertama bekerja?" tanya Ervin sambil membawa satu beef burger yang siap disantapnya, dia duduk di depan Juna, sedangkan Juna sudah menghabiskan jatah chicken sandwich. Satu orang pekerja akan mendapatkan satu jenis makanan yang mereka pilih sendiri, kalau minuman bebas.
"Baik - baik saja, sepertinya satu atau dua hari ini aku sudah bisa melakukan lebih baik lagi," jawab Juna sambil memperhatikan Ervin membuka bungkus burger-nya.
"Bagus, kamu merasa capek?"
"Pasti, mana ada kerja yang tidak capek, apalagi harus berdiri lama sepanjang siang tadi."
" Nanti lama - lama klamu akan terbiasa, O ya rencananya besok aku datang agak siang, mungkin sekitar jam sebelas karena ada kelas di kampus."
"Owh."
"Kamu kerjakan saja seperti hari ini ya, besok menjelang closing kamu akan aku ajarkan kegiatan cleaning."
"Baiklah."
Ervin menghabiskan burgernya, cepat sekali, lalu dia menyedot minuman sodanya.
"Aku tidak tahu kalau di sini dapat makanan juga, lumayan bisa menghemat," ucap Juna.
"Yup, setidaknya perut kamu bisa kenyang sampai menjelang malam nanti."
"Iya, suatu keberuntungan."
"Kamu sudah kasih tahu Sophia kalau kamu mulai bekerja disini, Jun?"
"Uhm .. dia sudah tahu, kemarin Sophi dan David mengantarkanku ke penginapan yang baru, tidak begitu jauh dari sini."
"O kamu sudah mengenal David ya?"
Juna mengangguk," Baru kemarin sore."
"Owh aku kira sudah lama."
Bagaimana mungkin sudah lama, kenal Sophi saja baru kemarin pagi, itu juga by Accident, apa Sophi tidak cerita ke Ervin ya? batin Juna.
"Baru sempat ketemu kemarin," jawab Juna Ambigu, kesannya mereka baru sempat ketemu.
"Bagus lah, tapi hati - hati saja, dia sangat pencemburu ... aku saja dicemburuinya."
"O ya? Padahal kamu teman Sophi."
"Rambut kribo ku ini di curigai akan memikat hati Sophi, mungkin?" jawab Ervin yang tentu saja bermaksud melucu.
Juna jadi terkekeh dibuatnya.
Kalau digambarkan secara fisik, Ervin ini rambutnya keriting kusut dengan warna kuning keemasan, wajahnya penuh bintik tapi terlihat menyenangkan karena selalu tersenyum dan dia banyak bicara. Dia mentor yang baik, Juna nyaman diajarkan oleh Ervin, dia tidak seperti sedang menggurui dan bossy.
"Mungkin dia khawatir kamu berniat memikat hati Sophi."
"Hei ... siapa yang tidak berniat? Banyak teman di kampus suka sama Sophia, dia gadis baik dan tidak banyak gaya seperti cewek - cewek lain di kampus kami, bahkan teman - temannya sendiri. Aku rasa David hanya beruntung, seperti menang lotre."
Juna tertawa ngakak.
"Bagaimana bisa kamu memberi perumpamaan menang lotre?"
"Banyak yang lebih tampan dan lebih kaya dari David, tapi Sophi lebih memilih dia ... kalau di bilang matrealistis seharusnya bukan David yang dia pilih."
"Mungkin David baik?"
"Hei Bro, aku kurang baik apa?"
"Ckk .. kamu iri rupanya?"
"Dulu iya, sekarang tidak karena aku sudah punya pacar juga, Aku hanya penasaran apa yang diucapkan David sampai Sophi percaya padanya."
Lagi - lagi Juna terkekeh.
"Kamu terus tertawa, memangnya kamu tidak naksir sama Sophi?"
"Aku? Tentu saja tidak. Tipe ku sulit, bro."
"O ya? Kata teman - temanku gadis Indonesia cantik - cantik, eksotik ... benarkah?"
"Tergantung selera, kalau aku bilang cantik, belum tentu kamu akan mengatakan hal yang sama kan? Menurutku, seseorang bisa dibilang sangat cantik ketika kamu sudah banyak bicara dan dekat dengannya, ada rasa nyaman, terlihat tulus dan pintar."
"Begitu ya..?"
" Apa kamu pernah bertemu wanita cantik secara fisik, tapi ketika kamu bicara dengannya penilaian cantiknya jadi turun?"
"Hmm ... ya mungkin, mendadak tidak menarik ya ketika dia sedang bicara? Begitu kan maksudnya?"
"Iya."
"Ya mungkin ada," jawab Ervin, dia tampak sedang berpikir, mungkin mencoba mengingat mungkin ada type wanita seperti itu yang pernah dekat dengannya.
"Well, aku pemilih kalau soal wanita, makanya di usia ku yang hampir seperempat abad ini mantan pacarku cuma dua, yang pertama cuma cinta monyet waktu smp, jadian karena penasaran karena ingin punya pacar dan satu lagi waktu kuliah, itu juga putus karena ternyata visi hidup kami beda, aku tidak mau memaksakan diri punya pacar tapi hidupku tidak senang."
"O beda ya kita, aku senang punya pacar, karena baru ini lah ada wanita yang menerimaku."
Juna dan Ervin tertawa, tentu saja menertawakan nasib Ervin.
"Tapi kamu tampan, tidak mungkin kamu punya pengalaman hidup seperti aku."
"Pengalaman apa maksudnya?"
"Ya pengalaman cuma ada satu wanita yang menerima aku jadi pacarnya, cuma Lucy," jawab Ervin menyebutkan nama pacarnya.
Juna langsung teringat banyaknya wa nyasar minta kenalan, belum lagi kiriman - kiriman salam, ajakan temannya yang mendadak ingin jadi comblang, bahkan saudara kembarnya sendiri.
"Ah wajah seperti ku ini pasaran di Indonesia, kan sudah aku bilang tadi, mantan pacarku cuma dua orang, jadi ya tidak terlalu laku juga."
"Eh tapi apa benar usia kamu hampir seperempat abad?"
"Ya dua tahun lagi."
"Ckk aku kira dua hari lagi, kamu masih terlalu muda untuk pria dengan usia seperempat abad bro, usia kita hanya terpaut dua tahun. Aku sama dengan Sophi, dua puluh satu tahun."
"Owh."
"Sudah jam lima, yuk pulang," aja Ervin lalu berdiri sambil membereskan makannya.
"Ya ayo."
****
Juna melangkah cepat keluar dari tempat kerjanya, Burger's Kitchen. Hari itu cukup melelahkan, tetapi semangatnya tak luntur karena ia sudah punya janji dengan Anton dan Rudi, dua teman yang ia kenal sejak program Working Holiday Visa (WHV) mereka di Australia. Mereka sepakat untuk berkumpul di tempat Anton tinggal pukul enam sore ini.
Sebenarnya, Juna sempat berpikir untuk pulang dulu dan mandi setelah bekerja seharian. Namun, karena obrolan panjang dengan Ervin, rekan kerjanya, waktu jadi lebih singkat. Jadilah, Juna memutuskan untuk langsung ke tempat Anton tanpa singgah ke rumah. Saat sampai di depan rumah Anton, ia melihat Rudi sudah menunggu di teras, mengangkat tangan menyapa. Anton dan Rudi ini tinggal berdekatan tapi tidak satu rumah.
"Bro, lama juga baru datang," sapa Rudi dengan senyum lebar.
"Sorry, tadi keasyikan ngobrol sama teman kerja ku, jadi sedikit terlambat datang," jawab Juna lalu mengambil duduk dekat Rudi.
Anton keluar dari rumah membawa tiga kaleng minuman soda dingin, "Minum dulu, Jun. Kamu kelihatan capek banget."
"Thanks, Ton," kata Juna seraya menerima minuman itu. "Ada banyak yang mau aku ceritain, nih."
Mereka duduk di teras, suasana sore yang sejuk menambah nyaman obrolan mereka. Juna mulai bercerita tentang pekerjaannya di Burger's Kitchen.
"Kalian tahu nggak? Aku dapet kerjaan di Burger's Kitchen itu cepet banget prosesnya. Kemarin, sore aku datang buat interview, dan langsung diterima," jelas Juna.
"Wah, enak banget tuh," sahut Rudi. "Terus gimana bisa sampai tahu ada lowongan di sana?"
"Ini yang seru," Juna melanjutkan. "Semua ini gara-gara tragedi di coffee shop. Waktu itu aku lagi nongkrong sambil mencatat lowongan kerja seperti biasa, ya kalian tahu lah, eh pelayan yang mengantarkan kopi pesananku lalai, nggak sengaja dia tumpahin kopinya daan ...semua catatanku hitam semua."
"Waduh, kamu ngamuk dong sama mbak bule?" Anton tertawa. "Terus gimana, Jun?"
"Kepalaku rasanya mau pecah lihat catatan yang sudah aku buat dua hari sebelumnya sampai nggak terbaca gitu, aku yakin mukaku langsung jelek banget waktu itu, aku sampe nggak bisa ngomong," kata Juna sambil tersenyum mengingat kejadian itu.
"Wah, terus-terus?" tanya Rudi penasaran.
"Singkat cerita si cewek, namanya Sophia aku hukum buat catat ulang semua yang sudah aku tulis disana, aku suruh dia nyari data lowongan kerja, terserah deh mau di sss kek atau dimana aja. Eh ternyata Sophia punya kenalan di Burger's Kitchen, jadi dia yang ngasih tahu ada lowongan di sana. Dia juga yang rekomendasiin aku ke temannya di sana. Makanya prosesnya jadi cepat banget," jelas Juna.
"Hebat juga tuh Sophia. Bisa aja nyari koneksi," ujar Anton. "Kamu beruntung banget ketemu dia."
"Kebetulan beberapa hari sebelumnya temannya itu nawarin kerjaan di sana, tapi Sophia tetap bertahan di coffee shopnya itu, jadi dia abaikan tawaran itu. Jadi pas aku bilang lagi cari kerja, dia langsung rekomendasikan aku, kebetulan sih sebenarnya," sahut Juna. "Tapi, yang paling bikin lega, aku sekarang udah nggak perlu pusing cari kerjaan lagi. Fokusnya tinggal kerja dan nabung."
Obrolan mereka berlanjut dengan canda tawa, mengingat-ingat masa-masa awal mereka di Australia dan bagaimana mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Anton dan Rudi juga bercerita tentang pengalaman mereka mencari kerja, saat ini baru berhasil jadi tukang cuci piring di resto Thailand dan Rudi di resto China.
"Aku jadi kepikiran, kalau nggak ketemu Sophia mungkin aku masih pontang-panting cari kerjaan sampai sekarang," ujar Juna sambil tertawa kecil.
"Ya udah, bersyukur aja lah, Jun. Kadang emang takdir tuh nggak bisa ditebak," kata Rudi. "Yang penting sekarang kita semua udah punya pekerjaan dan bisa nikmatin waktu bareng-bareng."
"Setuju, bro," sahut Anton. "Sekarang tinggal planning cari pekerjaan yang lebih baik."
"Aku mungkin coba bertahan dulu satu bulan ini, gaji per jamnya cukup bagus ini, terus kerjanya nggak ada shift malam, weekend juga restonya tutup."
"Itu sih dinikmati dulu Jun, tinggal kita nih Rud .. apa kita jadi kurir dulu ya?"
"Eh Uber Eats kayaknya menarik, aku jadi kepikiran buat ngisi waktu pas weekend deh," sela Juna yang tiba - tiba teringat ide David soal kurir makanan itu.
"Beli sepeda dulu kayaknya."
"Cari yuk, aku juga perlu buat transportasi ke tempat kerja," sahut Juna.
"Hayuk lah, lumayan buat nambah - nambah. eh Jun, gimana tempat baru ?"
"Enak, kamarnya bersih dan tempatnya tenang."
"Berapa satu minggu?"
"Dua ratus lima puluh."
"Lumayan juga ya, Bond nya berapa?'
"Seribu."
"Njirr... abis dong duit di rekening?" tanya Anton kaget. Dia tahu keuangan Juna, kebetulan mereka menyetor uang sama - sama waktu buka rekening waktu itu, dan uang Juna paling sedikit, hanya tiga ribu dollar, sedangkan dia dan Rudi membawa lima ribu dollar.
"Tiris njirr ... tapi yang penting masih ada, lumayan bisa buat hidup dua minggu, kalo nggak cukup aku diet aja," jawab Juna santai.
"Ya nggak gitu juga Jun, hemat boleh tapi jangan pake maksa diet karena nggak punya uang, kalau cuma buat makan sekali - sekali aku sama Anton bisa bantu kok," sahut Rudi.
Juna tersenyum, teman yang baik itu ya memang dibuktikan disaat susah.
"Thank you, Rud. Kayaknya uangku masih cukup, paling buat beli sepeda nanti ... kita daftar sama - sama ya Uber eats-nya."
"Iya dong ,,, kita kan sama - sama berjuang disini."